Wartawan, Manusia Serba Tahu dan Teliti


Wartawan itu dianggap manusia yang serba tahu. Setiap ada informasi, masyarakat akan langsung bertanya kepada wartawan. Meskipun berita yang disampaikan itu bukan tulisan yang bersangkutan. Karenanya, selain mencari berita, wartawan juga harus banyak membaca berita. Selain sebagai informasi, juga sebagai pembanding dan wahana pembelajaran untuk menulis berita yang baik dan menarik. Salah satu ciri berita yang baik dan menarik yakni banyak dibaca orang.
Karenanya sebagai wartawan, dituntut mampu menulis dengan patokan 5W+1H, yaitu What (apa), Who (siapa), When (kapan), Where (dimana), Why (kenapa), dan How (bagaimana). Dengan mendeskripsikan melalui kunci tersebut, maka seharusnya orang yang membaca berita tersebut tidak perlu lagi bertanya. Cuma kadang bagi sebagian pembaca, mereka hanya membaca secara sekilas, sehingga masih bertanya bagaimana detailnya berita tersebut. Bagi wartawan, deskripsi 5W+1H merupakan kewajiban.
Namun format berita online saat ini masih jauh dari 5W+1H tersebut, karena mereka berpatokan pada kecepatan berita. Meski baru mendapat informasi sepotong, media online sudah langsung memunculkan berita tersebut. Sehingga pembaca harus mengikuti pemberitaan tersebut. Bagaimana gambaran utuh berita yang dibuat tersebut. Jika tidak, maka informasi yang didapat pun cuma sepotong. Akibatnya, seringkali berita yang sepotong tersebut tersebar dan menjadi hoaks, dan menjadi bahan untuk menyerang bagi lawan atau orang yang tidak menyukainya.
Dengan pedoman tersebut, maka wartawan mau tak mau harus ke tempat kejadian perkara atau lokasi di mana suatu peristiwa terjadi. Sehingga akan diperoleh informasi yang jelas dan terinci. Jika hanya berdasarkan cerita seseorang, maka informasi yang diperoleh tidak akan lengkap. Pun jika berita yang diperoleh itu hanya copy paste dari rekan wartawan lain, maka informasinya yang diperoleh masih kabur. Seorang wartawan secara etika tidak boleh melakukan plagiat berita dari orang lain. Selain itu harus selektif, apakah berita yang diperolehnya itu benar-benar adanya, atau hanya rekayasa saja dari seseorang. 
Dengan mengetahui peristiwa yang terjadi secara langsung, maka seorang wartawan ketika ditanya masyarakat akan tahu secara detail. Sehingga saat menulis beritanya pun seolah-olah wartawan itu melihat peristiwa itu secara langsung dan menggambarkannya dalam sebuah berita. Jangan sampai ketika ditaya, hanya sepotong-sepotong saja. Ketika itu dilakukan, maka para pembaca juga akan merasa seoalah-olah berada di tempat di mana peristiwa itu terjadi.
Menjadi wartawan, memang dituntut untuk menjadi manusia super, manusia yang dianggap serba tahu. Meskipun yang diketahui hanya informasi yang sedikit. Namun ketika ditanya seputar informasi atau berita-berita yang berkembang di masyarakat harus tahu. Wartawan itu harus banyak tahu ilmu, meski tidak mendalami suatu ilmu tertentu. Ketika menulis tentang pertanian misalnya, dia harus tahu apa itu pertanian yang ditulisnya. Meski tidak harus tahu secara detail bagaimana pertanian yang baik. Begitu pula dengan ilmu lainnya, seperti pemerintah, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.
Selain dianggap manusia yang serba tahu, wartawan juga dituntut sebagai seorang yang teliti. Teliti tidak hanya ketika menbghitung uang saja, tetapi benar-benar teliti atas apa yang akan ditulisnya. Seperti apakah informasi yang diterimanya itu valid atau tidak. Untuk mengetahui valid tidaknya suatu informasi, sebelum ke lokasi dia dapat mencari sumber lain untuk memastikan validitasnya peristiwa tersebut. Sehingga tidak sampai kecele, jauh-jauh didatangi ternyata informasinya tidak benar.
Wartawan harus benar-benar teliti dalam menulis nama orang, nama tempat dan juga ahrus teliti dalam menulis istilah yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Dalam menulis nama orang saja, juga harus benar-benar teliti. Salah satu huruf saja, bisa dikomplain oleh yang bersangkutan. Khususnya terkait dengan ejaan nama seseorang, seperti nama Edi, ejaannya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Ada yang ditulis biasa, Edi, ada pula yang ditulis Edie, Edhi, Eddy, Edhie, Edy. Ini contoh penulisan ejaan nama seseorang. Contoh yang paling sering misalnya, saat menulis nama Presiden Soeharto, harus sesuai dengan ejaan yang benar. Karena terkadang masih ada orang yang menulis memakai ejaan lama. Bacaannya jelas Suharto, tetapi ejaannya pakai ejaan lama, sehingga ditulis Soeharto.
Begitu pula dengan istilah-istilah yang resmi digunakan dalam suatu peristiwa. Jangan sampai seorang wartawan ditertawakan pembacanya, karena dalam penulisan terjadi kesalahan peyebutan istilah. Jika memang tidak atahu ejaannya, tidak perlu sungkan untuk minta tolong kepada narasumber itu untuk menulis ejaan yang benar. Seperti misalnya istilah dalam gempa yang terjadi di Sulawesi, ada istilah likuefaksi. Selain penulisannya harus tepat, juga perlu dijelaskan arti dan maksu dari istilah yang masih asing di telinga masyarakat. Wartawan harus bertanya secara langsung kepada narasumber tersebut atau searching di Google, terkait arti dari istilah tersebut.
Pun terkait dengan ejaan, seorang wartawan dituntut ketelitiannya. Jangan sampai ejaan tulisan wartawan kekurangan ataupun kekurangan huruf. Bisa berubah arti dan maksudnya. Misalnya antara calo dan calon, desa dan dosa, kasur dan kasir. Apalagi kata-kata yang sensitif, bisa berbahaya arti dan maksudnya.
Karenanya wajar jika wartawan mendapat sebutan sebagai manusia yang serba tahu dan teliti. Mengingat tugas dan kewajibannya menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sudah seharusnya wartawan bisa menjalankan tugasnya itu dengan baik. (*)

Komentar

Postingan Populer