Jadi Tersangka Lagi
Menjadi tersangka memang tidak mengenakkan. Apalagi menjadi tersangka dalam kasus hukum yang menjeratnya. Seperti yang terjadi pada politisi PDIP, Emir Moeis yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi dalam proyek PLTU Tarahan Lampung. Apalagi pemberitahuan tersangka itu keluar dari Wamenkumham, yang sebelumnya telah diminta KPK untuk mencegah Emir Moeis ke luar negeri. Meski KPK sendiri akhirnya mengumumkan anggota DPR itu sebagai tersangka.
Kepada wartawan, Emir mengaku tidak tahu substansi apa yang disangkakan KPK terhadap dirinya. Diakui, dia mengenal sejumlah orang yang menjadi rekanan pembuat proyek PLTU senilai Rp 2 triliun tersebut. Namun dia mengaku tidak mengurusi proyek itu, apalagi memenangkan tender kepada rekanan tersebut. Dia juga mengakui mengenal Direktur PLN saat itu, yang juga sudah mulai dibidik oleh KPK. Diketahui, kasus Emir Moeis ini didasari dari pengembangan kasus yang melibatkan Direktur PLN yang merupakan teman Emir Moeis tersebut.
Ditetapkannya Emir Moeis sebagai tersangka oleh KPK, menambah daftar anggota DPR yang terlibat korupsi. Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Golkar juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama. Angelina Sondakh, yang sekarang ditahan oleh KPK, juga angota DPR dari Partai Demokrat yang terkait kasus korupsi. Sebelumnya, Nazarudin juga sempat meramaikan kasus korupsi, yang akhirnya banyak melibatkan politisi, termasuk menyeret-nyeret ketua umumnya, Anas Urbaningrum.
Kalau disebut satu persatu, dengan kasus koruspi yang membelenggu anggota DPR, mungkin satu halaman ini tidak akan cukup untuk membahasnya. Belum lagi anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Mungkin sudah ratusan anggota DPRD yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Sudah ratusan pula yang masuk penjara akibat keserakahan para politisi busuk tersebut. Pantas disebut politisi busuk, karena mereka tega memakan uang rakyat, yang seharusnya demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, malah dimakan sendiri.
Tentu, menjadi tersangka, apalagi oleh KPK, tidak diharapkan oleh semua politisi. Namun meski banyak yang terjerat jaring KPK, termasuk kejaksaan dan kepolisian, niat rakus para politisi itu untuk melakukan korupsi tidak berhenti. Kalau di tingkat pusat, anggota DPR bisa meminta fee hingga miliaran rupiah. Sementara di tingkat paling bawah, anggota DPRD Kabupaten/Kota biasa meminta komisi hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta.
Hampir semua kegiatan yang berasal dari aspirasi anggota DPR/DPRD itu rawan dikorupsi. Di mana anggapan anggota DPR/DPRD, bahwa anggaran yang turun dari pemerintah itu adalah aspirasinya, sehingga dia berhak mendapatkan fee dari proyek tersebut. Tak terkecuali bantuan untuk tempat ibadah pun, sering kali dipotong dengan alasan tertentu. Karena saling membutuhkan, pemotongan anggaran oleh anggota DPR/DPRD itu dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal, itu adalah bagian dari korupsi.
