Sinkronisasi Daftar Pemilih

Salah satu tahapan pemilu dan pilkada yang selalu dilakukan adalah penyusunan daftar pemilih. Tahapan ini dimulai dari penyerahan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kemeneterian Dalam Negeri. Selanjutnya KPU melakukan penyandingan dengan DPT pemilu sebelumnya. Kemudian KPU membentuk petugas untuk melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) bahan DPS yang merupakan hasil dari penyandingan data tersebut.

Tahapan ini memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta SDM yang cukup banyak. Apalagi masa pandemic Covid 19, di mana para petugas coklit atau petugas pendaftar pemilih ini harus dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) untuk menghindari penularan virus tersebut. Belum lagi adanya warga yang menolak pendataan tersebut atau tidak berada di tempat, akan semakin menambah kesulitan coklit tersebut.

Tahapan selanjutnya adalah penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), yang kemudian diumumkan dan diujipublikkan. Aapakah masih ada warga yang belum terdaftar, atau masih ada warga yang tidak punya hak pilih masih terdaftar. Dari pengumuman dan uji publik itu, selanjutnya dijadikan Daftar Pemilih tetap (DPT). Pada pemilu 2019, tahapan daftar pemilih ini, tidak hanya berhenti di DPT, tetapi ada tahapan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perubahan (DPTHP) hingga dua kali.

Kondisi ini membuat beban kerja KPU semakin bertambah berat. Betapa tidak, tahapan pemilu tidak hanya mengurusi pemilih saja, namun tahapan lain juga berjalan beriringan. Kesabaran dan ketelitian petugas pendaftar pemilih, mulai dari Pantarlih, PPS, PPK dan KPU diuji benar dalam setiap rapat pleno terbuka. Apalagi jika ada perbedaan persepsi dengan Bawaslu, yang sebenarnya juga mendampingi sejak penetapan DPS dan DPT di tingkat desa.

Selain tahapan yang cukup panjang waktu, persoalan lain yang muncul dari tahapan ini adalah data penduduk yang belum 100 persen valid, baik dari data yang sudah rekap e-KTP maupun yang belum. Sumber data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melalui Kemendagri sendiri, ternyata belum maksimal. Dari pengalaman selama beberapa tahapan pemilu maupun pilkada, beberapa data belum masuk, seperti data kematian warga yang jarang di-update, mobilisasi penduduk yang tidak tercatat, hingga ubah data warga yang tidak disinkronkan.

Akibatnya, data yang diterima KPU memang harus dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit) yang dalam tahapan di KPU, menjadi tahapan yang luar biasa. Selain membutuhkan tenaga yang cukup banyak, juga membutuhkan biaya yang tinggi pula. Padahal sebagian besar penduduk sudah melakukan perekaman KTP, yang jika disimpulkan, semestinya sudah tidak ada masalah lagi dengan data kependudukan di Indonesia ini.

Sementara KPU dituntut untuk menampilkan data yang sempurna dalam penyusunan daftar pemilih ini. Apalagi ada ancaman pidana bagi penyelenggara, yang dianggap tidak memperbaiki DPS setelah mendapat masukan dari masyarakat dan peserta pemilu. Banyak permasalahan yang dijumpai dari daftar pemilih ini. Karenanya perlu ada sinkronisasi data pemilih, mulai dari regulasi, hingga basic data daftar pemilih ini.

 

Permasalahan Daftar Pemilih

Persoalan yang dihadapi Pemilu maupun Pilkada hampir sama, salah satunya Daftar Pemilih. Daftar Pemilih ini merupakan salah satu isu yang selalu muncul dalam setiap perhelatan Pemilu, termasuk Pilkada. Sejak Pemilu 2004, masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) selalu menjadi salah satu materi gugatan yang disampaikan peserta pemilu. Pada PHPU Pilpres 2019, salah satu isu utama yang disampaikan dalam gugatan termasuk didalamnya adalah DPT. Banyak isu yang muncul, mulai dari isu 25 juta data ganda, 31 juta pemilih siluman dan 17,5 juta pemilih bermasalah. Padahal pemilih inilah yang menjadikan suatu Negara itu berdaulat atau tidak. KPU sendiri mempunyai salah satu slogan, yakni Pemilih Berdaulat Negara Kuat. Dengan data pemilih yang akurat, maka merupakan salah satu keberhasilan yang pertama bagi KPU.

