Sengketa Hukum dan Dinamikanya

 Pemilu yang demokratis ditunjukkan dengan adanya mekanisme hukum di setiap tahapan. Mulai dari sengketa pendaftaran peserta pemilu, hingga sengketa hasil pemilu. Mekanisme hukum ini salah satu tujuannya selain untuk kepastian hukum, juga untuk menghindari terjadi aksi kekerasan dalam proses pemilu. Bahwa Pemilu adalah proses perebutan kekuasaan yang dilembagakan dan diselenggarakan oleh lembaga yang independen.

Adanya sengketa hukum berawal dari ketidakpuasan masyarakat atau peserta pemilu terhadap proses pemilu itu sendiri. Penyebabnya bisa jadi dari penyelenggara yang kurang profesional, hingga kekecewaan peserta pemilu. Bahkan tidak jarang ada yang mencari kesempatan dan kesempitan dalam proses tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Artinya ada oknum yang mencari kesempatan di antara peserta pemilu untuk mendapatkan keuntungan dari ketidakpuasan tersebut.

KPU sebagai penyelenggara pemilu harus siap menghadapi semua jenis sengketa hukum itu, baik di Bawaslu, PTUN, Pengadilan hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Ketika ada proses hukum yang menimpa KPU akan menunjukkan sampai dimana integritas dan profesionalisme penyelenggaranya tersebut. Jika dalam proses hukum itu KPU menang, menunjukkan bahwa KPU sudah bekerja secara profesional dan berintegritas. Jika ada yang kalah, ada dua kemungkinan, yang pertama memang penyelenggara tersebut tidak profesional, atau ada kesalahan pemahaman dalam menyikapi peraturan yang dibuat KPU.

Sebagai penyelenggara pemilu, tentu tidak ingin terjadi sengketa hukum pemilu. Betapa tidak, jika ada sengketa hukum, akan menguras tenaga dan pikiran. Begitu juga dengan anggapan masyarakat serta peserta pemilu. Ketika ada sengketa hukum, maka dipastikan ada persoalan yang terjadi pada tahapan atau proses yang terjadi. Meskipun sengketa tersebut belum tentu dimenangkan oleh peserta pemilu yang mengajukan sengketa.

Menurut UU Nomor 7 tahun 2017 pada pasal 466, sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Penanganan penyelesaian proses sengketa pemilu diselesaikan di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Selain penyelesaian sengketa melaluai Bawaslu, penyelesaian sengketa proses pemilu juga bisa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sengketa proses pemilu melalui PTUN ini meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau partai politik calon peserta pemilu atau bakal bakal calon dengan KPU.

Sedangkan perselisihan hasil pemilu melalui Mahkamah Konstitusi. Perselisihan hasil pemilu ini meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu, yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Termasuk hasil pemilu presiden dan wakil presiden dan kepala daerah.

KPU sebagai penyelenggara pemilu dan pilkada, mau tak mau harus siap menghadapi semua sengketa hukum tersebut. Namun sebagai penyelenggara, tentu tidak ingin ada sengketa yang menderanya. Selain dipertanyakan profesionalisme dan integritasnya selama penyelenggaraan pemilu maupun pilkada, sengketa hukum itu juga menyita waktu dan tenaga. Meskipun menang dalam sengketa hukum itu, tidak ada yang dibanggakan dari proses yang memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit itu.

 

Sengketa di Bawaslu dan PTUN

KPU Kabupaten Brebes mendapat gugatan dari peserta pemilu pada masa pendaftaran calon anggota DPRD Kabupaten Brebes. Beberapa calon anggota DPRD dinyatakan tidak memenuhi syarat setelah dilakukan verifikasi. Padahal sebelumnya sudah dilakukan masa perbaikan, namun hingga batas akhir masa perbaikan, ternyata tidak dilengkapi. Sesuai dengan PKPU yang ada, maka bakal calon anggota DPRD yang tidak lengkap dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dicoret dari daftar calon anggota DPRD.

Keputusan KPU Kbupaten Brebes untuk mencoret bakal caleg tersebut diambil melalui rapat pleno, dan hasilnya pun disampaikan kepada semua peserta pemilu. Pada awalnya, pengajuan sengketa itu ditolak Bawaslu, karena dianggap telah melewati masa berlakunya. Kemudian setelah KPU menetapkan DCT, peserta pemilu tersebut mengajukan kembali sengketa ke Bawaslu. Bawaslu kemudian menindaklanjuti pengajuan sengketa tersebut, mulai dari ajudikasi hingga siding dengan mengundang sejumlah saksi dan bukti-bukti.

Dalam sidang Bawaslu Kabupaten Brebes, dari dua bakal calon anggota DPRD yang disengketakan, ternyata Bawaslu meloloskan satu bakal calon untuk ditetapkan sebagai calon anggota DPRD. Sedangkan satu bakal calon lagi, tetap dinyatakan tidak memenuhi syarat. KPU sesuai undang-undang, harus menjalankan keputusan Bawaslu tersebut, yakni dengan memasukkan bakal calon tersebut menjadi calon dalam Daftar Calon Tetap (DCT).

Sengketa di Bawaslu berikutnya adalah sengketa perolehan hasil pemilu, yang diajukan salah satu caleg dari peserta pemilu. Sengketa perolehan hasil pemilu itu diadukan ketika proses rekapitulasi di tingkat provinsi. Sehingga ketika giliran KPU Kabupaten Brebes diundang untuk menyampaikan hasil rekapitulasi di tingkat KPU, terpaksa ditunda hingga sidang di Bawaslu selesai dengan keputusannya.

Laporan yang disampaikan oleh salah seorang caleg tersebut ternyata tidak terbukti. Bawaslu menolak adanya PSU di sejumlah TPS di sebuah desa. Karena bukti-bukti yang diajukan tidak ada yang kuat dan hanya klaim semata dari saksi-saksi yang tidak melihat secara langsung. Bahkan saksi yang diundang pun ada yang tidak hadir. Sehingga keputusan Bawaslu tidak berpengaruh terhadap hasil rekapitulasi di tingkat KPU Kabupaten Brebes. Rekapitulasi di tingkat KPU Provinsi pun akhirnya bisa diselesaikan dengan baik.

Selain itu, KPU juga menghadapi sidang Bawaslu Kabupaten terkait dengan sengketa perolehan suara antarcaleg dalam satu partai di suatu Dapil. Perolehan suara antarcaleg dalam satu partai yang dipastikan dapat satu kursi ini di Dapil tersebut memang sangat tipis. Sehingga masing-masing tim sukses dari para caleg tersebut berusaha mencari kekeliruan atau pun kesalahan dalam rekapitulasi di tingkat PPK. Sungguh rumit, karena pengaduan ini dilakukan saling silih berganti di antara dua caleg tersebut.

Pada permohonan pertama, Bawaslu memenangkan pemohon. Karena bukti-bukti yang disampaikan valid dan disandingkan dengan bukti yang ada di KPU. Sehingga KPU pun memperbaiki perolehan suara antarcaleg dalam satu partai tersebut. Akibatnya caleg yang mendapat suara terbanyak itu pun berubah, karena selisihnya hanya tiga suara. Namun dipastikan perolehan suara partai tidak berubah. Karena hanya terjadi kekeliruan dalam pengisian perolehan suara caleg, yang mengakibatkan perolehan suara caleg dalam partai tersebut berubah.

Caleg yang tadinya mendapat suara terbanyak, setelah sidang Bawaslu yang pertama itu pun kemudian mengajukan permohonan sengketa hasil lagi di Bawaslu lagi. Kali ini, timnya membawa bukti yang berbeda dengan bukti yang diajukan tim caleg sebelumnya. Dalam sidang tersebut, Bawaslu pun memenangkan permohonannya tersebut, karena memang buktinya valid dan setelah disandingkan benar adanya. Sehingga perolehan suara caleg-caleg yang selisihnya tipis itu akhirnya berubah lagi.

Sebelum rekapitulasi nasional selesai dilakukan, tim caleg yang sudah meraih suara terbanyak, kemudian digeser lagi, akhirnya mengajukan permohonan ke Bawaslu RI. Dalam sidang yang digelar di Jakarta itu, sejumlah saksi dari PPK dan tim sukses caleg diundang untuk membuktikan kesaksiannya tersebut. Hasilnya pun Bawaslu RI mengabulkan permohonan sengketa perolehan suara tersebut. KPU dinstruksikan untuk memperbaiki hasil rekapitulasi di Dapil tersebut pada perolehan suara caleg dalam satu partai tersebut. Dengan keputusan Bawaslu RI tersebut, caleg peraih suara terbanyak kembali berubah.

