Tantangan Penghitungan dan Rekapitulasi Suara

Tahapan penghitungan dan rekapitulasi hasil Pemilu, termasuk Pilkada, merupakan salah satu tahapan penting. Di mana hak pilih rakyat yang telah disalurkan melalui coblosan itu harus diwujudkan dalam perolehan suara, seperti hasil pilihan rakyat itu sendiri. Di mana one man one vote, harus dikawal, jangan sampai ada perhitungan yang salah atau pun ada yang melakukan kecurangan dalam proses penghitungan dan rekapitulisinya.

Ada sedikit perbedaan antara istilah penghitungan dan rekapitulasi. Seperti disebutkan dalam PKPU, Penghitungan Suara adalah proses penghitungan Surat Suara oleh KPPS untuk menentukan suara sah yang diperoleh Partai Politik dan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, calon perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Surat Suara yang dinyatakan tidak sah, Surat Suara yang tidak terpakai dan Surat Suara rusak/keliru dicoblos.

Sedangkan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara adalah proses penjumlahan hasil penghitungan perolehan suara Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik dan calon anggota DPR untuk Pemilu anggota DPR, calon perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, Partai Politik dan calon anggota DPRD Provinsi untuk Pemilu anggota DPRD Provinsi, dan Partai Politik dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang dilakukan oleh PPK, PPLN, KPU/KIPKabupaten/Kota, KPU Provinsi/KIP Aceh, dan KPU.

Dengan sistem yang sudah disusun KPU dan transparansi para penyelenggara Pemilu, praktek-praktek kecurangan itu pasti akan terdeteksi. Apalagi masing-masing peserta pemilu ada saksi yang ikut mengawasi, ditambah dengan keberadaan pengawas TPS dan pemantau pemilu. Proses penghitungan dan rekapitulasi ini juga bukan hal yang sulit, karena hanya menggunakan teori matematika dasar. Tidak ada rumus yang sulit, karena hanya ada penjumlahan. Hanya memastikan angka yang dimasukkan tepat dan tidak salah kolom, serta tidak terjadi kesalahan tulis.

Meski begitu, pada prakteknya masih saja ada kesalahan tulis dan kesalahan dalam memasukkan ke dalam kolom-kolom yang seharusnya. Ada yang seharusnya dihitung, namun tidak dihitung dengan benar. Jika hanya sekedar memasukan perolehan suara peserta pemilu, hampir dipastikan tidak ada kesalahan penghitungan. Hanya terkadang salah pengertian dan salah hitung, hingga ketika dijumlah total tidak singkron.

Proses penghitungan dan rekapitulasi itu juga dibantu dengan aplikasi, yang mampu memindai terjadi kesalahan hitung. Namun ternyata masih ada juga kesalahan, yang terkadang dilakukan tidak cermat. Kendala-kendala semacam ini yang kadang menjadi persoalan dan juga gugatan dalam penentuan hasil pemilu. Namun jika tidak ada kepentingan dan kesengajaan untuk berbuat curang, maka kendala dan tantangan tersebut pasti bisa diselesaikan. Karena kesalahan penghitungan dan rekepitulasi itu bisa dibetulkan saat rapat pleno di tingkat atasnya. Tentu disertai dengan bukti-bukti yang nyata berdasarkan dokumen resmi yang ada.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, KPU telah membuat buku panduan untuk KPPS, PPS, PPK dan KPU. Selain itu, KPU juga melakukan simulasi penghitungan suara dan rekapitulasi secara langsung. Simulasi itu bahkan dilakukan riil, melalui salah satu TPS yang ada, dan pemilih juga diundang secara langsung dalam simulasi tersebut. Simulasi dimulai dari proses pembukaan kotak, sumpah KPPS, proses pencoblosan, hingga penghitungan. Cara mengisi plano, formulir C1, hingga kotak dikirim ke PPK melalui PPS.

Simulasi juga dilakukan saat bimbingan teknis bagi KPU, PPK, PPS dan KPPS. Bintek itu dilakukan secara berjenjang, sehingga semua penyelenggara pemilu mengetahui proses itu secara langsung. Namun tantangan justru ada di SDM penyelenggaran badan ad hoc itu, kadang ada yang kurang memperhatikan, karena dianggap sudah biasa dan pernah menjalaninya. Padahal dalam beberapa hal ada peraturan atau teknis yang baru.

Dalam formulir C1 yang dibuat KPU, sudah dicetak dengan jelas dan berurutan. Mulai dari data pemilih, baik dalam DPT, DPTb, dan DPK. Semuanya dibagi dalam jenis laki-laki dan perempuan, dan jumlah totalnya. Kemudian pengguna hak pilih, baik dalam DPT, DPTb, DPK. Juga dibagi dalam jenis laki-laki dan perempuan, serta jumlah totalnya. Bahkan data pemilih disabilitas juga ada, yang tercantum dalam DPT, DPTb, dan DPK, serta berapa yang menggunakan hak pilihnya.

Begitu pula dengan penggunaan surat suara. Berapa jumlah surat suara yang diterima, yang dikembalikan karena rusak atau keliru coblos, surat suara yang tidak digunakan dan jumlah surat suara yang digunakan. Kemudian baru perolehan suara peserta pemilu, baik presiden, DPD, DPR dan DPRD. Di bagian akhir, ada data suara sah dan tidak sah. Semunya harus singkron. Begitu pula dengan formulir C1 Pilkada, juga isinya sama.

Sedemikian detail data yang ada dalam formulir C1, sehingga kemungkinan adanya kecurangan sangat kecil. Semua data yang dimasukkan itu harus singkron. Karena jika ada upaya untuk menambah perolehan suara calon tertentu misalnya, maka jumlah itu pasti akan tidak singkron. Mudah dilacak, di mana kecurangan itu dilakukan. Termasuk siapa yang melakukan kecurangan itu, karena setiap halaman formulir itu ada tanda tangan anggota KPPS dan saksi dari peserta pemilu.

 

Penghitungan yang Bikin Mumet?

Seperti disebutkan di atas, bahwa proses penghitungan hingga rekapitulasi di tingkat KPU, sudah diatur sedemikian rupa. Semua dilakukan secara berjenjang, mulai dari TPS, PPK, KPU Kabupaten, KPU Provinsi hingga KPU RI. Proses rekapitulasi itu cukup mudah, karena hanya memindah penghitungan yang dilakukan di tingkat TPS, kemudian dilanjutkan di tingkat PPK. Begitu seterusnya, hingga rekapitulasi secara nasional. Dengan rekapitulasi yang berjenjang itu, jika ada kesalahan hitung, maka kesalahan itu dilakukan saat rapat pleno di tingkat atasnya.

Selama periode Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, termasuk Pilbup 2017 dan Pilgub 2018, di KPU Kabupaten Brebes tidak ditemukan adanya praktek kecurangan dalam pengisian formulir C1 maupun DA1 dan DB1 yang dilakukan PPK dan KPU. Beberapa laporan dan pengaduan yang disampaikan ke KPU dan Bawaslu, tidak disertai dengan bukti dan data pendukung yang kuat. Pengaduan hanya berdasarkan klaim dan kekecewaan dari calon yang kalah.

Seperti contoh pada Pemilu 2014, ada salah satu caleg yang mengadukan dugaan kesalahan hitung di tingkat PPK, yang saat itu masih dalam tahap rapat pleno terbuka. Dengan menunjukkan data salinan C1 dari salatu TPS yang sudah selesai rekap, caleg tersebut ngotot untuk mengubah hasil rekapitulasi yang sedang berlangsung. Oleh PPK dan Panwascam, serta PPS setempat, pengaduan itu sudah dijawab dan disandingkan dengan data yang dimiliki PPK, Panwascam dan PPS, serta formulir C1 yang berhologram.