Adanya fakta semacam ini, semakin menunjukkan perilaku politisi busuk di kalangan anggota DPRD. Fakta ini pula yang semakin membuat citra politisi dan politik di masyarakat semakin kotor. Padahal politik, tidak identik dengan korupsi. Tetapi politisi busuklah yang identik dengan korupsi. Memang harus diakui, fakta bahwa politik mendekatkan diri pada perilaku politik yang korup, itu dibuktikan dengan banyaknya anggota DPR/DPRD yang jadi tersangka. Bahkan sudah ratusan yang masuk jeruji besi. Namun rupanya banyaknya kasus yang membelit anggota DPR itu tidak atau belum membuat jera. Sehingga semakin menambah banyak daftar anggota DPR/DPRD yang terlibat kasus korupsi. Mereka tidak mau berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, justru berupaya agar aksi pencurian uang negara itu tidak ketahuan. Atau akalau ketahuan sekalipun, bagaimana caranya agar lolos dari jeratan hukum itu. Kalau sudah begitu, mau dibawa kemana negara ini? (*)
Kepada wartawan, Emir mengaku tidak tahu substansi apa yang disangkakan KPK terhadap dirinya. Diakui, dia mengenal sejumlah orang yang menjadi rekanan pembuat proyek PLTU senilai Rp 2 triliun tersebut. Namun dia mengaku tidak mengurusi proyek itu, apalagi memenangkan tender kepada rekanan tersebut. Dia juga mengakui mengenal Direktur PLN saat itu, yang juga sudah mulai dibidik oleh KPK. Diketahui, kasus Emir Moeis ini didasari dari pengembangan kasus yang melibatkan Direktur PLN yang merupakan teman Emir Moeis tersebut.
Ditetapkannya Emir Moeis sebagai tersangka oleh KPK, menambah daftar anggota DPR yang terlibat korupsi. Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Golkar juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran di Kementerian Agama. Angelina Sondakh, yang sekarang ditahan oleh KPK, juga angota DPR dari Partai Demokrat yang terkait kasus korupsi. Sebelumnya, Nazarudin juga sempat meramaikan kasus korupsi, yang akhirnya banyak melibatkan politisi, termasuk menyeret-nyeret ketua umumnya, Anas Urbaningrum.
Kalau disebut satu persatu, dengan kasus koruspi yang membelenggu anggota DPR, mungkin satu halaman ini tidak akan cukup untuk membahasnya. Belum lagi anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Mungkin sudah ratusan anggota DPRD yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Sudah ratusan pula yang masuk penjara akibat keserakahan para politisi busuk tersebut. Pantas disebut politisi busuk, karena mereka tega memakan uang rakyat, yang seharusnya demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, malah dimakan sendiri.
Tentu, menjadi tersangka, apalagi oleh KPK, tidak diharapkan oleh semua politisi. Namun meski banyak yang terjerat jaring KPK, termasuk kejaksaan dan kepolisian, niat rakus para politisi itu untuk melakukan korupsi tidak berhenti. Kalau di tingkat pusat, anggota DPR bisa meminta fee hingga miliaran rupiah. Sementara di tingkat paling bawah, anggota DPRD Kabupaten/Kota biasa meminta komisi hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta.
Hampir semua kegiatan yang berasal dari aspirasi anggota DPR/DPRD itu rawan dikorupsi. Di mana anggapan anggota DPR/DPRD, bahwa anggaran yang turun dari pemerintah itu adalah aspirasinya, sehingga dia berhak mendapatkan fee dari proyek tersebut. Tak terkecuali bantuan untuk tempat ibadah pun, sering kali dipotong dengan alasan tertentu. Karena saling membutuhkan, pemotongan anggaran oleh anggota DPR/DPRD itu dianggap sebagai hal yang biasa. Padahal, itu adalah bagian dari korupsi.
Adanya fakta semacam ini, semakin menunjukkan perilaku politisi busuk di kalangan anggota DPRD. Fakta ini pula yang semakin membuat citra politisi dan politik di masyarakat semakin kotor. Padahal politik, tidak identik dengan korupsi. Tetapi politisi busuklah yang identik dengan korupsi. Memang harus diakui, fakta bahwa politik mendekatkan diri pada perilaku politik yang korup, itu dibuktikan dengan banyaknya anggota DPR/DPRD yang jadi tersangka. Bahkan sudah ratusan yang masuk jeruji besi. Namun rupanya banyaknya kasus yang membelit anggota DPR itu tidak atau belum membuat jera. Sehingga semakin menambah banyak daftar anggota DPR/DPRD yang terlibat kasus korupsi. Mereka tidak mau berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, justru berupaya agar aksi pencurian uang negara itu tidak ketahuan. Atau akalau ketahuan sekalipun, bagaimana caranya agar lolos dari jeratan hukum itu. Kalau sudah begitu, mau dibawa kemana negara ini? (*)
Komentar
Posting Komentar