Sungguh rumit dan membuat badan penyelenggara, khususnya PPK dan PPS pulang pergi untuk memberikan kesaksian dan pembuktian. Dari kasus ini, diperlukannya ketelitian dan kecermatan dalam proses rekapitulasi yang dilakukan PPK maupun KPU. Di mana jangan sampai terjadi kesalahan memasukan perolehan suara caleg maupun partai. Karena akibatnya terjadi sengketa perolehan hasil, meskipun terjadi dalam satu partai.

Hasil sidang di Bawaslu ini, bisa disimpulkan memang tidak ada kesengajaan untuk memenangkan caleg tertentu dari salah satu partai yang ada. Kasus ini murni karena kurangnya kecetelitian dan kecermatan saat proses rekapitulasi di tingkat PPK. Ini terbukti dari data-data yang disampaikan tim sukses para caleg yang bersengketa itu, hanya acak di beberapa TPS dan PPS serta PPK yang berbeda. Tidak ada indikasi permainan atau kesengajaan untuk menambah atau mengurangi perolehan suara caleg tertentu.

Dari kasus ini, KPU memberikan catatan kepada badan penyelenggara ad hoc, baik PPK maupun PPS untuk lebih cermat lagi. Bawaslu RI dan Bawaslu Kabupaten pun mengawasi dengan ketat keputusan tersebut. Apakah sudah dilaksanakan dengan baik dan benar oleh KPU atau belum. Keptusan Bawaslu tersebut bersifat final, sehingga KPU punya kewajiban untuk menindaklanjuti keputusan Bawaslu itu melalui rapat pleno terbuka, untuk memperbaiki hasil rekapitulasi di tingkat PPK dan rekapitulasi di tingkat KPU.

Sidang Bawaslu terakhir terjadi dengan pengaduan oleh salah satu caleg dalam satu partai politik. Pengaduan sengketa antarcaleg dalam satu partai ini dilakukan setelah ada pelantikan anggota DPRD terpilih. Sementara yang diadukan adalah terkait persyaratan salah satu caleg yang dianggap tidak memenuhi syarat. Mulai dari persoalan ijazah yang dianggap tidak sesuai, hingga masalah nama yang tercantum di ijazah dengan KTP yang dinggap berbeda.

Terkait dengan syarat calon anggota DPRD, ketika ada keberatan sebenarnya sudah lewat jauh ahri. Di mana tanggapan terkait persyaratan calon disampaikan setelah Daftar Calon Sementara (DCS) diumumkan. Berdasarkan data di KPU, hingga batas akhir tanggapan masyarakat itu, tidak ada tanggapan atau masukan terhadap DCS yang ditetapkan KPU Kabupaten Brebes. 

Oleh Bawaslu, pengaduan itu ditindaklanjuti dengan digelarnya sidang sengketa proses. Dalam pengaduannya, pengadu meminta caleg terpilih yang sudah dilantik itu untuk dicoret dari DCT. Sehingga pelantikannnya sebagai anggota DPRD terpilih dibatalkan. Sementara pengadu merupakan peraih suara terbanyak kedua, setelah perolehan suara teradu. Putusan Bawaslu mengabulkan sebagian gugatan caleg tersebut, sehingga KPU pun menindaklanjuti apa yang diputuskan Bawaslu. Akan tetapi caleg tersebut belum puas dengan keputusan Bawaslu, sehingga melanjutkan gugatannya hingga ke PTUN Semarang.

Sengketa pemilu melalui PTUN itu, menurut UU No 7 tahun 2017 meliputi sengketa yang ditimbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD atau partai politik calon peserta pemilu atau bakal pasangan calon dengan KPU akibat dikeluarkannya keputusan KPU.

Dalam di PTUN Semarang, ditunjuk majelis khusus yang telah ditetapkan oleh Mahkmah Agung. Proses sidang sendiri berlangsung cukup lama. Namun sebelumnya, majelis hakim meminta kepada pemohon dan termohon, yakni KPU dan anggota DPRD terpilih untuk dilakukan mediasi. Namun mediasi yang juga melibatkan induk partai politik pemohon dan termohon itu gagal. Sehingga sidang di PTUN tetap dilanjutkan.

Majelis hakim yang beranggotakan tiga orang tersebut sudah mengisyaratkan bahwa persoalan yang diadukan itu sepele dan sudah pasti hasilnya. Sehingga majelis hakim meminta pemohon untuk dilakukan mediasi saja. Jika mediasi berlangsung, maka gugatan PTUN bisa dicabut. Sehingga tidak perlu dillakukan sidang, yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit bagi kedua belh pihak.

