Memilih Partai Politik
Pemilu tahun 2024 telah berjalan tahapannya. Peserta Pemilu pun sudah ditetapkan oleh KPU RI. Total ada 18 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Masyarakat mulai memikir dan menimbang, termasuk mereka yang ingin maju sebagai calon anggota legislatif. Dan untuk menjadi anggota legislatif, harus melalui partai politik. Berbeda dengan DPD, yang dilakukan secara perseorangan.
Mereka yang memang berniat terjun ke politik
praktis dengan menjadi wakil rakyat harus tahu betul partai politik yang akan
menjadi kendaraannya. Jangan sampai ketika masuk dan menjadi anggotanya, malah
banyak hal yang bertentangan dengan prinsip dan ideologi yang dipegangya selama
ini. Atau bahkan tidak tahu, partai politik yang diikutinya itu memiliki
ideologi tertentu, yang ternyata dia tidak tahu atau bahkan tidak disukainya.
Sebagai anggota partai politik, jangan sampai
dianggap sebagai kutu loncat. Ketika cocok bergabung dengan salah satu partai
politik, namun ketika tidak cocok mencari partai politik lainnya. Berbeda
ketika partai politik tersebut tidak lolos verifikasi saat pendaftaran di KPU
maupun tidak lolos ambang batas parlemen, sehingga harus mencari partai politik
baru. Itu pun harus sesuai dengan visi dan misi, serta ideologi partai baru
yang diikutinya. Namun tidak sedikit orang yang masuk ke partai politik karena
pemikiran politik yang pragmatis. Tidak dilarang, namun orang partai akan
menilai dan mencatat kepentingannya. Sehingga suatu saat akan tertolak dan akan
ditinggalkan konstituennya.
Kiranya perlu diketahui secara umum, idelogi dan
asas-asas yang dipegang masing-masing partai politik yang mengikuti Pemilu 2019.
Meskipun pada Pemilu 2014 yang akan datang dan berikutnya, bisa saja muncul
partai-partai politik yang baru. Namun paling tidak, perlu dijabarkan secara
umum ideologi dan asas yang dipegang masing-masing partai politik tersebut.
Semuanya bisa dilihat di AD/ART partai politik masing-masing.
Salah satu tujuan utama dibentuknya partai politik
adalah mendapatkan kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang
duduk dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya. Partai politik sangat terkait
dengan kekuasaan, untuk membentuk dan mengontrol kebijakan publik (Firmanzah,
2008). Karenanya masyarakat pemilih harus tahu, latar belakang berdirinya
sebuah partai politik, ideologi dan juga visi dan misinya. Kiranya profil
partai-pratai politik yang ada di Indonesia ini perlu diketahui secara khusus.
Pembentukan partai politik itu sendiri beragam
alasan dan dasarnya. Mulai dari persamaan ideologi, persamaan ormas, hingga persona
tokoh yang ada dalam partai politik tersebut. Ideologi itu bisa berdasarkan
agama yang dianutnya, atau pun pemahaman atas suatu asas politik tertentu.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ternyata memunculkan
banyak partai politik Islam, tidak hanya satu partai politik. Begitu pula
dengan agama lain, juga ada beberapa partai yang muncul, meskipun pada akhirnya
satu-persatu partai politik itu melebur ke partai besar yang sudah mempunyai
basis masa. Begitu pula dengan partai politik yang berbasis nasionalisme, juga
muncul banyak partai politik yang mengklaim sebagai partai nasionalis.
Persaingan di bidang ideologi partai politik
sendiri sempat menjadi lembaran sejarah ketika Pemilu pertama kali di gelar di
Indonesia, yakni Pemilu 1955. Di mana muncul tiga golongan ideologi yang berkembang
saat itu, yakni nasionalis, komunis dan agamis (Nasakom). Ketiga golongan ini
kemudian mengerucut menjadi dua kelompok dalam sidang-sidang di Konstituante,
khususnya terkait dengan asas negara, yakni antara Islam dan non Islam. Hingga
akhirnya Soekarno pun mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Jumli 1959, yang
membubarkan Dewan Konstituante. Akhir-akhir ini idelogi partai politik itu
mulai muncul kembali, meskipun tidak sekencang dulu. Namun fakta tersebut terus
muncul dan bahkan ada yang berupaya menghidupkan partai politik yang dulu
pernah ada.
