Matematika Politik dalam Pemilu
Menjelang Pemilu, selain gambar caleg bertebaran di beberapa sudut kota dan desa, sejumlah tim sukses pun sudah mulai bergerak. Mereka menjaring calon pemilih dengan iming-iming maupun sekedar omong-omong. Harapannya, pada saat hari coblosan suara mereka akan menjadi suara riil di surat suara. Hasil kampanye itu nantinya akan menjadi suara yang mampu menjadikan para caleg itu duduk di kursi legislatif. Di sini muncullah istilah matematika politik, siapa mendapat suara berapa.
Tidak mudah mendapatkan hitungan matematika politik
ini secara benar. Meskipun secara umum, matematika politik hampir sama dengan
matematika dasar yang diajarkan di bangku SD. Di mana satu ditambah satu sama
dengan dua (1+1=2). Ada beberapa syarat yang harus dilakukan, agar matematika
politik ini bisa benar hasilnya.
Seringkali, para caleg merasa pusing karena
hitung-hitungan riil perolehan suara yang ada di masing-masing TPS dengan klaim
yang dilakukan oleh masing-masing tim sukses tidak sama. Bahkan kadang jauh
dari harapan sang caleg, yang sudah merasa mengeluarkan modal cukup besar untuk
mendapatkan suara tersebut. Sehingga muncul pameo, bahwa tim sukses itu selalu
sukses, meskipun calegnya belum tentu sukses.
Di sinilah perlunya caleg belajar matematika
politik secara benar. Bukan belajar kepada guru SD yang telah mengajari cara
membaca, menulis dan berhitung (calistung) saja. Namun harus belajar kepada para
ahli, yang bener-benar mengetahui matematika politik ini. Jangan sampai para
caleg dibodohi matematikanya tim sukses, yang hanya mengejar kesuksesan
dirinya. Mengapa harus belajar lagi? Karena pameo tadi, banyak tim sukses yang
hanya mengejar kesuksesannya sendiri, tidak peduli sukses tidaknya caleg yang
diusung.
Berbebagi macam belajar matematika politik ini.
Mulai dari yang paling sederhana, hingga yang paling sulit, dengan metode yang
tidak dipahami para caleg maupun tim suksesnya. Seperti pada sebuah video yang
viral, yang menggunakan rumus sinus dan cosinus untuk mendapatkan hasil suatu
pejumlahan. Padahal sebenarnya sangat mudah, dengan rumus yang bagi orang awam
itu asing. Sehingga muncul istilah, kalau bisa persulit, kenapa dipermudah.
Dalam tulisan ini, hanya akan dijelaskan secara
singkat saja, apa yang dimaksud dengan matematika politik itu. Bahwa untuk bisa
meraih kemenangan yakni meraih suara terbanyak, maka diperlukan suara rakyat
yang banyak pula. Maka dicarilah tim sukses, mulai dari tingkat kabupaten,
tingkat kecamatan, tingkat desa hingga tingkat RT dan bahkan sampai TPS.
Sungguh langkah luar biasa untuk mendapatkan suara banyak tersebut. Dan tentu
saja, pembentukan tim sukses itu membutuhkan anggaran yang besar. Karena mereka
tidak mungkin bekerja tanpa anggaran.
Lantas, di mana matematika politiknya? Hitungan
matematikanya sebenarnya pada jumlah tim sukses yang dibentuk tersebut. Tentu
beserta target yang dibebankan pada masing-masing tim sukses. Misalnya, tim
sukses tingkat desa ditargetkan mendapat 100 suara di desa tersebut dan tim
sukses menyatakan kesiapannya. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan
KTP atau identitas lainnya. Atau dengan menggelar sosialisasi dengan mengundang
sejumlah pemilih yang diinginkan.
Dari klaim tim sukses masing-masing tingkatan
tersebut, maka akan muncul hasil perolehan suara calon pemilih bagi caleg
tersebut sebelum hari coblosan. Sehingga kadang sang caleg dengan percaya diri,
bahwa dirinya makal menang dan dilantik menjadi anggota DPR maupun DPRD. Namun
kenyatannya, setelah hasil pencoblosan, perolehan suara yang diraih sang caleg
tdak sesuai dengan harapan. Artinya, hitung-hitungan yang dilakukan tim sukses
tidak benar, tidak cocok, hitungan matematikanya salah.
