Hidup Reformasi!

Oleh: M Riza Pahlevi

Reformasi, reformasi, hidup reformasi! Teriakan-teriakan ini terngiang begitu kuat 13 tahun lalu. Ribuan mahasiswa dan masyarakat yang menghendaki perubahan di Indonesia turun ke jalan-jalan. Bukan hanya di Ibu Kota Jakarta saja, tapi juga di kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan dan lainnya.
Yel-yel reformasi, berawal dari sebuah krisis ekonomi yang mulai mendera Indonesia sejak 1997. Soeharto yang terpilih sebagai presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, tidak mampu mengatasi krisis tersebut. Bahkan krisis bertambah parah, dengan masuknya sejumlah menteri, yang dianggap tidak layak memimpin dan tidak mampu mengatasi masalah. Salah satunya adalah masuk Mbak Tutut, putri tertua Soeharto sebagai salah satu menterinya. Bahkan adik iparnya, Probosoetedjo juga yang diangkat menjadi menteri. Nuanasa KKN pemerintahan Soeharto memang sangat kental, hanya orang-orang dekatnya saja yang diangkat menjadi menteri.
Hal-hal inilah yang semakin menguatkan gerakan mahasiswa untuk menuntut gerakan reformasi, yang pada akhirnya juga menuntut Soeharto untuk turun. Tanpa ada komando yang terpusat, semua elemen mahasiswa turun ke jalan meneriakkan yel-yel reformasi. Bahkan termasuk para dosen dan pejabat kampus lainnya, turut mendukung gerakan mahasiswa. Rakyat biasa pun akhirnya turun juga meneriakkan gerakan reformasi total.
Teriakan-teriakan itu pun yang akhirnya memaksa Presiden Soeharto turun. Namun sebelum Soeharto turun, banyak peristiwa dramatik yang tak mungkin dilupakan, khususnya para aktivis mahasiswa dan korban-korban kekerasan. Bahkan sejumlah aktivis pun tewas tertejang peluru aparat, mereka meregang nyawa saat meneriakkan yel-yel reformasi tersebut.
Korban juga jatuh dari rakyat biasa, yang tak tahu menahu dengan situasi politik yang terjadi saat itu. Ada pembakaran, perusakan, pelecehan seksual, hingga penghilangan secara paksa orang-orang yang dianggap sebagai provokator. Perisitiwa itu bahkan sempat menimbulkan paham sektarian, antara pribumi dan non-pribumi. Hingga situasi sosial dan politik pun tak terkendali, dan Soeharto pun banyak mendapatkan tekanan, termasuk dari tangan kanannya, dari MPR/DPR yang memintanya untuk segera turun.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto dengan “gentle” terpaksa turun dan menyerahkan kekuasaannya kepada wakilnya, BJ Habibie.
Pasca Soeharto turun, iklim kemerdekaan pun mulai dirasakan masyarakat. Partai politik yang tadinya hanya dibatasi tiga organisasi politik, dibebaskan semua warga negara untuk mendirikan partai politik, yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Begitu pula dengan kran demokrasi yang lain, termasuk kemerdekaan pers, di mana tidak ada lagi SIUPP dan pembredelen media massa. Rakyat pun diberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, membentuk organisasi yang diinginkan.
Tidak ada lagi tindakan yang dianggap subversif, sementara pelakunya ditahan tanpa melalui persidangan apa pun. Pelanggaran HAM dan penghilangan hak-hak rakyat yang selama Orde Baru terjadi, tajk ada lagi Selama Orde Reformasi. Hal-hal yang merupakan bentuk pelanggaran HAM dan demokrasi, semuanya dimusnahkan.
Namun harus diakui, setelah 13 tahun reformasi berjalan, belum mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Perubahan jelas ada, terbuknya kran demokrasi, namun efek-efek selama Orde Baru berkuasa 32 tahun sulit untuk dihilangkan. Efek-efek negatif itu tidak serta merta hilang dengan datangnya reformasi itu. Seperti korupsi, kolusi dan nepotisme, yang terus menggerogoti pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
Sejumlah oknum Orde Baru yang mencari selamat, serta mereka yang tidak terlibat dalam gerakan itu pun ikut menumpang gerakan reformasi. Mereka turut menghujat Orde Baru, Soeharto dan kroni-kroninya. Mereka adalah penumpang gelap reformasi. Penumpang gelap inilah yang menjadikan jalannya reformasi ini tidak sesuai dengan gerakan reformasi yang dicetuskan para mahasiswa.
Mereka yang menjadi penumpang gelap, mereka pulalah yang pada saat ini membelokkan jalannya reformasi. Setelah dibelokkan, mereka berteriak kembali, bahwa reformasi telah gagal. Mereka pula yang berteriak, bahwa Orde Baru dibawah Soeharto itu lebih baik dari sekarang. Rakyat dibuat opini, agar seolah-olah merindukan pemerintahan Soeharto. Itu semua tidak lepas dari kroni-kroni Soeharto, yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.
Setelah 13 tahun reformasi berjalan, bukan berarti reformasi berhenti dan menjadi sejarah. Reformasi harus tetap digerakkan, oleh kita, yang masih memiliki spirit reformasi. Sekali lagi, Hidup reformasi! (*)

Komentar

Postingan Populer