Seperti dikatakan Arief Budiman, Ketua KPU RI, bahwa pemilih adalah ‘darah’nya pemilu. Mereka adalah kelompok yang penting disasar dalam setiap tahapan pemilu. KPU menyadari betul hubungan dengan pemilih ini harus dimaksimalkan, tidak hanya dalam konteks sosialisasi tetapi juga pendataan pemilih yang komprehensif. Salah satu misi KPU adalah meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam pemilu. (Arief Budiman, dalam DPT di Balik Layar, 2020, iii)

Dalam penyusunan DPT ini, tidak lepas dari peran para pemegang kedaulatan, yakni para wakil rakyat yang membuat undang-undang, khususnya UU Pemilu. Seperti diutarakan Miriam Budiardjo, kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia. (Miriam Budiardjo, 2008, 54) Karenanya masalah daftar pemilih ini sangat penting. Namunnya kenyataannya, masih terdapat berbagi persoalan dalam penyusunan daftar pemilih ini.

Tulisan ini menggunakan metode pengumpulan data berupa pengumpulan peraturan perundang-undangan, yakni studi pustaka dan dokumenter. Seperti disampaikan Peter Mahmud Marzuki, apabila di dalam penelitian tersebut sudah menyebutkan pendekatan perundang-undangan (statue approach), yang harus dilakukan peneliti adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. (Marzuki, 2016, 181) Dalam tulisan ini, terkait data kependudukan dan daftar pemilih adalah regulasinya, mulai dari UU, PKPU dan peraturan teknis lainnya.

Regulasi yang mengatur pemutakhiran data dan daftar pemilih ternyata selalu mengalami perubahan. Seperti pada Pemilu 2014,  pemutakhiran data dan daftar pemilih juga diatur dalam PKPU, yakni PKPU Nomor 9 tahun 2013, yang mengacu kepada UU Nomor 8 tahun 2012. Kemudian Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 mengacu pada UU Nomor 42 tahun 2008.

Begitu pula dalam Pilkada serentak tahun 2015 dan tahun 2017, pemutakhiran data dan daftar pemilih juga diatur dalam PKPU yang berbeda pula. Untuk Pilkada 2015 dan 2017 lalu, menggunakan PKPU Nomor 4 tahun 2015 dan perubahannya yakni PKPU Nomor 8 tahun 2016. Pada Pilkada 2018, PKPU yang mengatur pemutakhiran data dan daftar pemilih berubah lagi, yakni menggunakan PKPU Nomor 2 tahun 2017. Secara umum, PKPU yang mengatur pemutakhiran data dan daftar pemilu ini sama, hanya beberapa bagian dan beberapa istilah saja yang mengalami perubahan.

Begitu pula dengan Pemilu 2019, di mana masalah daftar pemilih sudah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 pasal 202 dan pasal 204 terkait dengan pemutakhiran data pemilih. Pada pasal sebelumnya, yakni pasal 201 diatur tentang data penduduk, yang menjadi data penduduk potensial pemilih. Seperti disebutkan dalam pasal 202, KPU Kabupaten/Kota menggunakan data penduduk potensial pemilih Pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 201 ayat (5) untuk disandingkan dengan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Selanjutnya dari pasal ini ditindaklanjuti dengan pembuatan PKPU tentang pemutakhiran data pemilih, yakni PKPU Nomor 11 tahun 2018 tentang Penyusunan Pemutakhiran Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan diubah lagi dalam PKPU Nomor 37 tahun 2018 tentang Perubahan PKPU Nomor 11 tahun 2018 tentang Penyusunan Pemutakhiran Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Persoalan muncul ketika sumber data dalam pemutakhiran data pemilih ini berasalah dari sumber yang berbeda-beda. Di mana antara data kependudukan dan daftar pemilih, selalu terjadi ketidaksinkronan, yang menjadi permasalahan dalam setiap Pilkada. Berdasarkan istilah, data kependudukan adalah data perseorangan atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil  kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.

Data perseorangan menurut UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2011 tentang Administrasi Kependudukan, pasal 58 ayat 2, meliputi nomor Kartu Keluarga; Nomor Induk Kependudukan; nama lengkap;  jenis kelamin; tempat lahir; tanggal/bulan/tahun lahir; golongan darah; agama/kepercayaan; status perkawinan; status hubungan dalam keluarga; cacat fisik dan/atau mental; pendidikan terakhir; jenis pekerjaan; NIK ibu kandung; nama ibu kandung; NIK ayah; nama ayah; alamat sebelumnya; alamat sekarang; kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir;  nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir; kepemilikan akta perkawinan/buku nikah; nomor akta perkawinan/buku nikah; tanggal perkawinan; kepemilikan akta perceraian; nomor akta perceraian/surat cerai;  tanggal perceraian; sidik jari; iris mata; tanda tangan; dan elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.

