Mahalnya Memilih Pemimpin
Keberadaan
seorang pemimpin dalam sebuah kelompok masyarakat merupakan suatu keharusan.
Bahkan dalam ajaran Islam, ketika ada tiga orang saja yang sedang bepergian,
harus ada pemimpin yang ditunjuk selama perjalanan tersebut. Apalagi dalam
kelompok masyarakat yang lebih besar lagi, sepeti desa, kabupaten, provinsi
hingga negara, bahkan tingkat dunia. Kepemimpinan dalam kelompok masyarakat
tersebut tidak lepas dari sifat manusia, yang disebut zoon politicon, makhluk politik. Di mana dalam setiap kelompok
masyarakat pasti akan muncul rasa ingin berkuasa.
Sebagai
makhluk politik, maka otomatis dalam kelompok masyarakat pasti ada pemimpinnya.
Tinggal bagaimana teknis pemilihan pemimpin tersebut, apakah melalui pemilihan
langsung atau perwakilan. Tergantung dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku di masyarakat atau negara tersebut.
Dalam
masyarakat nonmodern, pemilihan pemimpin kelompok bisa saja berdasarkan
kekuatan fisik. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Jika ingin menguasai
kelompok masyarakat yang lain, maka harus ditundukkan terlebih dahulu dengan
kekuatan fisik juga, yakni dengan perang atau penaklukan. Bahkan menjelang masa
modern pun, kekuatan fisik dan bersenjata masih menjadi cara untuk menjadi
pemimpin suatu bangsa. Seperti dalam kisah-kisah kerajaan terdahulu, siapa
menaklukan siapa. Bahkan hingga keluar wilayah, seperti jaman penjajahan
bangsa-bangsa Eropa di nusantara.
Berbeda
dengan masyarakat modern, yang sudah menggunakan peraturan perundang-undangan. Kalaupun
bentuknya kerajaan, maka ada konstitusi yang mengaturnya, atau biasa disebut
monarki konstitusional. Ada pula yang berbentuk republik, itu pun ada yang
kesatuan atau federal. Masing-masing negara bebas menentukan pilihan jenis
kepemimpinan, sesuai dengan konsensus kelompok-kelompok masyarakat yang ada di
dalam negara tersebut.
Indonesia
yang menganut bentuk negara republik sudah memutuskan peraturan
perundang-undangan dalam memilih pemimpin. Yakni melalui pemilihan umum yang dilakukan
secara demokratis. Baik memilih presiden, anggota DPR/DPRD, serta kepala
daerah, gubernur, bupati dan walikota.
Pemilu
menjadi pilihan yang paling rasional dalam masyarakat modern. Di mana siapa
yang ingin menjadi pemimpin atau ditunjuk menjadi pemimpin oleh kelompoknya,
maka harus mengikuti proses pemilu di masing-masing tingkatannya. Aturan-aturan
terkait dengan pemilu sudah dibuat sedemikian rupa, agar semua kelompok
masyarakat bisa mengikuti ajang yang digelar secara periodik tersebut. Presiden,
gubernur, bupati/walikota dan anggoat DPR/DPRD digelar lima tahun sekali,
sedangkan kepala desa 6 tahun sekali. Di negara lain yang yang hanya 4 tahun
sekali.
Konsekuensi
dari diselenggarakannya pemilu tersebut adalah anggaran yang cukup besar. Namun
jika dibandingkan dengan proses pemilihan pemimpin era nonmodern, jelas lebih
mahal. Bahkan tidak bisa dihitung dengan biaya, karena pertumpahan darah dan
nyawa, serta harta menjadi taruhan saat proses memilih pemimpin tersebut. Di
era modern ini, harus harta (baca: anggaran) saja yang dikorbankan. Jangan
sampai darah dan nyawa yang dikorbankan. Mereka yang lemah dan tak berdaya,
akan selalu menjadi korban dari sistem bar-bar tersebut.
Pemilu
2019 yang baru usai saja, total anggarannya mencapai Rp 25 Triliun lebih. Itu
anggaran untuk penyelenggaraannya, atau yang dialokasikan di KPU. Belum alokasi
untuk pengawasan di Bawaslu dan pengamanan, baik Polri maupun TNI. Jadi sangat
besar anggaran yang dialokasikan untuk penyelenggaraan Pemilu. KPU Kabupaten
Brebes, pada saat Pilbup 2017 lalu dialokasikan anggaran Rp 40,5 Miliar.
Kemudian pada Pilgub 2018 lalu, Pemprov Jawa Tengah mengalokasikan anggaran
hingga Rp 992 Miliar. Pada Pilbup 2024 yang akan datang, KPU Kabupaten Brebes
mengusulkan anggaran Rp 110 Miliar, dengan berdasarkan pada peraturan yang
berlaku. Begitu pula dengan Pilkada tahun 2020 yang sedang berlangsung
tahapannya, anggarannya juga cukup besar.
Tingginya
anggaran dalam setiap gelaran pemilu dan pilkada itu melalui pembahasan yang
intensif antara KPU dan pemerintah. Di mana pembahasan itu juga disesuaikan
dengan kemampuan pemerintah, namun semua kebutuhan pemilu atau pilkada
terpenuhi secara rasional. Sehingga pemilu atau pilkada bisa diselenggarakan
dengan baik dan lancar, dan out put-nya
terpilihnya pemimpin yang dikehendaki mayoritas rakyatnya.
Banyak
pihaknya mempertanyakan tingginya anggaran pemilu atau pilkada tersebut. Bahkan
banyak yang membandingkan, tingginya anggaran tersebut jika digunakan untuk
pembangunan, maka hasilnya dapat dinikmati masyarakat secara langsung. Wajar,
karena anggaran itu berasal dari pemerintah yang diperoleh melalui pajak yang
telah dihimpun. Namun penggunaan anggaran itu juga wajib dipertanggungjawabkan
dengan transparan dan dilampiri bukti-bukti yang valid.
Jika
dibandingkan pemilihan pemimpin jaman modern dan nonmodern, maka sebenarnya
pengorbannya tidak seberapa. Jika jaman modern ini yang dikorbankan hanya harta
(baca: anggaran), maka jaman nonmodern, lebih banyak lagi. Selain harta, juga
nyawa dan darah yang dikorbankan. Dalam memilih pemimpin di semua jaman itu,
memang harus ada yang dikorbankan. Namun manusia yang berakal sehat, tentu akan
memilih korban yang lebih sedikit.
Dalam
pemilu modern pun korban jiwa dan harta masih ada, namun jika dibandingkan
dengan jaman perang, korban jiwa lebih banyak lagi, ratusan, hingga ribuan.
Bahkan selama perang dunia I dan perang dunia II, korban jiwa mencapai jutaan
orang. Jutaan orang menderita akibat perang memperebutkan kekuasaan tersebut.
Karenanya
dengan anggaran yang sangat besar tersebut, rakyat yang memiliki kedaulatan
untuk memilih pemimpin harus menggunakannya sebaik mungkin. Yakni dengan
memilih pemimpin yang mampu memimpin daerahnya masing-masing, termasuk memilih
pemimpin negara, yang terbaik. Jangan hanya karena uang, kemudian memilih tanpa
melihat kemampuan calon tersebut. Begitu pula yang masih menganggap pemilu itu
tak bermanfaat, yang masih belum menggunakan hak pilihnya atau golput, harus
menggunakan kesempatan memilih pemimpin itu dengan baik. Sehingga terpilih
pemimpin yang benar-benar peduli dengan negara dan daerahnya masing-masing.
Bukan memilih pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, hingga akhirnya
korupsi dan pembangunan terbengkalai.
Pemilu
adalah ajang memperebutkan kekuasaan yang diatur oleh undang-undang. Setiap
warga negara yang memenuhi syarat, bisa ikut memilih dan dipilih. Dengan
anggaran yang besar itu, jangan sampai terpilih pemimpin-pemimpin yang tidak
diharapkan rakyat. Juga jangan dibiarkan pemilihan pemimpin itu kembali ke
zaman nonmodern, di mana yang kuat yang berkuasa, harta dan nyawa semuanya
dikorbankan.
Dengan
pemilu yang demokratis, rakyat berdaulat, negara kuat. Semakin tinggi tingkat
partisipasi, semakin tinggi pula legitimasi hasil pemilu maupun pemimpin yang
terpilih. Demokrasi sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan rakyat pasti akan
terwujud, dengan pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Bukan karena keturunan atau
pun dengan kekuatan bersenjata, yang mengorbankan harta dan jiwa. (*)
Diterbitkan Radar Tegal 9-10 Maret 2020
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskabarnya gimana mas?
BalasHapus