Mewujudkan Pemilih Berdaulat
Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 telah ditetapkan digelar pada 9 Desember. Para pemilih pun sudah mendapatkan surat pemberitahuan dari petugas KPPS di daerahnya masing-masing. Mereka bakal menentukan pilihannya dalam beberapa hari ke depan. Siapa yang bakal terpilih menjadi kepala daerah, sangat tergantung dari suara para pemilih tersebut.
Suara pemilih ini akan dipastikan
melalui perhitungan di TPS dan rekapitulasi di tingkat PPK dan KPU. Siapa yang
mendapat suara terbanyak, akan menjadi menjadi kepala daerah. Dalam menentukan
pilihan para pemilih ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Mulai dari
ideologi politik, hubungan kekeluargaan, visi dan misi calon, hingga politik
uang.
Politik uang ini bukan rahasia
lagi, namun ini harus dicegah sedemikian rupa. Sehingga tagline KPU, yakni Pemilih Berdaulat Negara Kuat, dapat terwujud.
Di mana pemilih memiliki kedaulatan yang penuh dalam menentukan pilihannya
dalam pilkada. Tidak ada unsur paksaan, intimidasi, hingga bujuk rayu berupa
politik uang tersebut.
Karenanya, dibutuhkan upaya untuk
mewujudkan pemilih berdaulat tersebut. Upaya mewujudkan cita-cita itu tentu
tidak mudah, di tengah praktik-praktik politik pragmatis. Tantangan dan kendala
tidak mudah disingkirkan, apalagi di tengah kondisi pandemi yang menyebabkan
ekonomi masyarakat melemah.
Langkah pertama mewujudkan pemilih
berdaulat adalah meyakinkan kepada para pemilih, bahwa mereka lah yang
menentukan siapa yang layak menjadi kepala daerah. Mereka lah yang berdaulat
dalam sistem demokrasi di negeri ini. Keyakinan ini harus terus-menerus
dikampanyekan oleh mereka yang peduli terhadap demokrasi. Tidak hanya
penyelenggara pemilu saja, seperti KPU dan Bawaslu, tetapi seluruh elemen
masyarakat dan juga pemerintah.
Kedua, para calon kepala daerah
yang bersaing, juga harus yakin bahwa mereka layak dipilih karena kemampuannya
dalam memimpin daerah nanti. Yakni dengan program-programnya yang ditampilkan
dalam visi dan misinya selama masa kampanye. Visi dan misi ini harus disebarkan
secara massif kepada pemilih, agar pemilih juga yakin akan kemampun calonnya
tersebut.
Ketiga, dengan visi dan misi yang
disampaikan para calon, maka pemilih wajib untuk membandingkan dan kemudian
menimbang. Apakah visi dan misi para calon tersebut bisa dilaksanakan jika
terpilih nanti. Jika calon mampu meyakinkan pemilihnya, maka pemilih akan
mencoblosnya pada hari pencoblosan. Masing-masing calon semuanya pasti memiliki
visi dan misi yang baik, namun yang paling baik yang mana, masyarakat yang
menentukannya pada saat pemilihan.
Bagi calon petahana, pelaksanaan
kepemimpinannya selama lima tahun menjadi pertaruhannya. Masyarakat pemilih
yang akan memberikan penilaian, apakah visi dan misinya sudah dijalankan atau
belum. Apakah kepemimpinannya itu menunjukkan keparcayaan yang diberikan para
pemilihnya lima tahuan lalu atau tidak. Di situlah pemilih akan memberikan
penilaian, apakah layak diteruskan atau tidak.
Keempat, tim kampanye yang bertugas
meyakinkan kepada para pemilih ini, harus benar-benar ahli dalam berkomunikasi
dengan masyarakat. Jangan sampai tim kampanye justru malah menjadikan calon
yang diusungnya itu malah dijauhi para pemilih.
Kelima, mengkampanyekan bahwa
politik uang adalah perilaku yang menyimpang dan haram. Selain dilarang dalam
UU Pilkada, agama pun mengharapkan praktik-praktik tersebut. Di sini peran
tokoh agama dan masyarakat sangat penting dalam kampanye tersebut. Mereka
sebagai panutan masyarakat, suaranya akan banyak didengar oleh umatnya.
Sosialisasi bukan hanya dari
regulasi hukum formal saja, namun juga melalui dalil-dalil agama, khususnya
agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah
hadist Nabi terkait dengan suap menyuap. Di antaranya hadist dari Abu Hurairah
RA berkata: Rasul SAW bersabda: Allah
SWT melaknat penyuap dan yang disuap (HR. Imam Ahmad). Ketika Rasul melaknat
perbuatan tersebut, maka perbuatan yang tidak baik dan dosa itu menjadi haram.
KPU dan Bawaslu juga tidak segan-segan
terus menyosialisasikan pelanggaran pidana tersebut bagi calon yang melakukan. KPU
dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu pun tak bosan-bosan untuk
mensosialisasikan larangan politik uang tersebut. Dalam setiap sosialisasi,
mulai dari sosialisasi tahapan, pencalonan, daftar pemilih hingga cara
mencoblos dan lainnya, KPU selalu menyelipkan sosialisasi antipolitik uang.
Bawaslu juga meluncurkan desa-desa antipolitik uang sebagai percontohan. Namun
ada saja yang pesimis dengan sosialisasi dan langkah-langkah yang dilakukan KPU
maupun Bawaslu.
Meskipun dalam UU Pemilu Nomor 7
tahun 2017, ancaman pidana lebih banyak ditujukan kepada penyelenggara pemilu,
namun penyelenggara tidak sedikit pun mundur untuk mengkampanyekan penolakan
politik uang. Ancaman pidana kepada penyelenggara pemilu ini lebih banyak
terkait dengan teknis pemilu. Di mana ada kewajiban yang harus dilakukan, jika
tidak maka ada ancaman pidananya.
Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 pada
pasal 280 huruf j disebutkan bahwa menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu merupakan larangan. Pelanggaran terhadap
larangan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu. Begitu pula dalam UU Nomor 10
Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada pasal 73 ayat 4
disebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan
dan/atau pemilih.
Denga terus mengkampanyekan
hal-hal tersebut, maka diharapkan para pemilih itu benar-benar menjadi pemilih
yang berdaulat. Yakni dengan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya
masing-masing. Siapa yang layak dipilih sebagai kepala daerah, ditentukan oleh
dirinya sendiri, bukan orang lain.
Pemilih yang berdaulat, akan menentukan
daerahnya itu berdaulat atau tidak. Di mana kepala daerahnya itu akan
mementingkan rakyatnya atau tidak. Jika semuanya dilakukan, maka kesejahteraan
rakyat akan terwujud. Itu akan ditunjukkan pada saat pemerintahan itu berjalan
dengan hasil pilihan pemilih yang berdaulat. (*)
Terbit di https://suarabaru.id/2020/12/04/mewujudkan-pemilih-berdaulat
Komentar
Posting Komentar