Pilkada E-Voting Mungkinkah?
Sebanyak
270 daerah di Indonesia pada tahun 2020 menyelenggarakan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Serentak, termasuk 21 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Meski
dipastikan pada Pilkada 2020 tidak menggunakan e-voting atau pemberian suara
secara elektronijk, namun kemungkinan Pilkada selanjutnya bisa menggunakan
metode e-voting. Sejumlah pemilihan kepala desa saja di beberapa kabupaten
sudah ada yang menggunakan e-voting. E-voting menjadi salah satu alternatif
dalam sistem pemberian suara seperti yang diatur dalam undang-undang. Bukan
hanya Pilkada saja, namun dalam pelaksanaan Pemilu-Pemilu berikutnya, juga bisa
menggunakan e-voting.
Dalam
undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada pasal 85 disebutkan bahwa pemberian
suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada
surat suara; atau memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara
elektronik. Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud itu
dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi
infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan dan
mudah.
Begitu
pula dalam hal penghitungan suara, seperti diatur dalam pasal 98, dalam hal
pemberian suara dilakukan secara elektronik, penghitungan suara dilakukan
dengan cara manual dan/atau elektronik. Untuk Pilkada Serentak Tahun 2020,
sekali pun pemberian suara dengan memberi tanda atau mencoblos, namun
informasinya dalam penghitungan suara akan menggunakan e-rekap, atau
penghitungan suara secara elektronik.
Jika
mengacu pada undang-undang Pilkada, terkait pelaksanaan pemberian suara secara
elektronik atau e-voting tersebut dilakukan, sangat tergantung dari tergantung
dari kesiapan Pemerintah Daerah, khususnya infrastruktur dan kesiapan
masyarakatnya. Infrastruktur yang dimaksud tentunya adalah perangkat atau alat
untuk pemberian suara secara elektronik. Mampukah Pemda menyiapkan perangkat
tersebut untuk penyelenggaraan Pilkada, kemudian SDM yang menjalankan perangkat
tersebut. Selain juga penyedia perangkat yang dibutuhkan aman dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pun sudah melakukan uji coba terkait
penggunaan e-voting dalam Pemilu. Namun itu tergantung juga dari para pembuat
kebijakan dan keputusan, yakni Pemerintah Pusat dan DPR. Bahwa pelaksaan
e-voting sangat mungkin dilakukan, karena secara prinsip e-voting mengedepankan
kemudahan dan efisiensi. Pemilih tinggal menyentuh panel komputer yang
disediakan. Di layar itu akan muncul gambar dan nomor urut calon, pemilih
tinggal menyentuh salah satu calon. Hasilnya akan direkap secara otomatis dan
hasil pilihan itu juga akan dicetak secara manual. Sehingga selain
penghitungannya bisa langsung secara elektronik, juga bisa dilakukan secara
manual melalui hasil cetak pilihan secara elektronik tadi.
Selain
itu, pelaksanaan e-voting dan e-rekap itu juga secara SDM dan anggaran akan
terjadi efisiensi yang cukup besar. Petugas TPS tidak perlu banyak-banyak, dan
dalam satu TPS bisa melayani pemilih hingga seribu orang. Begitu dengan
logistik seperti surat suara, kotak suara, formulir-formulir yang jumlahnya
cukup banyak, hingga distribusi dan lainnya, tidak lagi diperlukan. Otomotis
akan menekan biaya atau anggaran pelaksanaan Pilkada maupun Pemilu tersebut.
Untuk
mempersiapkan e-voting dalam Pilkada atau Pemilu, dibutuhkan perencanaan dan
koordinasi yang matang agar bisa dilaksanakan dengan baik dan lancar.
Pelaksanaan e-voting tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba atau sim salabim.
Apalagi dengan waktu yang singkat dan peralatan yang belum siap. Serta kesiapan
masyarakat, apakah bisa menerima sistem e-voting itu atau justru menolaknya.
Perlu waktu sosialisasi maupun uji coba yang berkesinambungan, sehingga
hasilnya bisa dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak lupa, apakah
perangkat e-voting itu bisa disiapkan oleh penyedia jasanya untuk kebutuhan
pelaksanaan e-voting tersebut.
Satu
hal yang sangat penting dari pelaksaan e-voting dan e-rekap ini adalah dasar
hukum pelaksanaannya yang jelas dan mempunyai dasar yang kuat. KPU sebagai
penyelenggara Pemilu tidak bisa serta merta memutuskan pelaksaan e-voting tanpa
koordinasi dengan lembaga yang lain, khususnya pemerintah dan DPR. Begitu pula
dengan kesiapan perangkatnya, apakah bisa disipakan untuk semua wilayah atau
hanya sebagian atau beberapa wilayah saja.
Hal-hal
seperti ini harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan sebuat sistem Pemilu,
yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya bagi calon atau
penyelenggaranya saja, tetapi masyarakat pemilih juga sangat berkepentingan.
Apakah dengan penggunaan e-voting, tingkat partisipasi akan meningkat atau
justru sebaliknya semakin rendah. Karena tidak semua masyarakat familiar dengan
teknologi yang ada. Begitu pula faktor keamanan, apakah semakin kondusif atau
justru sebaliknya. Harus ada kajian dan survei terkait kebijakan yang akan
diambil tersebut.
Sebuah
pilihan kebijakan tentu ada plus minusnya. Namun dengan kajian yang matang,
kebijakan yang menghasilkan nilai positif, baik bagi pemerintah dan masyarakat,
tentu akan diambil. Meski dengan mengesampingkan sisi negatif dari kebijakan
tersebut, karena sudah ada antisipasi terhada sisi negatif tersebut.
Apapun
nanti kebijakan pemerintah dan DPR terkait Pilkada atau pun Pemilu, KPU sebagai
penyelenggara tentu harus siap. Termasuk siap ketika suatu saat dilakukan
Pemilu dengan sistem e-voting. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) saja bisa
menggunakan e-voting, masa KPU yang diisi orang-orang profesional dan
berintegritas tidak mampu melaksanakan e-voting? Meski kegagalan adalah bagian
dari resiko kebijakan. Namun jika direncanakan dengan matang dan baik, maka
kegagalan bisa diminimalisir. (*)
Ditayangkan PanturaPost, edisi 10 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar