Budaya Literasi di Kalangan Santri

 Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan pertama di Indonesia, mempunyai peran yang sangat penting bagi Indonesia. Selain sebagai laskar utama melawan penjajahan, seperti Hizbullah dan Sabilillah, pesantren juga lekat dengan akar budaya literasi. Tradisi pesantren berupa sorogan maupun bandungan, adalah tradisi literasi pesantren yang masih berlangsung hingga kini.

Kini, setelah ada peringatan Hari Santri, tantangan yang dimiliki kaum bersarung ini semakin bertambah. Bukan hanya membaca untuk diri sendiri, berupa sorogan maupun bandungan, tapi juga dibutuhkan bacaan untuk masyarakat awam lainnya. Mereka butuh bacaan-bacaan santri, yang tidak hanya seputar dunia fikih dan aqidah saja, tetapi juga dunia ekonomi, sosial dan politik santri.

Apalagi di tengah dunia digital yang berada hanya dalam satu genggaman satu klik saja. Jika kaum santri milenial tidak menguasai teknologi ini, maka masyarakat tidak akan mengenal santri lagi. Tokoh dan panutan masyarakat yang selama ini berasal dari pesantren, akan tergerus tokoh-tokoh yang berasal dari You Tube, Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Tidak ada lagi perilaku cium tangan maupun takdim kepada kyai dan ulama yang jadi panutan masyarakat.

Karenanya, tantangan santri sekarang ini adalah menumbuhkan budaya literasi, dengan menunjukkan eksistensinya melalui media sosial yang ada. Meski demikian, tidak menjadikan santri lupa dengan tradisi pesantren yang sudah ratusan tahun tertanam di bumi Nusantara ini.

Eksistensi santri di dunia maya ini bukan hanya sekedar foto-foto selfi, atau ragam kegiatan formalitas organisasi, tetapi lebih dari itu. Tetapi bagaimana santri mampu mengembangkan budaya literasi, yang selama ini sudah ada sejak berabad-abad lalu. Selain membaca, mereka juga mengarang kitab-kitab sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.

Sekedar mengingatkan, literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. (Wikipedia)

Di sini, kaum santri sekarang ini dituntut untuk mampu meneruskan budaya literasi pendahulunya. Jika kita-kitab para pendahulu santri berupa kitab-kitab kuning, kitab yang berbahasa Arab, kini santri dituntut untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang sudah ada tersebut. Paling tidak, untuk mengacak masyarakat membaca, bagi yang tidak pernah merasakan pendidikan pesantren, paling tidak membaca terjemahan kitab-kitab tersebut. Ii adalah tantangan paling ringan bagi santri masa kini.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana santri bisa membuat sebuah tulisan maupun buku, yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat masa kini. Dengan bahasa dan gaya modern, yang mudah dipahami dan tidak menimbulkan tafsir sendiri. Karena saat ini, banyak orang yang mengaku ustadz, sementara pesantren saja tidak pernah diinjaknya, yang kemudian menafsirkan ayat atau pun hadits atas kemauan sendiri.

Memahamkan dengan bahasa yang mudah dipahami adalah tugas santri milenial dalam menjawab tantangan jaman sekarang ini. Mereka harus mampu menyebar kebaikan di luar lingkup pesantren. Mereka wajib menyampaikan ke khalayak, dengan kemampuan ilmunya dan disampaikan ke khalayak ramai.

Selama ini, tradisi yang masih berkembang di kalangan santri pesantren adalah tradisi lisan, tradisi ceramah dengan mengambil contoh-contoh dari Nabi maupun para sahabat. Tradisi ini harus tetap dipertahankan, namun dengan menambah manfaat teknologi yang ada, seperti You Tube, Facebook, Twitter dan lainnya. Sehingga ilmu yang selama ini hanya berkembang di pesantren, juga ikut tersebar melalui media sosial tersebut.

Saat ini banyak santri alumni pesantren yang berhasil menjadi penusli-penulis hebat. Sebagian besar dari mereka, pasca menyelesaikan pendidikan di pesantren melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Namun bukan berarti yang tidak melanjutkan ke laur negeri tidak bisa menyamai mereka. Kemampuan santri, meski hanya lokal Indonesia, tidak kalah dengan mereka yang lulusan luar negeri.

Untuk bisa menunjukkan itu, maka tradisi literasi itu harus terus dimunculkan, agar mereka diketahui khalayak, bahwa santri juga bisa. Sudah saatnya budaya dan tradisi literasi yang dibangun para santri dan ulama terdahulu, dengan karya-karya klasiknya diteruskan dikembangkan para santri milenial. Tulisan ini hanya pemantik saja di tengah peringatan Hari Santri, dengan tema Santri Sehat Indonesia Kuat. Santri yang sehat, tentu santri yang kuat dengan budaya literasi. Selamat Hari Santri nasional. (*)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer