Isu-isu Strategis Pemilu dan Solusinya
Menjelang pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, ada beberapa isu startegis yang harus diantisipasi. Seperti disampaikan anggota KPU RI August Mellaz, ada isu strategis yang diungkapkan. Isu strategis pertama, terkait jadwal tahapan yakni tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak 14 Februari 2024. Yakni Peraturan KPU Tahapan, Jadwal, dan Program, yang sudah diundangkan yakni PKPU Nomor 3 Tahun 2022.
Isu kedua, mengenai strategis logistik yang
berkaitan juga dengan masa kampanye. KPU RI menerima tanggapan masukan dari
pemerintah dan Komisi II DPR RI mempersingkat masa kampanye yakni 75 hari. Kondisi
ini akan menimbulkan dampak pada pengelolaan logistik yang mana dilakukan saat
masa kampanye karena telah ditetapkannya Daftar Calon Tetap (DCT).
Isu ketiga terkait pemanfaatan teknologi informasi
dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. KPU sendiri sudah membuat beberapa
aplikasi, untuk mempermudah pelaksanaan Pemilu. Ada 8 aplikasi yang digunakan
KPU pada pelaksanaan Pemilu 2024.
Kedelapan sistem yang akan digunakan pada Pemilu
2024, antara lain sistem informasi partai politik (Sipol), sistem informasi data
pemilih (Sidalih), sistem informasi pencalonan (Silon), dan sistem rekapitulasi
elektronik (Sirekap). Kemudian, sistem informasi daerah pemilihan (Sidapil),
sistem informasi logistik (Silog), sistem informasi dana kampanye (Sidakam),
serta sistem informasi anggota KPU dan badan adhoc (Siakba).
Kemudian isu keempat, khususnya di Kabupaten Brebes
terkait dengan tingkat partisipasi pemilih hanya 71%. Di mana partisipasi
pemilih masih dibawah rata-rata nasional yakni 81%. Menjadi tantangan karena
ada 265 ribu form C6 yang kembali. Di mana sebagian besar mereka tidak ditemui,
karena berada di perantauan.
Salah satu solusinya dalam meningkatkan partisipasi
adalah pindah memilih. Di mana mereka yang tidak bisa pulang kampung saat hari
H coblosan, biaa memanfaatkan pindah memilih. Namun pindah memilih ini masih
jarang digunakan oleh para pemilih yang merantau.
Isu berikutnya adalah surat suara yang tidak sah, di
mana angkanya masih cukup tinggi. Padahal suara tidak sah ini jika
dikonversikan dengan suara sangat berpengaruh terhadap perolehan kursi partai
politik. Berdasarkan data pada Pemilu 2019 di Kabupaten Brebes, angka suara
tidak sah ini berbeda-beda di tiap tingkatan dan pemilihan.
Pada surat suara presiden dan wakil presiden, suara
tidak sah mencapai 27.308. Kemudian pada surat suara DPD ada 244.352 suara.
Kemudian pada surat suara DPR RI mencapai 130.318 suara. Sedangkan pada surat
suara DPRD Provinsi mencapai 167.482 suara. Kemudian di DPRD Kabupaten pada
Dapil Brebes 1 ada 18.074, Dapil Brebes 2 ada 15.634 suara, Dapil Brebes 3 ada
13.176, Dapil Brebes 4 ada 10.586, Dapil Brebes 5 ada 14.176, dan di Dapil
Brebes 6 ada 16.168 suara. Total surat suara yang tidak sah di DPRD Kabupaten
mencapai 87.814 suara.
Isu-isu itu strategis itu, selain menjadi tanggung
jawab penyelenggara Pemilu, juga menjadi tanggung jawab masyarakat, khususnya
partai politik peserta pemilu. Seperti tingkat partisipasi pemilih, partai
politik mempunyai kepentingan paling besar untuk meraih suara dan memenangkan
Pemilu.
Sedangkan bagi KPU selaku penyelenggara Pemilu,
maka arti pentingnya partisipasi adalah semakin tinggi partisipasi, maka
semakin tinggi tingkat legitimasinya. Tentu hal ini terkait dengan legiltimasi
bagi pimpinan hasil Pemilu.
Kemudian terkait dengan surat suara tidak sah,
menjadi tantangan semua pihak khususnya penyelenggara Pemilu. Apakah mekanisme
penentuan sah tidaknya surat suara sudah efektif atau belum? Sudah dipahami
dengan mudah oleh para penyelenggara Pemilu di tingkat badan adhoc atau belum?
Kemudian apakah pemilih juga sudah mengetahui mekanisme tersebut atau belum?
Dengan melihat angka surat suara yang tidak sah, angka
tertinggi ada di DPD, kemudian DPRD Provinsi, selanjutnya DPR RI, dan DPRD
Kabupaten. Sedangkan surat suara Presiden dan Wakil Presiden surat suara tidak
sahnya paling rendah.
Jika dibandingkan dengan perolehan suara partai
politik di masing-masing Dapil di DPRD Kabupaten, maka angka surat suara tidak
itu lebih tinggi. Bahkan angkat surat suara tidak itu lebih mengalahkan
beberapa partai politik yang berada di urutan-urutan terakhir penghitungan dengan
metode saint lague.
Perlu ditelusuri lebih lanjut, apa faktor penyebab
rusaknya surat suara tersebut. Apakah faktor kesengajaan dari pemilih, dengan
sengaja melakukan agar surat suara agar tidak sah atau karena tidak
ketidaktahuan pemilih tentang sah tidaknya suara.
Tentu bagi partai politik dan calegnya, jika suara
tidak sah ini mengarah kepada partai politik dan calegnya, maka itu jelas suatu
kerugian. Karenanya, partai politik dan para calegnya, harus paham betul
tentang teknis pencoblosan dan sah tidaknya surat suara. Agar jangan sampai suaranya
berkurang karena adanya surat suara tidak sah. (*)
Terbit di Radar Tegal, Rabu 12 Juli 2023
Komentar
Posting Komentar