Namun beberapa tahun belakangan ini, muncul partai
politik yang berbasis pada ketokohan seseorang, baik tokoh politik, pengusaha,
bahkan birokrat. Munculnya partai politik ini bisa karena yang bersangkutan menginisiasi
sendiri maupun mendorong seseorang untuk terjuan ke politik praktis dengan
membentuk partai politik sebagai kendaraan politiknya. Bahkan banyak pula
partai politik yang berdiri karena adanya persaingan di internal partai politik
tersebut. Hingga akhirnya tokoh tersebut keluar dari partai yang pernah
membesarkannya, kemudian yang bersangkutan membuat partai politik sendiri. Partai-partai
politik itu pun juga mengklaim sebagai partai yang berbasis agama maupun
nasionalisme, atau menggabungkan keduanya, nasionalis religius, begitu yang
sering dimunculkan.
Fenomena ini, tentu menjadi tema dan pemikiran
sendiri untuk dikaji. Namun partai politik yang berdasarkan ketokohan seseorang
ini belum terlihat eksistensinya, apakah mampu bertahan jika tokoh yang dimaksud
sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia. Hingga sekarang, partai-partai
politik yang berdiri karena ketokohan seseorang, masih ada bahkan ada yang
memenangi Pemilu dan Pilkada. Meskipun keberadaan partai politik itu juga mulai
terlihat pengaruhnya di masyarakat. Ada yang semakin kuat, namun ada yang
semakin turun elektabilitasnya.
Hanya waktu yang bisa menjawab itu, paling tidak,
10 sampai 20 tahun yang akan datang, apakah partai-partai tersebut masih tetap
bertahan dan memenuhi ambang batas parlemen atau tidak. Seberapa lama partai
politik tersebut bertahan di kancah perpolitik nasional, yang masih kuat garis
ideologi dan basis massanya. Topangan dana dan pengelolaan partai politik itu
sangat tergantung dari para pengurusnya. Apakah tetap bertahan dan mampu
mengikuti Pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali, atau akhirnya bubar
atau melebur ke partai politik yang masih ada.
Kondisi sosial politik masyarakat Indonesia, sejak
awal sudah bisa dipetakan berdasarkan ideologinya. Seperti disebutkan Clifford
Geertz dalam bukunya “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi” ini mengulas
kondisi sosial politik secara umum di Indonesia. Meskipun juga masih banyak
variannya ketika diteliti lebih dalam lagi terkait dengan kondisi sosial
politik masyarakat Indonesia. Belum lagi dengan kondisi saat ini, di mana pada
jaman Orde Baru muncul gerakan Golongan Putih (Golput) yang tidak mempercayai
partai politik. Gerakan itu hingga kini juga masih ada, yang cenderung apatis
dengan politik dan kekuasaan.
Di sini peran partai politik sangat besar, agar
gerakan anti partai politik ini bisa dilawan dan tidak semakin membesar seperti
di beberapa negara Eropa dan Amerika, yang dibuktikan dengan semakin rendahnya
tingkat partisipasi. Partai politik harus melakukan pendidikan politik dan
kaderisasi, agar tidak ditinggal pendukungnya. Jika tidak, maka nama partai
politik itu hanya tinggal nama dan hanya jadi catatan di buku sejarah yang ada.
Bahwa pernah ada partai politik ini, berideologi itu, dan misalnya sekarang ada
yang mencoba menghidupkannya lagi. Kondisi itu sangat tergantung dari para
pengurus dan kader-kadernya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Komentar
Posting Komentar