Ternyata dari hasil sandingan data yang ada, salinan C1 yang yang dibawa caleg tersebut ada kesalahan tulis. Data yang betul sesuai dengan hasil rekap yang sudah diselesaikan. Sehingga pengaduan caleg tersebut tidak bisa ditindaklanjuti. Panwascam dan saksi partai pun mendukung data yang dimiliki PPK dan PPS yang lebih valid. Karena jika pengaduan tersebut disetujui, maka ada data yang tidak singkron, khususnya perolehan suara partai politik yang bersangkutan. Sehingga dalam rekapitulasi yang dilakukan PPK itu tetap mengacu kepada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya.

Begitu pula dalam Pemilu 2019, adanya laporan kesalahan hitung juga terjadi saat rekapitulasi di tingkat PPK atas perolehan salah satu caleg partai politik. Hanya saja, pengaduan itu dilakukan setelah rekapitulasi di tingkat PPK sudah selesai dan pengaduan itu akhirnya disampaikan ke KPU saat rapat pleno tingkat Kabupaten. Dari data yang disandingkan, ternyata pengaduan tersebut valid, sesuai dengan formulir C1, yang berhologram. Ketika disingkronkan, ternyata memang ada kesalahan dalam penulisan. Sehingga akhirnya KPU memperbaiki kesalahan tersebut dan ternyata singkron antara perolehan suara caleg, partai dan data pendukung lainnya.

Perbaikan perolehan suara juga terjadi ketika ada pengaduan dari caleg maupun partai politik. Di mana perubahan ini, ternyata membuat pergeseran caleg terpilih. Hal ini cukup menyita perhatian, karena selisih yang terjadi di internal caleg dalam partai politik itu cukup sedikit. Sehingga ketika ada data yang keliru, bisa menggeser perolehan suara caleg. Sementara suara partai tidak berubah, karena pergeseran hanya pada suara caleg, akibat terjadinya kesalahan saat mengisi perolehan suara caleg pada partai tersebut.

Perbaikan tersebut terjadi hingga sebelum rapat pleno tingkat kabupaten berakhir. Mereka menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan valid, dan didukung dengan hasil penghitungan di plano dan C1 yang berhologram. Bahkan perbaikan tersebut sampai pada sidang sengketa di Bawaslu Kabupaten dan Bawaslu RI. Namun tidak sampai pada sidang gugatan di Mahkmah Konstitusi.

Dari hasil sidang di Bwaslu, baik Bawaslu Kabupaten maupun Bawaslu RI, tidak terdapat kecurangan untuk memenangkan calon tertentu. Hanya terjadi kesalahan penulisan perolehan suara caleg yang bergeser antara satu caleg dengan caleg di nomor berikutnya dalam satu partai politik. Putusan Bawaslu pun memerintahkan KPU untuk membetulkan rekapitulasi di tingkat PPK dan KPU. Putusan itu pun ditindaklanjuti oleh PPK dan KPU, dengan pengawasan ketat dari Bawaslu RI dan KPU RI. 

Adanya gugatan di MK pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 pun tidak disertai bukti-bukti dan data pendukung yang kuat. Hanya berdasarkan klaim asal-asalan, sehingga cukup disanggah dengan bukti yang dimiliki KPU, baik berupa formulir C1 maupun hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Keberadaan para saksi dari partai politik dan pengawasan dari Bawaslu, semakin mempermudah dalam proses rekapitulasi perolehan suara tersebut. Jika terjadi kesalahan, bisa langsung diperbaiki dengan menyandingkan bukti-bukti yang dimiliki para saksi dan data yang dimiliki KPU maupun Bawaslu.

Dengan data yang transparan dan dimiliki sejumlah pihak, serta formulir C1 yang diunggah di laman KPU, maka tidak ada yang berani melakukan kecurangan. Kalau pun terjadi kesalahan, bisa dilakukan pengaduan saat proses rekapitulasi masih berlangsung. Bahkan pengaduan bisa dilakukan ke Bawaslu, dengan kasus sengketa hasil perolehan suara. KPU sebagai penyelenggara, hanya mempunyai kewajiban untuk menunjukkan data dan bukti yang dibutuhkan. Jika ada kesalahan, maka menjadi kwajiban KPU untuk menindaklanjuti atas putusan Bawaslu tersebut.

Dalam kasus-kasus yang terjadi tersebut, yakni pengaduan maupun gugatan sengeka perolehan hasil, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Karena dalam tahapan penghitungan dan rekapitulasi ini, sejatinya adalah mengejawantahkan suara rakyat yang telah menggunakan hak pilihnya dengan perolehan suara melalui surat suara yang dicoblos. Dengan mekanisme yang sudah dibuat KPU secara berjenjang dan transparan, tidak ada kessulitan maupun yang membuat mumet atau pusing proses tersebut. Tinggal bagaimana para penyelenggara tersebut melakukan tahapan tersebut dengan baik, sabar dan telaten.

Bahwa rekapitulasi yang dilakukan dengan berdasarkan data yang valid dan pengawasan yang jujur dan melekat, tidak ada istilah mumet dan pusing. Yang membuat pusing penyelenggara di tingkat atasnya adalah ketika KPPS melakukan kesalahan hitung dalam menghitung perolehan suara partai dan caleg. Sehingga di beberapa TPS, ada perolehan suara sah dan tidak sah lebih tinggi dari data jumlah pemilihnya di TPS tersebut.

Sebenarnya bukan kesalahan hitung, namun kesalahan dalam pemahaman atas hasil coblosan pemilih. Di mana pemilih yang mencoblos partai dan caleg, yang dalam peraturan KPU termasuk suara sah, namun oleh petugas KPPS dihitung semua. Di mana suara caleg dihitung sendiri, suara partai juga dihitung sendiri. Sehingga jumlah suara sah menggelembung melebihi pemilih yang hadir.

Akibatnya, saat rapat pleno rekapitulasi di tingkat PPK dilakukan penghitungan ulang. Yakni dengan mengulang semua proses penghitungan perolehan suara, dengan membuka surat suara yang ada. Membuat pusing memang, tetapi lebih pada mengulang pekerjaan yang seharusnya dilakukan KPPS. Dari hitung ulang tersebut, dengan disaksikan KPPS, PPS, pengawas TPS dan Panwascam, akhirnya diperoleh data perolehan suara yang valid.

Di sinilah peran pentingnya bimbingan teknis untuk KPPS, agar mengetahui semua tugas teknis yang harus dilakukan KPPS. Jika semua instruksi dilakukan dengan baik oleh anggota KPPS, tidak akan terjadi kesalahan maupun persoalan saat dilakukan penghitungan maupun rekapitulasi. Karena semuanya sudah diatur sedemikian rupa dan terencana dengan baik, agar hasil pemilu dapat disampaikan kepada semua yang berkepentingan dengan transparan.

 

Data Pemilih Jadi Sandungan

Proses rekapitulasi yang dilakukan di tingkat PPK dan KPU, kejadian yang paling banyak terjadi adalah adanya ketidaksingkronan data pemilih. Sementara hasil perolehan suara partai politik, caleg, perolehan suara pasangan calon, hampir tidak ada masalah. Artinya tidak ada manipulasi maupun kecurangan yang dilakukan para penyelenggara. Data pemilih inilah yang kemudian menjadi sandungan, atau menjadi waktu rekapitulasi, baik di tingkat PPK maupun KPU menjadi lama. Karena memang harus dibetulkan dan disingkronkan terlebih dahulu, seperti yang diminta Bawaslu. 

Data pemilih ini menjadi fokus perhatian Bawaslu saat rapat pleno terbuka. Hal itu dilakukan karena memang keberadaan data pemilih cukup penting. Di mana keberadaan data pemilih dan data pengguna hak pilih, ketika sudah singkron, maka tidak ada persoalan. Namun yang sangat disayangkan, ketika proses rekapitulasi di tingkat kecamatan, persoalan data pemilih ini tidak fokus para Panwascam. Jika Panwascam sejak rekapitulasi di tingkat kecamatan, sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi di tingkat kabupaten.

Sinergi antara PPK dan Panwascam untuk saling mengingatkan menjadi kunci utama pada saat rekapitulasi. Bukan saling cuci tangan dan lepas tanggung jawab. Karena sejak awal, KPU dan Bawaslu juga sudah komitmen, yang dilakukan dengan menggelar bimbingan teknis secara bersama-sama, yang melibatkan PPK dan Panwascam. Namun ternyata di lapangan masih saja terjadi kesalahan. Bagi sebagian PPK dan Panwascam, ada yang focus pada perolehan suara peserta pemilu saja. Sehingga masalah data pemilih ini cenderung dilupakan.

Data pemilih yang terdiri dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) ini sebenarnya bukan persoalan, karena datanya sudah ada. DPT sudah ditetapkan sejak awal, tidak boleh berubah. Namun kenyataannya masih saja ada yang salah menulis jumlah DPT. Bahkan ketika rekapitulasi di tingkat KPU pun masih ada PPK yang salah dalam mengisi jumlah DPT. Sehingga harus diperbaiki saat itu juga, di mana kesalahannya. Dan dipastikan ketemu, di beberapa TPS yang salah memasukkan DPT. 

Dalam bimbingan teknis, sebenarnya persoalan sederhana ini sudah disampaikan berkali-kali, baik saat bintek di tingkat KPU kepada PPK, maupun bintek PPK kepada PPS dan PPS kepada KPPS. Artinya ada beberapa anggota KPPS, PPS dan PPK yang tidak memperhatikan masalah tersebut. Apakah hal ini wajar? Pada satu sisi bisa dianggap wajar, namun di sisi lain, tidak wajar. Karena hal tersebut merupakan hal sederhana, yang tidak ada kendala. Hanya cukup menyalin jumlah DPT, baik laki-laki maupun perempuan.

Daftar Pemilih Tambahan (DPTB) ini jika ada pemilih dari luar TPS, yang membawa A5 atau surat pindah memilih, dan masuk dalam TPS tersebut. DI mana sebelumnya PPS mengarahkan untuk ditempatkan di TPS yang paling dekat dengan alamat yang ditinggali pemilih tersebut. Jika memang tidak ada pemilih tambahan, maka data tersebut kosong. Begitu pula, jika sudah ada yang mendaftar, namun pada hari H, ternyata ada yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Yang justru sering jadi persoalan adalah keberadaan Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang menggunakan KTP elektronik saat datang ke TPS. Karena sebagian besar setelah dicek dalam daftar pemilih, mereka sebenarnya sudah masuk dalam DPT. Cuma karena tidak membawa surat pemberitahuan (C6), pemilih tersebut langsung dimasukkan ke dalam DPK. Padahal sudah dibintek, agar pemilih yang membawa KTP elektronik untuk dicek terlebih dahulu melalui aplikasi Sidalih, yang dibuat KPU, untuk mengecek pemilih tersebut terdaftar di TPS berapa desa mana.

Dalam beberapa kasus pengguna KTP ini, mereka sebenarnya sudah terdaftar di TPS tertentu, namun dia datang ke TPS lainnya. Setelah dicek, sebenarnya surat pemberitahuan sudah disampaikan, tetapi pada saat itu pemilih yang bersangkutan tidak berada di rumah. Sehingga menjelang hari H, surat undangan itu ditarik kembali dari KPPS ke PPS. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya penyalahgunaan surat pemberitahuan (C6) oleh orang yang tidak berhak. Dan pemilih yang belum mendapatkan surat undangan dapat memintanya ke PPS sebelum datang ke TPS.

Selanjutnya data pengguna hak pilih, baik yang masuk dalam DPT, DPTb, dan DPK. Ini juga tinggal diisi sesuai dengan pemilih yang hadir. Sangat mudah mudah memang, namun seringkali ada kesalahan dalam pengisian jumlahnya. Ada yang keliru dalam mencantumkan jenis kelaminnya. Akibatnya kadang anggota KPPS kesulitan untuk mencocokkan data pemilih tersebut. Ketelitian dan kesabaran menjadi kuci dalam pengisian data-data tersebut dalam formulir C1, baik yang berhologram maupun salinannya.

Sebelum rapat pleno terbuka dilakukan, KPU juga melakukan singkronisasi atas hasil rekapitulasi yang dilakukan setiap PPK. Jika terjadi kesalahan, maka PPK segera mencari kesalahannya di desa mana, TPS berapa. Baik itu berupa data pemilih, pengguna hal pilih maupun hasil perolehan suara. Untuk hasil perolehan suara, sepanjang Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 tidak ditemukan kesalahan yang signifikan. Ada satu dua kasus, yang bisa diselesaikan langsung saat rapat pleno digelar bersama para saksi dari peserta pemilu.

Singkronisasi ini dilakukan dengan tujuan PPK mempersiapkan sejak awal jika terjadi kesalahan. Karena hasil rekapitulasi yang dilakukan PPK sudah masuk dalam kotak. Sehingga perbaikan dilakukan saat rapat pleno di tingkat KPU, dan diketahui oleh saksi peserta pemilu dan Bawaslu. Begitu pula KPU Kabupaten/Kota juga melakukan hal yang sama, sesaat sebelum rapat pleno di tingkat KPU Provinsi.

 

Mungkinkan Dilakukan E-voting dan E-Rekap?

Salah satu kemajuan teknologi adalah penggunaan aplikasi dalam pemilu maupun pilkada. Meskipun hingga saat ini belum pernah dilakukan e-voting dan e-rekap, namun wacana itu sudah mulai muncul sejak beberapa waktu lalu. Salah satunya adalam Pilkada 2020. Meski dipastikan pada Pilkada 2020 tidak menggunakan e-voting atau pemberian suara secara elektronik, namun kemungkinan pilkada atau pemilu selanjutnya bisa menggunakan metode e-voting.

Sejumlah pemilihan kepala desa saja di beberapa kabupaten sudah ada yang menggunakan e-voting. E-voting menjadi salah satu alternatif dalam sistem pemberian suara seperti yang diatur dalam undang-undang. Bukan hanya Pilkada saja, namun dalam pelaksanaan Pemilu-Pemilu berikutnya, juga bisa menggunakan e-voting. Kecepatan dan efektivitas penggunaan teknologi itu menjadi alasan, baik e-voting maupun e-rekap.

Dalam undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada pasal 85 disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara; atau memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik. Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud itu dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan dan mudah.

Begitu pula dalam hal penghitungan suara, seperti diatur dalam pasal 98, dalam hal pemberian suara dilakukan secara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan/atau elektronik. Untuk Pilkada Serentak Tahun 2020, sekali pun pemberian suara dengan memberi tanda atau mencoblos, namun dalam penghitungan suara akan menggunakan e-rekap, atau penghitungan suara secara elektronik.

Jika mengacu pada undang-undang Pilkada, terkait pelaksanaan pemberian suara secara elektronik atau e-voting tersebut dilakukan, sangat tergantung dari tergantung dari kesiapan Pemerintah Daerah, khususnya infrastruktur dan kesiapan masyarakatnya. Infrastruktur yang dimaksud tentunya adalah perangkat atau alat untuk pemberian suara secara elektronik. Mampukah Pemda menyiapkan perangkat tersebut untuk penyelenggaraan Pilkada, kemudian SDM yang menjalankan perangkat tersebut. Selain juga penyedia perangkat yang dibutuhkan aman dan dapat dipertanggungjawabkan.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun sudah melakukan uji coba terkait penggunaan e-voting dalam Pemilu. Namun itu tergantung juga dari para pembuat kebijakan dan keputusan, yakni Pemerintah Pusat dan DPR. Bahwa pelaksaan e-voting sangat mungkin dilakukan, karena secara prinsip e-voting mengedepankan kemudahan dan efisiensi. Pemilih tinggal menyentuh panel komputer yang disediakan. Di layar itu akan muncul gambar dan nomor urut calon, pemilih tinggal menyentuh salah satu calon. Hasilnya akan direkap secara otomatis dan hasil pilihan itu juga akan dicetak secara manual. Sehingga selain penghitungannya bisa langsung secara elektronik, juga bisa dilakukan secara manual melalui hasil cetak pilihan secara elektronik tadi.

Selain itu, pelaksanaan e-voting dan e-rekap itu juga secara SDM dan anggaran akan terjadi efisiensi yang cukup besar. Petugas TPS tidak perlu banyak-banyak, dan dalam satu TPS bisa melayani pemilih hingga seribu orang. Begitu dengan logistik seperti surat suara, kotak suara, formulir-formulir yang jumlahnya cukup banyak, hingga distribusi dan lainnya, tidak lagi diperlukan. Otomotis akan menekan biaya atau anggaran pelaksanaan Pilkada maupun Pemilu tersebut.

Untuk mempersiapkan e-voting dalam pilkada atau pemilu, dibutuhkan perencanaan dan koordinasi yang matang agar bisa dilaksanakan dengan baik dan lancar. Pelaksanaan e-voting tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba atau sim salabim. Apalagi dengan waktu yang singkat dan peralatan yang belum siap. Serta kesiapan masyarakat, apakah bisa menerima sistem e-voting itu atau justru menolaknya. Perlu waktu sosialisasi maupun uji coba yang berkesinambungan, sehingga hasilnya bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak lupa, apakah perangkat e-voting itu bisa disiapkan oleh penyedia jasanya untuk kebutuhan pelaksanaan e-voting tersebut.

Satu hal yang sangat penting dari pelaksaan e-voting dan e-rekap ini adalah dasar hukum pelaksanaannya yang jelas dan mempunyai dasar yang kuat. KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak bisa serta merta memutuskan pelaksaan e-voting tanpa koordinasi dengan lembaga yang lain, khususnya pemerintah dan DPR. Begitu pula dengan kesiapan perangkatnya, apakah bisa disipakan untuk semua wilayah atau hanya sebagian atau beberapa wilayah saja.

Hal-hal seperti ini harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan sebuat sistem Pemilu, yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya bagi calon atau penyelenggaranya saja, tetapi masyarakat pemilih juga sangat berkepentingan. Apakah dengan penggunaan e-voting, tingkat partisipasi akan meningkat atau justru sebaliknya semakin rendah. Karena tidak semua masyarakat familiar dengan teknologi yang ada. Begitu pula faktor keamanan, apakah semakin kondusif atau justru sebaliknya. Harus ada kajian dan survei terkait kebijakan yang akan diambil tersebut.

Sebuah pilihan kebijakan tentu ada plus minusnya. Namun dengan kajian yang matang, kebijakan yang menghasilkan nilai positif, baik bagi pemerintah dan masyarakat, tentu akan diambil. Meski dengan mengesampingkan sisi negatif dari kebijakan tersebut, karena sudah ada antisipasi terhada sisi negatif tersebut.

Apapun nanti kebijakan pemerintah dan DPR terkait Pilkada atau pun Pemilu, KPU sebagai penyelenggara tentu harus siap. Termasuk siap ketika suatu saat dilakukan Pemilu dengan sistem e-voting. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saja bisa menggunakan e-voting, masa KPU yang diisi orang-orang profesional dan berintegritas tidak mampu melaksanakan e-voting? Meski kegagalan adalah bagian dari resiko kebijakan. Namun jika direncanakan dengan matang dan baik, maka kegagalan bisa diminimalisir.

Yang pasti, jika pemilu beralih menggunakan e-voting, salah satu PR besar yakni pengadaan logistik akan terlewati. Tidak perlu lagi rebut dengan penyiapan logistik yang jumlahnya jutaan, juga tidak ribet lagi dengan penyediaan gudang-gudang logistik. Distribusi yang membutuhkan pengawalan dan harus melwati medan yang berat, juga tidak lagi diperlukan. Semuanya sudah berubah melalui pemilihan secara elektronik.

Penghitungan yang ribet akibat adanya kesalahan memasukkan data perolehan suara maupun kesalahan penghitungan, juga akan hilang dengan penggunaan e-rekap. Teknologi ini akan sangat membantu pekerjaan manusia dalam pemilu yang melibatkan jutaan pemilih. Namun kembali lagi kepada para pembuat kebijakan, apakah akan menggunakan teknologi ini atau tidak. Sangat tergantung dari political will dari para pengambil kebijakan. (*)

Komentar

Postingan Populer