Dengan data-data yang dimiliki KPU dan putusan Bawaslu, yang telah memenangkan KPU, menjadi dasar KPU Kabupaten Brebes dalam pembuktian dalam sidang di PTUN tersebut. Keputusan PTUN akhinya memenangkan KPU Kabupaten Brebes. Namun lagi-lagi pemohon melalui pengacaranya tidak puas dengan keptusan PTUN Semarang. Sehingga yang bersangkutan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya. Putusan PT TUN Surabaya pun tetap menguatkan putusan PTUN Semarang. Yakni menolak gugatan pemohon untuk seluruhnya.

 

Sengketa di Mahkamah Konstitusi

Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) memutus Perselisihan hasil Pemilu (PHPU) berpangkal bahwa pemilu adalah instrumen demokrasi. Hal ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang dianut dalam UUD 1945, harus ada jaminan bahwa pemilu sebagai mekanisme demokrasi berjalan sesuai dengan kaidah rule of law dan demokrasi. (Janedri M. Gaffar, 2013, 168).

Selain menyelesaikan sengketa hasil pemilu, MK juga berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Ini ditegaskan dalam UU Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. Di mana KPU sebagai penyelenggara pemilu, juga menyelenggarakan Pilkada. Hasil dari sengketa di MK ini juga bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada lagi upaya hukum lain setelah MK memutuskan hasilnya.

Sengketa hasil pemilu di MK menjadi fokus semua orang, bahkan menjadi pemberitaan di media massa setiap hari. Karena semua proses sengketa hasil pemilu berakhir di sini. Selain terpusat, keputusan MK ini bersifat final dan mengikat. Sehingga siapa yang bakal jadi pemenang atau siapa yang bakal jadi, ada di sini. Meskipun tidak semua langkah hukum yang diajukan ke MK pasti menang. Banyak yang hanya sekedar mencoba-coba, siapa tahu menang di MK. Ada pula yang hanya sekedar klaim tanpa bukti yang valid saat mengajukan permohonan.

Ini terbukti dalam pemilu 2014 dan 2019 yang baru lalu. Permohonan yang diajukan peserta pemilu ke KPU Kabupaten Brebes tidak disertai bukti yang valid dan nyata. Hanya sekedar klaim, agar klien yang dimohonkan oleh para pengacaranya itu menang di MK tanpa bukti yang valid. Atau hanya sekedar para pengacara itu mendapat “pekerjaan” dengan mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK.

Pemilu 2014 dan 2019 lalu, partai politik yang berbeda mengajukan sengketa perolehan suara ke Mahkamah Konstitusi. Namun angka yang diajukan partai tersebut cukup janggal. Karena angkanya genap dan hampir sama di semua KPU Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, termasuk yang diklaim di KPU Kabupaten Brebes. Meskipun akhirnya sengketa tersebut tidak dilanjutkan, karena tidak ada bukti valid dan nyata.

Namun KPU Kabupaten/Kota sebagai pemilik data harus mempersiapkan data-data yang diperlukan semua jika proses sengketa itu dilanjutkan hingga pembuktian. KPU RI sebagai termohon, berkoordinasi dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk menyiapkan bukti-bukti yang diperlukan. Puluhan ribu lembar formulir C1, DA, DB dan formulir lainnya disiapkan. Difotokopi dan dileges dan dibawa ke Jakarta untuk diberi kode pengacara KPU RI. Semua bukti itu akan dicek oleh Majelis Hakim MK, yang bekerja setiap hari.

Untuk pemilu 2019, gugatan sengketa hasil pemilu ini bersamaan, antara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan pada pemilu 2014, waktunya berbeda. Namun keribetan dan keruwetannya sama. Harus menyiapkan data yang diminta KPU RI untuk disampaikan kepada Majelis Hakim.

Sebagai contoh terkait dengan integritas penyelenggara, KPU Kabupaten Brebes memberhentikan salah satu anggota PPK yang terlibat dukung-mendukung kepada salah satu calon yang ada. Meskipun itu hanya dilakukan di medsos yang sudah dihapus, namun hasil screen shoot masih ada. Ketika diklarifikasi, anggota PPK tersebut mengakui, meskipun menyatakan khilaf, namun KPU tetap memberhentikan anggota PPK tersebut.

