Buah Simalakama Politik Uang

Gelaran Pilkada 9 Desember 2020 tinggal menghitung hari. Tiga hari jelang Pilkada ini ditetapkan sebagai hari tenang. Di mana hari tenang dimaksudkan untuk mempersiapkan Pilkada secara lahir dan batin, agar pelaksanaannya dapat berjalan lancar dan sukses. Hari tenang juga mempersiapkan para pemilih untuk menimbang dan segera menentukan sikap pilihannya pada hari coblosan. Sehingga ketika datang ke TPS, sudah ada pilihan yang mantap dan yakin.

Hari tenang ini bukan untuk melakukan praktik-praktik politik curang, seperti politik uang untuk mempengaruhi pilihan pemilih. Bukan pula untuk memassifkan kampanye, yang sebenarnya sudah berakhir. Bukan juga untuk melakukan intimidasi kepada para pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Namun pada prakteknya, hari tenang ini justru menjadi ajang kampanye terselubung yang terang benderang, yakni politik uang. Malah ada istilah serangan politik uang sehari sebelum coblosan.

Politik uang ini dalam setiap gelaran pemilihan bukan rahasia lagi, mulai dari Pemilihan Umum hingga Pemilihan Kepala Desa. Politik uang ini ibarat buah simalakama, jika diterima menjadi candu demokrasi, ditolak dianggap sombong dan tidak menghargai yang memberi. Jika dibiarkan akan merusak demokrasi yang sudah dibangun puluhan tahun. Jika diberangus akan berhadapan langsung dengan para pelaku politik uang dan masyarakat itu sendiri. Yang pasti, bahwa politik uang adalah pelanggaran yang ada sanksinya.

KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu pun tak bosan-bosan untuk mensosialisasikan larangan politik uang tersebut. Dalam setiap sosialisasi, mulai dari sosialisasi tahapan, pencalonan, daftar pemilih hingga cara mencoblos dan lainnya, KPU selalu menyelipkan sosialisasi antipolitik uang. Bawaslu juga meluncurkan desa-desa antipolitik uang sebagai percontohan. Namun ada saja yang pesimis dengan sosialisasi dan langkah-langkah yang dilakukan KPU maupun Bawaslu.

Sosialisasi bukan hanya dari regulasi hukum positif saja, namun juga melalui dalil-dalil agama, khususnya agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah hadist Nabi terkait dengan suap menyuap. Di antaranya hadist dari Abu Hurairah RA berkata:  Rasul SAW bersabda: Allah SWT melaknat penyuap dan yang di suap (HR. Imam Ahmad). Ketika Rasul melaknat perbuatan tersebut, maka perbuatan yang tidak baik dan dosa itu menjadi haram.

Apakah politik uang dalam setiap jenis Pemilihan itu termasuk kategori suap? Inilah yang harus dikaji lebih mendalam secara fikih oleh para ahli agama. Namun dari hasil kajian beberapa pihak, bahwa politik uang dalam hal ini diqiyaskan dengan suap menyuap seperti yang dimaksud dalam hadist tersebut. Tetapi ada juga yang menyatakan jika pemberian suap itu dilakukan secara paksa, untuk mendapatkan hak-haknya diperbolehkan atau dihalalkan.

Hal seperti ini juga dipertanyakan terkait politik uang dalam Pemilihan, apakah bisa diqiyaskan seperti suap diatas. Ada beberapa pendapat yang menyatakan, bahwa untuk mendapatkan hak atau pun untuk menghindari madhorot atau kerusakan lebih besar jika tidak dilakukan politik uang, maka politik uang itu diperbolehkan. Hingga dalam Pemilihan muncullah politik uang, bahkan ada yang adu besar jumlahnya untuk mendapat simpati pemilih. Di sinilah buah simalakama politik uang.

Buah simalakama ini juga bisa terjadi dalam penggunaan istilah politik uang dan uang politik. Dua frasa yang berbeda dan hanya dibalik, namun memiliki arti yang berbeda. Politik uang diartikan sebagai upaya bagi-bagi uang untuk mempengaruhi pemilih, seperti yang disebutkan dalam undang-undang pemilihan. Sedangkan uang politik adalah uang atau biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan politik. Sebuh partai politik atau pun pasangan calon, pasti membutuhkan biaya untuk kegiatan politik. Mulai dari sosialisasi, pengadaan alat peraga kampanye, operasional kegiatan hingga honor-honor untuk narasumber kegiatan. Apakah politik uang termasuk bagian dari uang politik? Tergantung dari pihak mana mau memasukkan atau tidak.

Dalam pembahasan politik uang dalam pemilihan, kiranya selain dasar atau dalil-dalil agama di atas, dasar hukum posistif yang telah diatur dalam undang-undang, sudah cukup menjadi acuan. Seperti dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pada pasal 280 huruf j disebutkan bahwa menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu merupakan larangan. Pelanggaran terhadap larangan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu. Begitu pula dalam UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada pasal 73 ayat 4 disebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.

Kemudian dipertegas lagi pada pasal 187A bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung atau pun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pasal 73 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Yang pasti, dalam hukum positif terkait dengan politik uang dalam pemilihan sudah diatur cukup jelas. Meski masih ada celah-celah yang bisa disiasati para calon yang bertarung dalam kegiatan pemilihan. Bahkan dalam beberapa guyon politik hukum, undang-undang dibuat untuk disiasati atau dilanggar. Namun yang pasti anggapan itu keliru dan tidak untuk diikuti. Langkah-langkah yang dilakukan KPU dan Bawaslu, serta aktivis-aktivis LSM untuk melawan politik uang yang merusak demokrasi harus terus dilakukan.

Dasar hukum positif ini menjadi pijakan kita, para pejuang demokrasi, para penyelenggara Pemilu, aktivis LSM dan masyarakat, serta para pendidik. Agar politik uang itu bisa dicegah dan diminimalisir, tidak mewabah seperti penyakit menular yang susah dihentikan. Sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas perilaku politik uang. Yakni dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang akan memutus demokrasi yang sudah dibangun dan diperjuangkan dengan berdarah-darah.

Politik uang adalah candu demokrasi. Semua harus melawan dan berikhtiar, agar buah simalakama itu berubah menjadi buah khuldi. Sehingga demokrasi yang terus dibangun menjadi demokrasi yang mencerdaskan dan menyejahterakan. (*)

 

Terbit di Panturapost.com 7 Desember 2020

Komentar

Postingan Populer