Sedangkan daftar pemilih secara umum berarti nama-nama yang tercantum dalam suatu daftar yang digunakan dalam pemilihan umum atau pemilihan. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 tahun 2016, yang disebut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan.

Pemilih sebagaimana dimaksud tersebut, selain harus memenuhi syarat genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara atau sudah/pernah kawin, juga tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berdomisili di daerah Pemilihan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.

Dalam hal pemilih belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk Elektronik, dapat menggunakan Surat Keterangan yang diterbitkan dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat, dan tidak sedang menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penduduk yang sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Warga Negara Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar Pemilih, ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Warga Negara Indonesia dimaksud tidak dapat menggunakan hak memilihnya.

Berdasarkan pemanfaatan data kependudukan seperti dijelaskan dalam pasal 58 UU Nomor 24 tahun 2013, bahwa data kependudukan ini dimanfaatkan dalam rangka pembangunan demokrasi, yaitu sebagai Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Dengan proses penyusunan daftar pemilih, secara prinsip memang tidak berbeda jauh. Namun secara teknis ada perbedaan yang mendasar, yang menyebabkan hasil DPT mengalami perbedaan. Hal-hal semacam inilah yang sering menjadikan bahan gugatan oleh peserta pemilu maupun pemilihan.

Seperti yang terjadi di KPU Kabupaten Brebes, dalam menentukan daftar pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tahun 2017, terdapat perbedaan data yang cukup signifkan antara bahan DPS dengan DPT yang ditetapkan. Berikut bahan DPS yang diterima KPU Kabupaten Brebes dari hasil sinkronisasi antara DPT Pemilu terakhir dengan DP4 yang dilakukan KPU RI. Kemudian disandingkan dengan hasil rekap DPS dan DPT.

 

Tabel 1

Perbandingan Jumlah Pemilih dalam Bahan DPS, DPS dan DPT dalam Pilkada Kabupaten Brebes tahun 2017

No.

Nama Kecamatan

Jumlah Pemilih


Bahan

DPS

DPT

1.

BANJARHARJO

120,158

99.193

101,419

2.

BANTARKAWUNG

91,528

75.091

75,941

3.

BREBES

163,233

138.925

140,122

4.

BULAKAMBA

170,058

139.47

139,442

5.

BUMIAYU

100,045

86.857

86,926

6.

JATIBARANG

82,856

70.816

71,241

7.

KERSANA

57,566

50.29

49,545

8.

KETANGGUNGAN

131,159

112.767

112,498

9.

LARANGAN

150,069

120.775

120,426

10.

LOSARI

130,564

113.235

111,168

11.

PAGUYANGAN

102,873

83.543

82,674

12.

SALEM

55,862

49.121

48,784

13.

SIRAMPOG

64,183

53.678

52,331

14.

SONGGOM

81,694

65.516

69,272

15.

TANJUNG

93,065

79.341

78,478

16.

TONJONG

70,807

58.329

58,061

17.

WANASARI

147,240

124.3

124,232

TOTAL

1,812,960

1.521.247

1,522,560

Sumber: KPU Kabupaten Brebes

Dari data yang ada, ternyata terdapat perbedaan data yang cukup signifikansi. Di mana bahan DPS yang berasal dari KPU RI, yang merupakan sinkroninasi DP4 dengan DPT Pemilu terakhir, yakni DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 terdapat selisih 290.400 pemilih. Di mana jumlah bahan DPS Kabupaten Brebes sebesar 1.812.90 pemilih dan DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Kabupaten Brebes sebesar 1.493.097 pemilih. Sementara agregat jumlah penduduk Kabupaten Brebes sebesar 1.890.000. Berarti terjadi kenaikan dari DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjadi bahan DPS sebesar 318.863 pemilih. Kenaikan jumlah pemilih ini cukup ganjil, karena perbedaan pelaksanaan antara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 dengan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes pada 15 Februari 2017 hanya 2 tahun 10 bulan atau hanya 34 bulan.

Jika dilihat laju pertumbuhan penduduk secara nasional hanya 1,49 persen saja. Jika dihitung secara manual, maka mestinya penambahan jumlah pemilih dalam jangka waktu 34 bulan tersebut hanya 22.247 pemilih pertahun, atau selama kurang lebih 34 bulan, semestinya kenaikan jumlah pemilih tersebut hanya berkisar 66.741 pemilih. Namun kenyataannya terdapat kenaikan hingga 318.863 pemilih. Ketika dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh petugas yang mendatangi dari rumah ke rumah, ternyata jumlah pemilih yang masuk dalam DPS hanya 1.521.247 pemilih dan ketika ditetapkan menjadi DPT hanya 1.522.560 pemilih. Artinya, dari DPT Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 menjadi DPT Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tahun 2017 terdapat kenaikan 29.463 pemilih saja.

Perbedaan data yang paling besar signifikansi terjadi sebelum menjadi DPS. Di mana ada selisih 291.713 pemilih. Perbedaan ini data pemilih ini dikarenakan KPU dalam menyandingkan DPT terakhir dengan DP4 dilakukan dengan mencampur data tersebut secara langsung. Di mana data pemilih yang ada di dalam DPT dengan yang ada di DP4 identitasnya sama, maka hanya akan muncul satu nama saja. Jika ada perbedaan salah satu data saja, maka akan muncul dua atau lebih nama yang yang diduga sama. Contoh ketika ada pemilih yang NIK sama, alamat sama, tanggal lahir sama, tetapi ada perbedaan nama, nama pemilih tersebut akan muncul ganda. Kegandaan itu baru bisa diketahui ketika dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit). Secara sistem, dugaan kegandaan itu tidak bisa dihapuskan begitu saja, tanpa ada coklit oleh petugas di lapangan.

Kondisi ini akan terus terjadi jika metode penyusunan daftar pemilih tetap menggunakan mekanisme seperti yang disebutkan dalam undang-undang, baik undang-undang Pilkada maupun Pemilu. Di mana DPS berasal dari DPT Pemilu terakhir yang disandingkan dengan DP4. Di mana data pemilih itu setiap saat bisa saja mengalami perubahan, seperti pindah alamat dan domisili. Di mana jika salah satu elemen data itu ada yang berbeda, akan memunculkan kegandaan data pemilih. Belum lagi di dalam data Sidalih yang digunakan KPU, masih ada elemen data Nomor Kartu Keluarga (NKK), yang sebenarnya data itu sangat dinamis, karena setiap saat berubah, tanpa mengubah elemen data yang lain.

Jika dibandingkan dengan data Pemilu 2019, mulai dari DPS, DPT hingga DPTHP 3 pun terjadi perubahan. Bahkan dengan adanya DPTHP 3, jumlah TPS di Kabupaten Brebes pun terpaksa bertambah. Dari 6.097 TPS menjadi 6.180 TPS, penambahan TPS itu tersebar di beberapa desa dan kecamatan. Karena ada nama-nama yang belum masuk DPT, harus dimasukkan. Sementara batas maksimal pemilih dalam satu TPS sebanyak 300 pemilih.

Tabel 2

Perbandingan Jumlah Pemilih dalam Bahan DPS, DPT dan DPTHP3 dalam Pemilu Kabupaten Brebes Tahun 2019

No.

Nama Kecamatan

Jumlah Pemilih


DPS

DPT

DPTHP 3

1.

BANJARHARJO

76,713

77,732

77,440

2.

BANTARKAWUNG

97,877

99,065

102,322

3.

BREBES

129,843

131,256

142,012

4.

BULAKAMBA

131,280

131,865

139,535

5.

BUMIAYU

83,013

84,471

86,660

6.

JATIBARANG

69,284

70,280

72,093

7.

KERSANA

48,600

49,266

50,503

8.

KETANGGUNGAN

106,007

107,121

113,105

9.

LARANGAN

115,215

116,590

119,023

10.

LOSARI

103,944

105,062

109,370

11.

PAGUYANGAN

81,034

82,312

85,663

12.

SALEM

47,555

48,221

49,165

13.

SIRAMPOG

50,986

51,488

54,079

14.

SONGGOM

64,563

65,223

64,280

15.

TANJUNG

74,937

76,703

79,917

16.

TONJONG

56,816

57,693

59,187

17.

WANASARI

115,503

116,064

124,295

TOTAL

1,453,170

1,470,412

1,528,649

Sumber: KPU Kabupaten Brebes

Dari data tersebut, perbedaan dari DPS ke DPT pada Pemilu 2019 tidak terlalu signifikan. Perbedaan signifikan terjadi dari DPT ke DPTHP 3, yang bahkan menambah jumlah TPS di Kabupaten Brebes. Di mana terdapat 31 juta data pemilih yang diduga belum masuk ke DPT. Tetapi, data itu bukan muncul secara tiba-tiba. Data tersebut muncul dari selisih DPT KPU yang ditetapkan 5 September 2019 dan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Desember 2017. Angka 31 juta ini tidak serta merta dimasukkan dalam DPT. Namun, sebagaimana masukan dari sejumlah pihak, seperti Bawaslu, masyarakat, hingga partai politik, KPU menyelesaikan persoalan ini dengan prosedur pencermatan.(https://nasional.kompas.com/read/2018/12/14/06303141/penjelasan-kpu-soal-31-juta-data-pemilih-siluman.)

 

Regulasi Pilkada dan Pemilu

Dalam kasus pemutakhiran daftar pemilih, salah satu faktor utama penyebab ketidaksinkronan datanya adalah karena regulasi yang mengaturnya. Di mana dalam setiap perubahan undang-undang Pilkada, pasal-pasal yang mengatur masalah pemutakhiran data ini selalu berubah. Yang pada akhirnya menjadi suatu persoalan tersendiri, baik dari segi penyelenggara maupun peserta Pemilu maupun pemilihan.

Undang-undang Pilkada, telah mengalami perubahan dua kali. Yang pertama, UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Kemudian UU Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Perubahan undang-undang ini otomatis mengubah pula peraturan perundang-undangan di bawahnya, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). PKPU yang mengatur pemutakhiran data dan daftar pemilih, yang digunakan sebagai pedoman teknis Pilkada serentak telah mengalami perubahan tiga kali. Yang pertama yakni PKPU Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Kemudian diubah menjadi PKPU Nomor 8 tahun 2016. Untuk Pilkada serentak tahun 2018, PKPU-nya pun mengalami perubahan lagi, yakni diubah menjadi PKPU Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015, penyusunan Daftar Pemilih diatur pada bagian kedua, pasal 58 sampai dengan pasal 62. Selanjutnya, pasal-pasal tentang penyusunan Daftar Pemilih ini mengalami perubahan dalam UU No 8 Tahun 2015, yakni pada pasal 58, pasal 59 dan pasal 61. Begitu pula dalam perubahan kedua, yakni UU Nomor 10 Tahun 2016, pasal 58, pasal 59 dan pasal 61 mengalami perubahan lagi.

Dari perubahan undang-undang tersebut, terlihat adanya perubahan pasal-pasal terkait dengan penyusun daftar pemilih, yakni di pasal 58, pasal 59 dan pasal 61. Perubahan itu juga otomatis mengubah Peraturan KPU sebagai penjabaran teknis pelaksanaan penyusunan daftar pemilih tersebut. Sehingga dalam praktek penyusunan daftar pemilih mengalami kendala, yang berakibat kurangnya kevalidan data yang dibuat oleh KPU.

Pada pasal 58 terlihat jelas perbedaan dalam penyusunan daftar pemilih ini, yakni dari bahan yang akan digunakan. Pada UU No 1 tahun 2015, disebutkan bahwa Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) berasal dari DP4 yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota. Kemudian pada UU No 8 tahun 2015, diubah bahwa DP4 itu harus dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan. Pada UU No 10 tahun 2016 terjadi perubahan lagi yang sangat subtansial, bukan lagi dari DP4, tetapi dari DPT Pemilu terakhir, sedangkan DP4 hanya dijadikan pertimbangan saja. Regulasi semacam ini tentu saja berpengaruh terhadap hasil penyusunan daftar pemilih. Di mana terdapat perubahan data yang signifikan di Kabupaten Brebes.

Tabel 3

Perbandingan Pasal 58 Tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Undang-Undang Pilkada

Pasal

UU No 1 Tahun 2015

UU No 8 Tahun 2015

UU No 10 Tahun 2016

58

1)       Daftar penduduk potensial pemilih dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah, digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan.

2)       Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari RT/RW atau sebutan lain dan tambahan Pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai Pemilih.

3)       Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Sementara.

4)       Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman RT/RW atau sebutan lain oleh PPS, untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 10 (sepuluh) hari.

5)       PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.

6)       Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.

7)       Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.

1)       Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kotayang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan.

2)       Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkanperbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atausebutan lain dan tambahan Pemilih yang telahmemenuhi persyaratan sebagai Pemilih paling lambat3 (tiga) hari sejak diterimanya hasil konsolidasi,verifikasi, dan validasi.

3)       Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimanadimaksud pada ayat (2)diserahkan kepada PPK untukdilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK.

4)       Rekapitulasi daftar Pemilih hasil pemutakhiransebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga)hari sejak selesainya pemutakhiran untuk dilakukanrekapitulasi daftar Pemilih tingkat kabupaten/kota,yang kemudian ditetapkan sebagai Daftar PemilihSementara.

5)       Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama10 (sepuluh) hari.

6)       PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.

7)       Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama2 (dua) hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.

8)       Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapemutakhiran data Pemilih diatur dengan PeraturanKPU.

1)       Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan.

2)       Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan.

3)       Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atau sebutan lain dan tambahan Pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai Pemilih paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak diterimanya hasil konsolidasi, verifikasi, dan validasi.

4)       Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada PPK untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK.

5)       Rekapitulasi daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak selesainya pemutakhiran untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat kabupaten/kota, yang kemudian ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Sementara.

6)       Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 10 (sepuluh) Hari.

7)       PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir.

8)       Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.

9)       Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.

Dari perbandingan pasal-pasal terkait daftar pemilih tersebut di atas, terlihat jelas ada perbedaan dalam penyusunannya. Perbedaan redaksi ini, tentu saja mempengaruhi hasil dari sinkronisasi data tersebut. Ada pun sumber datanya tetap pada DPT Pemilu sebelumnya dan DP4 dari Kemendagri. Namun pelaksanaannya menghasilkan data yang berbeda. 

Begitu pula dengan PKPU Nomor 37 tahun 2018 yang merupakan pelaksana teknis dari UU nomor 7 tahun 2017 terkait dengan data kependudukan dan daftar pemilih, isinya juga sama dengan PKPU yang mengatur daftar pemilih.

Pembuat undang-undang, masih gamang dan khawatir terhadap hasil penyusunan DPT yang dilakukan KPU. Keinginan untuk menghasilkan data yang valid itu dilakukan agar tidak ada gugatan terhadap DPT yang dibuat dan disusun oleh KPU. Dengan demikian persoalan regulasi antara daftar pemilih dengan data kependudukan belum bisa disinkronkan karena dari sisi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan kepala daerah ini masih belum konsisten.

Tiga kali perubahan undang-undang pemilihan kepala daerah, pasal-pasal yang mengatur penyusunan daftar pemilih mengalami perubahan tiga kali pula. Hal ini yang menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Masing-masing pihak, DPR dan Kemendagri masih berbeda pendapat persoalan tersebut, apakah DP4 yang berasal dari data kependudukan merupakan sumber utama penyusunan daftar pemilih atau tidak, ataukah DPT pemilu terakhir sebagai sumber utama dalam penyusunan daftar pemilih.

 

Sinkronisasi Data

KPU sebagai penyelenggara pemilihan, tentu saja harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR RI. Karenanya, PKPU yang menjadi rujukan teknis pelaksanaan pemilihan tersebut harus menyesuaikan undang-undangnya. Dalam hal ini, para pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR perlu memperhatikan beberapa hal dalam rangka mengatasi ketidaksinkronan daftar pemilih dan data kependudukan. Karena tujuan diadakannya perubahan undang-undang Pilkada itu salah satunya adalah menyempurnakan undang-undang yang sudah ada. Namun kenayataannya, ternyata masih terjadi ketidakkonsekuenan para pembuat undang-undang dalam menyusun pasal-pasal, khususnya terkait dengan penyusunan daftar pemilih.

Pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang dalam menyusun aturan harus memperhatikan beberapa hal, khususnya dalam membuat peraturan penyusunan daftar pemilih dalam pemilu maupun pilkada. Di mana kedaulatan berada di tangan rakyat, yang merupakan amanat UUD tahun 1945. Kedaulatan merupakan kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia (Miriam Budiarjo, 2008, 54). Dalam hal ini, kedaulatan rakyat itu sudah diwakilkan oleh DPR yang sudah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Karenanya, untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat, dan pemimpin negara dan daerah, maka perlu dibuat peraturan yang lebih sempurna. Di mana peraturan itu jangan sampai menghilangkan hak-hak rakyat, khususnya dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu maupun pilkada.

Pemilu yang merupakan perwujudan demokrasi di Indonesia, harus dilaksanakan sesuai dengan konsep-konsep demokrasi yang berlaku di Indonesia. Demokrasi adalah sistem yang tidak bisa dielakkan dalam era modern sekarang ini. Konsep-konsep demokrasi itu, seperti yang dianut di Indonesia itu adalah adanya pembagian kekuasaan, yang dikenal dengan istilah trias politika, yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif. (Soehino, 2005,109) Dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut pemerintah harus melaksanakan kewenangannya tersebut berdasarkan hukum (rule of law). Termasuk dalam penyusunan undang-undang pemilu dan pemilihan, di mana hak-hak rakyat sebagai pemilih harus dipenuhi, jangan sampai tercerabut.

Penggunaan data kependudukan dalam daftar pemilih, seperti yang diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2016, hanya sebagai penyanding saja. Bahan utama penyusunan daftar pemilih menggunakan DPT pemilu terakhir. Ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang, khususnya DPR, tidak percaya dengan data yang dimiliki pemerintah, yakni Kemendagri. Jika DPR percaya terhadap data Kemendagri, maka data kependudukanlah yang akan digunakan dalam penyusunan daftar pemilih, seperti yang diatur dalam undang-undang sebelumnya. Kemendagri sendiri mengakui masih banyak warganya yang belum melakukan perekaman KTP elektronik.