Pada Pilkada tahun 2012 meskipun ada sengketa di MK, namun permohonan itu ditolak. Sehingga hasil Pilkada yang telah ditetapkan KPU mempunyai kekuatan hukum. Selisih perolehan suara yang cukup kecil menjadi salah satu faktor seorang calon itu mengajukan permohonan ke MK atau tidak.

Saat itu selisih dua pasangan calon hanya 51,85 % melawan 48,15 %. Kondisi politik pada saat itu juga cukup panas. Gesekan antar pendukung sangat rawan, bahkan rumah salah satu komisioner sempat digeruduk oleh salah satu pendukung pasangan calon. Dengan mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu atau Pilkada ke MK, maka ketegangan politik yang ada di daerah bisa diminimalisir.

Pilkada Kabupaten Brebes pada tahun 2017 lalu, tidak ada sengketa Pilkada yang disampaikan ke MK. Pasangan calon yang kalah, mungkin tidak ingin mempersoalkan hasil Pilkada. Meskipun tetap ada kekecewaan, namun akhirnya memutuskan tidak menggugat hasil Pilkada ke MK. Selain hasil perolehan suara yang cukup jauh, yakni 67% berbanding 33% tidak memungkinkan membalik keadaan. Juga integritas penyelenggara Pilkada yang menjadi jaminan, bahwa tidak ada kecurangan atau pun kesalahan yang dilakukan penyelenggara Pilkada.

Dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, pasal 158 disebutkan sejumlah syarat pengajuan gugatan ke Mahkamah Kontitusi. Dalam pasal itu disebutkan persyaratan pengajuan gugatan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Di mana untuk untuk provinsi dengan jumlah penduduk hingga 2 juta jiwa, maksimal perbedaan perolehan suara yang ditetapkan KPU sebesar 2 persen. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maksimal 1,5 persen, jumlah penduduk 6 juta-12 juta maksimal 1 persen dan jumlah penduduk di atas 6 juta maksimal 0,5 persen.

Sedangkan persyaratan pengajuan gugatan pasangan calon bupati dan wakil bupati serta calon walikota dan wakil walikota, kabupaten/kota dengan jumlah pendduk mencapai 250 ribu, perbedaan perolehan suara maksimal 2 persen, penduduk 250 ribu-500 ribu maksimal perbedaan suara 1,5 persen, 500 ribu-satu juta maksimal 1 persen dan satu juta keatas maksimal 0,5 persen.

Dengan persyaratan tersebut, maka peserta pemilu harus berpikir ulang, apakah setiap kekalahan dalam  pilkada akan berakhir di MK. Selain membutuhkan biaya untuk membayar pengacara, juga harus menyiapkan bukti-bukti pendukung yang dapat diterima oleh MK. Jika tidak, maka akan sia-sia gugatan tersebut. Bahkan tidak sedikit gugatan hanya sampai pada sidang pertama saja, tanpa sampai kepada pembuktian.

 

Menjaga Integritas Penyelenggara

Bahwa di setiap ajang penyelenggaraan Pemilu ada yang merasa kecewa dan tidak puas, itu adalah hal yang wajar. Makanya undang-undang pun mengatur rasa ketidakpuasan tersebut melalui jalur hukum, mulai dari Bawaslu, PTUN, Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga diharapkan tidak muncul rasa ketidakpuasan dengan tindakan yang anarkis dan merusak.

KPU sebagai penyelenggara pemilu memang menjadi sasaran utama peserta pemilu yang merasa tidak puas. Sehingga segala gugatan pun diajukan kepada KPU. Gugatan ini menjadi pertaruhan. Jika gugatan memenangkan penggugat, maka ada yang keliru dalam penyelenggara tersebut. Dan dipastikan akan disorot sedemikian rupa oleh peserta pemilu. Dan tidak menutup kemungkinan, juga akan ditindaklanjuti dengan laporan berikutnya. Seperti beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah, ada oknum anggota KPU yang dipecat DKPP, karena terbukti menerima uang. Setelah itu dilaporkan ke polisi dengan tuduhan tindak pidananya

Namun jika KPU menang dalam menghadapi gugatan itu, maka itu hal yang wajar. KPU sebagai penyelenggara pemilu memang harus bekerja apa adanya. Bekerja sesuai dengan undang-undang, tidak boleh ada penyimpangan dan kecurangan. KPU tidak akan mendapat pujian maupun dianggap sebagai pahlawan ketika memenangkan gugatan.

Dengan ditolaknya gugatan, menunjukkan bahwa KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah melakukan pekerjaannya secara profesional. Profesionalisme KPU selama ini menjadi pertaruhan dalam setiap penyelenggaran Pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden, dan Pilkada. Bukan hanya di tingkat pengadilan, profesionalisme KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga diawasi secara kontinyu melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP mempunyai tugas menentukan penyelenggara Pemilu itu melanggar kode etik atau tidak berdasarkan laporan lembaga atau masyarakat.

KPU Kabupaten Brebes juga pernah merasakan pahitnya dilaporkan ke DKPP oleh Bawaslu. Peristiwa yang menimpa sekretariat ini terjadi ketika KPU melakukan sosialisasi Pemilu 2019 dalam karnaval yang diadakan oleh Pemkab. Dalam kasus itu, staf sekretariat yang membawa bendera partai tertentu, mendapat saweran dari atas panggung, yang kebetulan ada pengurus partai. Oleh Bawaslu, kejadian itu kemudian dilaporkan ke DKPP. Namun hasil sidang DKPP, laporan Bawaslu itu tidak terbukti dan nama baik KPU direhabilitasi.

KPU memang bukan malaikat. Namun dituntut bersikap seperti malaikat, yang tidak boleh salah melaksanakan perintah undang-undang. KPU harus benar-benar bersih, sebagai penyelenggara pemilu. Bukan hanya KPU, tetapi semua penyelenggara pemilu hingga di tingkat badan ad hoc, seperti PPK, PPS, dan KPPS. Bahkan ancaman pidana dalam UU Nomor 7 tahun 2017, paling banyak ancamannya ditujukan ke KPU dan badan ad hoc-nya. Sehingga setiap pekerjaan KPU tidak boleh ada kesalahan sama sekali.

Ancaman tindak pidana pemilu ini diatur khusus dalam UU pemilu, yakni pasal 488 sampai dengan pasal 554. Harus diakui, bahwa penyusunan peraturan pelanggaran pemilu tidak hanya melindungi peserta pemilu (partai politik atau kandidat), tetapi juga lembaga pelaksana dan pemilih. Peraturan pelanggaran pemilu ini dalam rangka penegakkan demokrasi, dan upaya perlindungan integritas pemilu. (Dahlan Sinaga, 2018, 60)

Menurut anggota KPU RI, Hasyim Asyari, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu, KPU selalu yang dilaporkan. Ketika KPU dilaporkan ke Bawaslu, KPU menjadi terlapor atau termohon, ketika dilaporkan ke DKPP KPU menjadi teradu, ketika dilaporkan ke MK KPU menjadi termohon. KPU tidak pernah menantang-nantang orang, tetapi kalau KPU ditantang, maka KPU harus membuktikan apa yang sudah dikerjakan KPU. Di sinilah integritas KPU sebagai penyelenggara diuji melalui berbagai macam pengaduan dan laporan masyarakat peserta pemilu.

Ribetnya proses pengadilan pemilu, membuat ide dan wacana agar ada pengadilan khusus pemilu. Hal itu menyeruak agar para hakim yang ditunjuk benar-benar mengetahui hukum pemilu, tidak dicampur dengan peradilan lain. Pembentukan pengadilan khusus pemilu ini lebih baik dibandingkan dengan ‘penguatan Bawaslu’ menjadi lembaga yang berfungsi khusus untuk menangani seluruh masalah hukum pemilu. (Devi Darmawan, 2019, 125)

Namun undang-undang pemilu sudah memasukkan Bawaslu sebagai salah satu lembaga yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa pemilu, seperti diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Meski bersifat final, namun keputusan Bawaslu itu bisa diuji kembali oleh PTUN, sepanjang ada pihak yang merasa kepentingannya dirugikan akibat keputusan Bawaslu.

Berbagai ide dan wacana tentang pentingnya pengadilan khususnya pemilu, memang menjadi perhatian dari para pakal politik dan hukum. Di mana tujuannya adalah semakin baiknya sitem peradilan di Indonesia. Sehingga diharapkan hasilnya akan maksimal, dan para pihak yang bersengketa merasa diperlakukan adil semua. Kita tunggu saja, semoga dengan adanya peradilan khusus pemilu, akan semakin menjadikan pemilu di Indonesia ini lebih demokratis dan adil. (*) 

Komentar

Postingan Populer