Wartawan Bodrex?
Bagi masyarakat yang
sering berhubungan dengan wartawan, tentu sering mendengar istilah wartawan
bodrex. Mungkin timbul pertanyaan, kenapa ada istilah wartawan bodrek, yang
merujuk pada salah satu mereka obat sakit kepala. Ternyata istilah ini ada
sejarahnya. Seperti diceritakan Sofyan Lubis, salah seorang wartawan senior
dalam bukunya Wartawan? Hehehe… (PT Metro Pos, Jakarta, 2009). Istilah itu
muncul tahun 1980-an. Di mana iklan salah satu obat sakit kepala itu muncul di
media massa. Meskipun pemilik produk bodrex tentu saja tidak terima jika
namanya diistilahkan untuk wartawan yang tidak baik tersebut.
Wartawan yang disebut
wartawan bodrex itu datang layaknya pasukan, seperti yang diklankan tersebut.
Mereka kalau datang itu berkelompok mendatangi korban, melakukan pemerasan,
mengancam dan menakut-nakuti narasumber, bahkan tidak jarang melakukan
kekerasan. Sebenarnya mereka tidak layak disebut sebagai wartawan, karena
mereka tidak melakukan tugas-tugas jurnalistik seperti yang diatur dalam kode
etik jurnalistik. Namun mereka selalu berbekal kartu identitas jurnalistik,
meskipun medianya juga abal-abal, tidak jelas.
Pada era reformasi,
pasca jatuhnya Presiden Soeharto, wartawan bodrex ini jumlahnya berkembang
pesat. Jika dijumlah di seluruh Indonesia, mungkin mencapai ratusan ribu orang.
Karena mereka juga muncul di setiap daerah, mulai dari provinsi hingga
kabupaten. Ini tidak lepas dari kebebasan pers, dengan terbitnya UU Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers. Munculnya wartawan-wartawan bodrex ini jelas sangat
menganggu keberadaan wartawan yang professional. Nama mereka juga rusak oleh
keberadaan wartawan-wartawan bodrex tersebut. Bahkan ada sejumlah institusi
yang merasa alergi ketika didatangi wartawan, karena ulah wartawan bodrex tersebut.
Wartawan bodrex ini
selain merugikan wartawan profesional, keberadaannya juga meresahkan masyrakat,
khususnya di kalangan pejabat pemerintah. Mereka datang bergerombolan dan tidak
punya etika ke instansi pemerintah, bahkan sekolah-sekolah. Kedatangan mereka
bukan mencari berita tetapi lebih banyak mencari masalah. Mereka
mempermasalahkan sesuatu dengan alasan sebagai kontrol atas masukan masyarakat.
Dengan alasan itu, mereka ujung-ujungnya meminta kompensasi atas persoalan
tersebut. Entah dengan alasan pengganti ongkos cetak maupun untuk biaya
pemasangan iklan. Jika ditolak, biasanya disertai dengan ancaman pemuatan
berita atas masalah tersebut atau melaporkannya ke polisi atau kejaksaan.
Bagi pejabat yang sudah
terbiasa menghadapi wartawan bodrex ini, tentu tidak akan diperhatikan. Namun
bagi pejabat yang mempunyai masalah, biasanya akan ketakutan dengan kedatangan
para wartawan bodrex ini. Karena mereka ketakutan kesalahan yang diperbuatnya
akan diketahui orang banyak. Sehingga seringkali mereka dengan terpaksa
memenuhi keinginan mereka, yakni dengan menyerahkan sejumlah uang. Dengan
harapan berita atau pun permasalahan yang dihadapi itu tidak dimuat di koran
dan tidak dilaporkan ke polisi maupun kejaksaan. Namun jangan berharap pejabat
itu dapat tidur dengan tenang, mereka pasti akan datang dengan kelompok yang
berbeda. Tujuannya pun sama, meminta kompensasi atas persoalan yang ditemukan
tersebut.
Beberapa kasus wartawan
bodrex yang melakukan pemerasan itu pun tertangkap tangan, dengan bantuan
wartawan yang kasihan melihat narasumber yang ditemui itu ternyata diperas oleh
wartawan bodrex. Dengan bekerja sama dengan aparat kepolisian, wartawan bodrex
itu pun bisa ditangkap tangan dan akhirnya diproses hukum. Perlu keberanian
untuk melaporkan wartawan-wartawan bodrex itu ke kepolisian, selain sebagai
tindak pidana, juga sebagai efek jera agar keberadaan mereka semakin berkurang.
Dalam Negara demokrasi
memang disebutkan bahwa media massa merupakan pilar keempat demokrasi. Yakni
berperan sebagai kontrol sosial dari masyarakat secara langsung. Namun peran
itu ternyata disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, yakni pemerasan yang merupakan
tindak pidana. Fungsi-fungsi pengawasan media massa adalah menciptakan clean government, pemerintahan yang
bersih. Siapa pun bisa melaksanakan fungsi pengawasan dan kontrol sosial ini.
Masyarakat bisa menyampaikan pengaduan, baik kepada media massa maupun melalui
lembaga resmi yang dibentuk pemerintah, seperti ombudsman.
Keberadaan wartawan
bodrex ini, selain meresahkan masyarakat, juga merusak citra wartawan
profesional. Mereka yang bekerja siang malam, namanya rusak akibat ulah oknum
yang mengaku sebagai wartawan. Keberadaan mereka, sebenarnya tidak layak
disebut sebagai wartawan, karena selain tidak tidak menjalankan tugas-tugas
jurnalistik, dan penuh dengan pelanggaran kode etik, apa yang mereka lakukan
juga merupakan tindak pidana. Karenanya, jika ada oknum yang mengaku sebagai
wartawan, namun tidak melakukan tugas-tugas jurnalistik, segera laporkan ke
kepolisian maupun waratwan dan lembaga yang menaunginya, baik PWI, AJI, AJTVI
dalan lainnya. (*)
Komentar
Posting Komentar