Kok bisa salah? Apakah tim sukses salah menghitung
atau penyelenggara Pemilunya, baik yang ada di TPS maupun PPK dan KPU? Apakah
ada kecurangan,sehingga suara sang caleg berkurang? Atau ada hal lain yang
menyebabkan suara pada perhitungan sebelum coblosan berbeda dengan hasil
coblosan? Di sinilah peran matematika politik itu ada. Dan tidak semua orang
bisa melakukannya.
Sebenarnya tidak ada yang sulit dalam penggunaan
rumus matematika. Karena dalam Pemilu, matematika yang digunakan adalah
matematika dasar, yaitu satu ditambah satu sama dengan dua (1+1=2). Namun
karena ini dalam bidang politik, maka dalam perhitungannya perlu diuji atau
kroscek kebenarannya secara politik juga. Misalnya, seorang caleg mengklaim
mendapat 1.000 suara, berdasarkan klaim dari 10 desa, dengan masing-masing desa
mendapatkan 100 suara. Jika dihitung dengan rumus matematika dasar, tentu klaim
itu benar. Karena 100 suara ditambah 100 hingga total 10 desa, maka diperoleh
angka 1.000 suara.
Klaim itu harus dikroscek langsung, dengan bukti
yang valid, apakah benar masing-masing desa mendapatkan 100 suara? Sehingga
total dari 10 desa ada 1.000 suara? Atau hanya sekedar klaim saja? Setiap tim
sukses, ketika diminta kesiapannya mencarikan 100 suara di setiap desa,
dipastikan menyatakan kesiapannya. Bahkan dengan bukti fotokopi KTP, yang
berjumlah 100 orang. Kroscek perlu dillakukan, karena untuk sekedar
mengumpulkan 100 fotokopi KTP sangat mudah. Mulai dari mencari dokumen ke
lembaga yang mensyaratkan fotokopi KTP, hingga iming-iming bantuan setiap
warga, yakni dengan mengumpulkan fotokopi KTP.
Bahkan yang dilarang dalam Pemilu, yakni dengan
menyebar politik uang pun, belum tentu angka 100 suara tadi benar-benar ada dan
nyata. Karena yang melakukan politik uang, tidak hanya satu atau dua caleg,
banyak yang melakukannya. Dan bisa saja, satu pemilih menerima politik uang
lebih dari satu caleg. Apakah pemilih yang sudah menerima politik uang
dipastikan akan memilih caleg tersebut? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Karena
tidak ada bukti yang mendukung seseorang dipastikan memilih caleg tertentu,
kecuali sebatas pengakuan. Karena pada hakekatnya, Pemilu itu bersifat rahasia
dan tidak boleh ada pemaksaan pilihan maupun memberitahukan pilihannya kepada
orang lain.
Dalam beberapa kasus, seorang pemilih ideolog,
meskipun diberi uang, belum tentu akan memilih caleg yang memberikan uang. Tapi
dia akan memilih partai yang sesuai dengan ideologinya. Dalam kasus lain, bisa
jadi pemilih yang mendapat uang dari beberapa caleg, dia akan mencoblos semua nama
yang telah memberikan uangnya tadi. Karena dari hasil penelitian, suara tidak
sah, ternyata disebabkan karena surat suaranya dicoblos lebih dari satu kali di
beberapa partai yang berbeda.
Seorang politisi nasional, bahkan menyampaikan
bahwa dia membagikan sekian ratus ribu amplop. Namun ternyata yang memilih
dirinya hanya kurang lebih 50 persen. Ini membuktikan, bahwa tidak semua yang
diberi politik uang itu akan memilih dirinya. Lantas, bagaimana agar matematika
politik dalam gelaran Pemilu itu hasilnya benar? Perlu belajar politik lebih
dalam lagi dengan yang ahli, pakar Pemilu yang sudah berpengalaman. (*)
Terbit di Pantura Post, 7 November 2023
Komentar
Posting Komentar