Politik Dinasti

Dalam sistem demokrasi, seperti Indonesia, pilihan rakyat sangat menentukan siapa yang bakal meraih kekuasaan. Karena suara terbanyaklah yang nanti dilantik, apakah itu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, Gubernur maupun Bupati/Walikota. Berbagai macam strategi politik dilakukan untuk mendapat suara terbanyak dan memenangkan Pemilu. Mulai dari memberikan janji, hingga program dan politik uang sekalipun, termasuk politik dinasti.

Politik dinasti merupakan salah satu strategi politik dalam setiap gelaran Pemilu maupun Pilkada. Di mana politik dinasti ini meniru langkah-langkah yang dilakukan para penguasa jaman dulu, era kerajaan. Di mana orang tua akan memberikan kekuasaan kepada anak atau kerabat lainnya yang ditunjuk. Hingga muncullah dinasti politik yang berkuasa di suatu kerajaan maupun suatu negara. Berbeda dengan nepotisme dan kolusi  yang dilakukan keluarga politisi yang menjabat.

Di era modern ini, dinasti politik masih ada, khususnya di negara-negara monarki/kerajaan maupun negara republik yang otoriter. Bagaimana dengan negara-negara demokrasi, seperti Indonesia, yang juga menginginkan adanya dinasti politik? Tentu untuk mewujudkan dinsti politik tidak bisa langsung begitu saja. Perlu perjuangan yang keras dan berat, dan belum tentu berhasil juga. Karena keberhasilan suatu kekuasaan politik sangat tergantung dari rakyat pemilihnya.

Dewasa ini muncul isu dinasti politik, di tengah derasnya isu demokratisasi yang mulai melemah. Betapa tidak, sejumlah upaya dilakukan oleh sejumlah partai politik untuk mengusung calon tertentu agar klan keluarga maupun kerabatnya dapat mewarisi kekuasaan yang saat ini dipegangnya. Ini bukan soal Gibran Rakbuming Raka, yang merupakan anak Presiden Jokowi saja, tetapi terjadi di hampir semua jajaran elit politik, baik yang ada di Jakarta maupun di daerah.

Sejumlah elite politik memasangkan anak dan istrinya untuk bersaing dalam kontestasi Pemilu maupun Pilkada. Tidak hanya di situ saja, di jajaran kepengurusan partai politik pun sama, politik dinasti sudah dipraktekkan sejak lama. Sehingga seolah-olah partai politik tertentu hanya milik keluarga tertentu saja. Padahal semua anggota partai politik tersebut berhak menjadi ketua maupun pengurus lainnya.

Sebut saja PDIP, yang sekarang masih dipimpin Megawati Soekarno Putri, yang dianggap sebagai penerus ideologi Bung Karno yang menganut paham sosialis marhaenisme dengan PNI-nya. Sang anak, Puan Maharani digadang-gadang sebagai calon penerus ibunya untuk memimpin PDIP. Begitu pula di Partai Demokrat, yang didirikan atas ide dari Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan Ketua Umum Partai Demokrat pun sempat diambil alih usai SBY lengser dari jabatan Presiden. Kini, jabatan Ketua Umum Partai Demokrat dipegang sang anak, Agus Harimurti Yudhoyono.

Begitu pula dengan partai-partai lainnya, jajaran pengurus partai di tingkat pusat banyak yang menjadikan anak-anaknya sebagai caleg. Tak terkecuali Amien Rais, yang dianggap pejuang reformasi, yang mendirikan Partai Amanat Nasional, juga menempatkan anak-anaknya di jajaran kepengurusan hingga menduduki anggota DPR maupun DPRD. Bahkan ketika Amien Rais mendirikan partai lagi, Partai Ummat, anak-anaknya pun mengikuti partai baru yang dipimpin ayahnya tersebut. Di partai politik yang didirikan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga ada kerabatnya yang menduduki elite partai dan menjadi anggota DPR maupun DPRD. Partai Perindo yang didirikan Hary Tanoesoedibjo, meski belum lolos ke senayan, namun anak dan istrinya dipasang semua sebagai caleg.

Di jajaran pengurus partai politik tingkat daerah pun, juga terjadi hal yang sama. Di Kabupaten Brebes misalnya, Ketua DPC PDIP Indra Kusuma, menempatkan anak-anaknya sebagai caleg, bahkan Paramitha Widya Kusuma, saat ini sudah menjabat anggota DPR RI dan digadang-gadang untuk meneruskan karirnya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Brebes. Sang adik, Shintya Sandra Kusuma dijadikan caleg DPR RI dan Kingking Trahing Kusuma untuk DPRD Kabupaten. Di tubuh partai Golkar, Agung Widyantoro yang pernah menjabat Bupati Brebes, juga mengajak anaknya yang dokter, Dewa Nugraha untuk terjun menjadi politisi, dengan maju cebagai caleg DPRD Provinsi.

Bahrudin, mantan anggota DPRI dari PKB, juga mengajak anaknya menjadi Wakil Bupati Tegal, Sabilillah Ardie yang berpasangan dengan umi Azizah. Mantan Bupati Tegal Agus Riyanto, sang anak juga meneruskan karir politik ayahnya di DPRD Tegal. Termasuk istrinya, yang sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Tegal. Di Pemalang, Bupati dua periode Junaedi juga mengajak istrinya, Irna Setiawati menjadi anggota DPRD Provinsi. Bupati Brebes dua periode, Idza Priyanti juga tidak berbeda jauh. Sebelumnya, sang adik, Ikmal Jaya sempat menjadi Walikota Tegal satu periode. Kemudian adik lainnya, Mukti Agung Wibowo juga sempat jadi Bupati Pemalang sebelum menyusul sang kakak ke hotel prodeo. Kerabat lainnya, dr Edi Utomo. Sang anak, Elshanti Nabihah Salma juga menjadi caleg DPRD Kabupaten Brebes tahun 2024.

Mantan Ketua DPD PAN, Zaki Safrudin Prihatin, juga mengajak anaknya menjadi caleg DPRD Kabupaten, sementara dirinya maju ke tingkat DPRD Provinsi. Sedangkan istrinya, sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten bersama-sama. Sang Kakak, Wahyudin Noor Aly, lebih dulu duduk di DPRD Provinsi dan sekarang maju sebagai caleg DPR RI. Bukan hanya pucuk pimpinan partai saja, pengurus partai lainnya juga menjalankan politik yang sama, politik dinasti dengan menempatkan anak-anak dan istrinya maupun kerabat lainnya untuk terjun di bidang politik. Sebut saja HM Iskhak, yang sekarang menjabat anggota DPRD Provinsi, juga mengajak anaknya menjadi caleg DPRD Kabupaten Brebes. Nasikun HMS, anggota DPRD yang kini maju sebagai caleg DPR RI, juga mengajak anaknya menjadi caleg DPRD Kabupaten.

Langkah politik dinasti yang dilakukan para politisi tersebut, tidak semuanya berhasil. Namun banyak juga yang berhasil. Sangat tergantung dari strategi yang dilakukan orang tua atau kerabat yang mengusungnya. Juga sangat tergantung dari kapasitas yang bersangkutan, apakah mumpuni atau tidak. Jika berhasil, maka muncullah dinasti politik. Jika gagal, maka putuslah dinasti politik yang digagasnya tersebut.

Jika ada langkah-langkah politik yang mengusung anak atau kerabat seorang politik, maka itu adalah bagian dari politik dinasti. Keberhasilan politik dinasti itu sangat tergantung dari rakyat pemilih. Apakah yang diusung itu layak untuk melanjutkan perjuangan politiknya atau tidak. Jika yang diusung memang memiliki kemampuan atau bahkan lebih baik dibandingkan orang tuanya, kenapa tidak. Tidak ada aturan yang melarang seorang anak politisi maupun kerabat lainnya untuk terjun ke dunia politik yang diinginkan. Mahkamah Konstitusi pun pernah membatalkan adanya jeda masa jabatan bagi keluarga yang sebelumnya menjabat jabatan di pemerintahan. (*)


Terbit di Pantura Post, 4 November 2023

Komentar

Postingan Populer