DPR yang memiliki kepentingan dengan konstituen, tidak ingin suaranya hilang gara-gara konstituennya tidak masuk dalam daftar pemilih. Sehingga memutuskan agar DPT pemilu terakhir digunakan sebagai bahan utama dalam penyusunan daftar pemilih, dengan menyandingkan DP4 dari Kemendagri, karena di situ ada pemilih pemula, yang berusia 17 tahun pada saat hari-H pemilihan. Penyandingan DP4 itu mau tak mau harus dilakukan, karena tidak mungkin mendapatkan data itu selain dari data kependudukan. Di sisi yang lain, bagi warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, namun belum terdapat dalam daftar pemilih, wajib menunjukkan KTP elektronik pada saat akan menggunakan hak pilihnya, satu jam sebelum pemungutan suara dinyatakan selesai.

Di sini muncul pertanyaan, mengapa dalam penyusunan daftar pemilih tidak langsung menggunakan data dari Kemendagri saja? Karena DP4 yang diberikan Kemendagri berasal dari data perekaman KTP elektronik di masing-masing daerah. Mereka yang tidak atau belum melakukan perekaman KTP elektronik, otomatis akan kehilangan haknya, yakni hak memilih. Di sini perlu ada ketegasan political will dari pemerintah, baik Kemendagri maupun DPR dalam menentukan kebijakan berbasis KTP elektronik tersebut. Di mana KTP elektronik sebagai syarat dalam penggunaan hak pilih, akan menjadi dasar salam penyusunan daftar pemilih oleh KPU.

Upaya-upaya untuk melakukan sinkronisasi data kependudukan dengan daftar pemilih ini harus dilakukan. Kemendagri yang sudah meneguhkan komitmennya membuat KTP elektronik, harus didukung sungguh-sungguh dengan membuat peraturan perundang-undangan yang mendukung kebijakan tersebut. Termasuk dalam pembuatan undang-undang Pilkada, sudah semestinya semunya mengacu kepada penggunaan KTP elektronik. Untuk mendukung kebijakan yang sudah dibuat tersebut, Kemendagri perlu melakukan langkah-langkah proaktif, agar cakupan penggunaan KTP elektronik bisa mencapai 100 persen. Langkah-langkah tersebut yakni dengan melakukan jemput bola kepada masyarakat yang jauh dari akses rekam KTP elektronik. Selain itu, kementerian/lembaga yang lain, juga harus mensyaratkan KTP elektronik sebagai bahan utama administrasi, seperti halnya dalam penyusunan daftar pemilih, seharusnya semuanya sudah mengacu kepada penggunaan KTP elektronik. 

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh memberikan waktu perekaman kepada penduduk dewasa hingga 31 Desember 2018. Menurutnya, apabila sampai 31 Desember 2018 belum merekam, maka akan kami sisihkan datanya, akan diblokir.

 Hingga saat ini, kata dia, terdapat sekitar 10,5 juta penduduk yang belum merekam data e-KTP. Dari jumlah itu, sekitar 6 juta adalah penduduk dewasa, adapun sisanya merupakan penduduk yang akan berusia 17 tahun pada April 2019. Kemendagri akan menyisir sekitar 6 juta penduduk dewasa yang belum melakukan perekaman data e-KTP. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan data kependudukan yang lebih akurat jelang Pemilu 2019.

Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015 jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Menurut jenis kelamin, jumlah tersebut terdiri atas 134 juta jiwa laki-laki dan 132,89 juta jiwa perempuan. Artinya jika dipersentasikan, maka jumlah penduduk Indonesia yang belum memiliki e-KTP hanya sekitar 3,9 persen saja. Sementara di Kabupaten Brebes, dari 1,9 juta penduduk, yang wajib e-KTP sebanyak 1.404.075 dan yang sudah memiliki e-KTP sebanyak 1.369.129. Jika dipersentasikan, maka yang belum memiliki e-KTP hanya 2,8 persen.

 

Satu Data

Pada tahun 2019, Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia yang diteken pada 12 Juni 2019. Perpres ini bisa menjadi salah satu solusi dalam mengatasi ketidaksinkronan data penduduk dan daftar pemilih dalam setiap gelaran Pemilu maupun Pilkada. Seperti disebutkan dalam pasal 1 ayat 1, bahwa kebijakan Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah melalui pemenuhan Standar Data, Metadata, Interoperabilitas Data, dan menggunakan Kode Referensi dan Data Induk.

Untuk menuju satu data Indonesia ini, khususnya dalam data kependudukan dan daftar pemilih, masih sangat panjang. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan. Karena yang terlibat dalam program satu data ini tergabung dalam wadah Forum Satu Data Indonesia, yang terdiri dari kementeri, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga Negara, kesekretariatan lembaga nonstruktural dan lembaga pemerintah lainnya. Di sini KPU sebagai salah satu lembaga negara juga bisa bergabung dalam Forum Satu Data Indonesia, bersama kementerian lainnya. Dengan bergabungnya KPU dalam forum tersebut, maka upaya sinkronisasi daftar pemilih berdasarkan data kependudukan sangat mungkin bisa dilakukan.

Dari persoalan yang muncul dalam daftar pemilih ini, ada, beberapa upaya untuk sinkronisasi data kependudukan dan daftar pemilih. Pertaman, penyusunan daftar pemilih di Kabupaten Brebes yang sumber utama bahan penyusunan daftar pemilih adalah DPT pemilu terakhir, disandingkan DP4, mengakibatkan lonjakan daftar pemilih. DPT Pilpres 2014 sebesar 1.493.097 dan saat disandingkan dengan DP4 menjadi 1.812.960.

Begitu pula dengan daftar pemilih pada Pemilu 2019, meskipun tidak sebanyak saat Pilkada. Hal ini terjadi karena undang-undangnya seperti itu, termasuk PKPUnya. Akibatnya, daftar pemilih dengan data kependudukan tidak sinkron. Padahal daftar pemilih merupakan bagian tak terpisahkan dari data kependudukan.

Penggunaan elemen data kependudukan dalam penyusunan daftar pemilih belum sepenuhnya dilakukan. Karena undang-undang masih menjadikan data kependudukan hanya sebagai penyanding saja, bukan sebagai basis utama daftar pemilih. Di satu sisi, daftar pemilih dan data kependudukan merupakan dua hal yang berbeda, di sisi lainnya, daftar pemilih merupakan bagian dari data kependudukan yang dipilah sesuai dengan syarat menjadi pemilih.

Langkah-langkah kongkret untuk mengatasi terjadinya ketidaksinkronan daftar pemilih dengan data kependudukan ini perlu dilakukan pemahaman yang komperehensif dari pembuat UU. Harus ada semangat yang sama untuk membentuk UU yang efisien dalam mengatur daftar pemilih dari data kependudukan. Kemendagri harus menjamin seluruh pendudukan sudah terdata semua, dan yang telah wajib KTP melakukan perekaman KTP elektronik. Sementara DPR harus mampu membuat terobosan dalam membuat UU yang komperehensif dan tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Apalagi saat ini sudah keluar Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Ke depan, dalam penyusunan undang-undang, pemerintah dan DPR harus konsisten terhadap pembuatan aturan. Di mana untuk mengatur sesuatu, antara satu UU dengan UU lainnya harus konsisten, tidak menimbulkan tafsir yang baru. Khususnya dalam menyusun kalimat dalam pasal per pasal. Pemerintah dan DPR harus saling percaya, terkait dengan sumber data dijadikan sebagai bahan utama dalam pembuatan UU. Sehingga tidak terjadi masalah di kemudian hari, khususnya bagi pelaksana UU, dalam hal ini KPU sebagai penyelengga Pemilu.

Pelaksana UU harus memberikan masukan pada saat pembahasan, sehingga saat UU disahkan, tidak ada kendala maupun masalah dalam pelaksanaannya. Dengan Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, menjadi pintu masuk untuk mensinkronkan data kependudukan dengan daftar pemilih.

Dengan demikian, maka sinkronisasi data kependudukan dengan daftar pemilih dapat terwujud. Karena sumber data yang valid hanya berasal dari satu sumber saja. KPU sebagai penyelenggara pemilu, hanya sebagai pengguna data kependudukan, tidak menciptakan data sendiri, yang justru menambah beban kerja KPU dan menambah biaya pelaksanaan pemilu. Mulai dari biaya penyusunan daftar pemilih, pencocokan dan penelitian (coklit) dan penggandaan DPS yang jumlah cukup besar. Jika sudah mengacu kepada KTP elektronik semua, tidak perlu lagi ada penyusunan daftar pemilih yang menghabiskan biaya yang besar. Sehingga tujuan diadakannya Pilkada Serentak dan Pemilu Serentak, yang salah satunya efisiensi anggaran, bisa diwujudkan. (*)

Komentar

Postingan Populer