Mengapa Pendidikan Politik?
Dalam gelaran Pemilu,
ada saja sosialisasi yang dilakukan. Mulai sosialisasi hari pelaksanaan Pemilu
hingga cara mencoblos. Itu adalah persoalan teknis, untuk lancarnya sebuah
perhelatan demokrasi, yang digelar lima tahun sekali tersebut. Namun di luar
itu, yang cukup penting, bahkan menjadi ruh dari demokrasi itu sendiri, yakni
pendidikan politik.
Mengapa pendidikan
politik? Sosialisasi merupakan bagian dari pendidikan politik. Di mana
pendidikan politik tidak hanya sekedar bagaimana teknis mencoblos dan memilih
yang benar. Namun bagaiamana menjadi seorang warga negara, yang memiliki
kedaulatan secara politik untuk menentukan pilihan politiknya. Pendidikan
politik menjadi awal dari proses politik yang dicita-citakan demokrasi. Bukan
hanya sekedar demokrasi yang semu, bahkan pura-pura seperti jaman Orde Baru.
Pendidikan politik
menjadi tonggak awal bagi sebuah sistem politik, yang mampu mewujudkan
kemandirian suatu bangsa, suatu masyarakat yang benar-benar mandiri. Pemilih
tidak mudah terpengaruh diiming-imingi oleh uang, tidak goyah oleh intimidasi
dan mempunyai kemauan untuk menggunakan hak pilihnya tersebut. Tanpa pendidikan
politik, demokrasi yang dibangun di negeri ini hanya akan menjadi angan-angan
sepanjang masa.
Karenanya tak heran,
jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempunyai tugas untuk melakukan pendidikan
politik. Bukan hanya kepada warga negara yang telah memiliki hak pilih, namun
juga kepada mereka yang memasuki usia pendidikan. Pendidikan pemilih pemula,
adalah salah satu target dari pendidikan politik yang dilakukan KPU.
Sejak awal, pendidikan
politik ini sangat penting. Sehingga ketika mereka remaja tidak bingung dengan
istilah politik dan demokrasi, karena sudah dikenalkan sejak awal. Ketika
mereka mengenal politik yang sudah terkontaminasi, misalnya dengan politik
uang, maka akan sangat berbahaya bagi masa depannya. Khususnya masa depan
politik demokrasi, yang sudah susah payah dibangun dengan keringat dan
darah.
Yang paling awal
mungkin dia akan bersikap apolitik, tidak mau terlibat dalam kegiatan politik
apa pun. Dan yang paling parah adalah menjadikan uang sebagai panglima dalam
politik. Jika kondisi ini dibiarkan, maka tunggu saja kehancuran politik dan
demokrasi suatu bangsa. Mereka yang muak dengan politik demokratis, akan
mengambil alih kekuasaan dengan kekuatan yang dimilikinya, secara militer atau
pun melalui pemberontakan bersenjata.
Untuk kembali ke
kehidupan yang demokratis dan politik yang kondusif dibutuhkan waktu yang lama
dan perjuangan yang berdarah-darah. Pengalaman demokrasi di Indonesia, mulai
dari awal kemerdekaan, era Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi, telah
membuktikan bahwa perjuangan ke arah negara demokrasi tidaklah mudah. Orde
Lama, yang menyelenggarakan Pemilu pertama setelah kemerdekaan, yakni Pemilu
1955, hasilnya dibubarkan begitu saja oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit 5
Juli 1959. Kemudian Pemilu-Pemilu Orde Baru, intimidasi dari aparat keamanan
kepada pemilih sedemikian massif, sehingga dipastikan Pemilu dimenangkan oleh
organisasi yang dibentuk penguasa.
Selama Orde Baru
berkuasa dibawah otoriterisme Soeharto, mereka yang berbeda pendapat akan
diberangus dan dihilangkan. Apalagi melakukan perlawanan secara politik,
dijamin segera hilang dari bumi Indonesia. Karenanya, ketika Orde Baru tumbang,
penerusnya BJ Habibie mengambil langkah yang sangat demokratis dengan menggelar
Pemilu secepatnya, yakni Pemilu 1999. Puluhan partai politik ikut berkompetisi
dalam Pemilu yang untuk pertama kalinya dibebaskan, tanpa intimidasi maupun
politik uang.
Sistem politik
demokratis yang telah diawali dengan baik ini harus dipelihara dan dikembangkan
terus. Namun dalam perjalanan Pemilu-Pemilu berikutnya, hingga Pemilu terakhir
2019 lalu, masih banyak kendala dan PR yang harus diselesaikan untuk menuju negara
yang benar-benar demokratis. Mulai dari politik uang, politik sektarian, hingga
gesekan-gesekan antar pendukung partai. Di situlah peran pendidikan politik,
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan PR yang masih menjadi momok kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik ini
bukan hanya tugas KPU dan penyelenggara Pemilu lainnya. Namun menjadi tugas
bersama, pemerintah dan stake holder lainnya, termasuk lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan. Sehingga cita-cita yang diamanatkan
UUD tahun 1945 bisa diwujudkan. Menjadikan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila.
Pendidikan politik
menjadi keharusan dalam setiap tahapan kehidupan bermasyarakat. Jangan sampai
paham-paham anti demokrasi, yang menumpang hidup di negara demokrasi ini justru
tumbuh subur dan akhirnya memberangus demokrasi itu sendiri. Laiknya seperti
benalu yang menumpang hidup di induk pohon yang ditumpanginya.
Dengan berteriak
lantang atas nama demokrasi, mereka justru memberangus demokrasi. Mereka yang
berbeda dianggap sesat dan kafir, yang mnioritas tidak mendapat tempat sama
sekali. Hingga muncul sekat-sekat di tengah masyarakat yang demokratis dengan
kemarahan dan kebencian yang mereka ciptakan. Merasa paling besar dan benar
sendiri, yang lain salah dan sesat, sehingga harus mengikuti mau kelompoknya.
Pendidikan politik
harus ditanamkan sejak awal, sejak anak-anak mulai mengenyam bangku sekolah dan
melek huruf. Dengan pemahaman dan pengenalan paling sederhana, mulai dari
perlunya kepemimpinan yang demokratis hingga sistem politik dalam negeri yang
ditinggalinya tersebut.
Hal-hal semacam ini
pulalah yang juga harus dijelaskan dalam pendidikan politik. Mana yang hanya
sekedar mencari kekuasaan dan mana yang memang benar-benar ingin mewujudkan
sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika dan
demokratis. Itulah mengapa perlu pendidikan politik sejak awal. (*)
Diterbitkan Radar Tegal, Kamis 28 November 2019
Komentar
Posting Komentar