Jurnalisme Warga, Tantangan dan Masa Depannya


Perkembangan teknologi dan informasi dapat diakses oleh semua warga, khususnya teknologi di bidang informasi. Kini masyarakat dapat mengakses informasi dengan cepat melalui handphone. Bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia sudah memilikinya. Dengan perkembangannya itu, masyarakat dapat pula memberikan informasi yang diketahuinya. Tidak hanya melalui status-status di media sosial yang dimilikinya, mereka juga dapat menanyangkan secara langsung suatu peristiwa. Informasi yang didapatnya, baik status orang lain maupun laman suatu berita, juga dapat diteruskan dengan cara meneruskan atau sharing melalui media sosialnya.
Tidak hanya itu, setiap orang juga bisa memiliki website sendiri, baik yang gratis maupun berbayar. Dengan website yang dimilikinya tersebut, masyarakat dapat menulis, mengunggah foto atau pun video. Dengan mudahnya akses teknologi ini, media massa pun membuat ruang khusus bagi masyarakat untuk ikut serta di dalamnya, yakni dengan mengirimkan opini atau pun berita-berita, baik berupa berita foto atau pun video. Inilah yang disebut sebagai jurnalisme warga.
Menurut Wikipedia, jurnalisme warga  atau citizen journalism adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Dalam jurnalisme warga, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen media tapi juga bisa terlibat dalam proses pengelolaan informasi itu sendiri. Pelibatan itu meliputi membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin dibaca. Karena itu, dikatakan bahwa jurnalisme warga tidak hanya memberi tempat tapi juga menyarankan dan mendorong pembaca untuk terlibat di dalamnya.
Namun apakah informasi yang disampaikan warga masyarakat melalui media sosial miliknya tersebut bagian dari jurnalisme warga? Jika mengacu kepada prinsip dasar dari istilah jurnalisme warga itu, maka siapa pun warga masyarakat yang menyampaikan informasi suatu peristiwa, baik melalui media massa resmi atau media sosial yang dimilikinya, maka itu adalah jurnalisme warga.
Namun akan muncul pertanyaan berikutnya, apakah jurnalisme warga ini bisa dipercaya atau bisa dijadikan rujukan dan sumber data? Hal inilah yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para praktisi media massa maupun masyarakat itu sendiri. Karena banyak dari pemberitaan di media massa sekarang ini yang berasal dari informasi yang dikabarkan oleh warga melalui media sosial. Apalagi di tahun politik, dipastikan banyak informasi-informasi yang bersifat hoaks. Jika hoaks disebar sedmikian rupa, dan mempengaruhi masyarakat, akan sangat berbahaya bagi keberlangsung hidup masyarakat itu sendiri.
Karenanya, penting kiranya bagi praktisi media massa untuk mengecek validitas informasi yang disampaikan masyarakat melalui media sosial, agar jangan sampai menjadi berita hoaks. Sangat fatal jika sampai sebuah media massa profesional menerbitkan berita yang bersifat hoaks. Masyarakat juga bisa menganalisis berita-berita yang diragukan validitasnya dengan cara mengecek secara langsung maupun menyandingkannya dengan berita-berita di media mainstream. Sehingga tidak sampai terpapar berita hoaks, apalagi sampai meneruskan berita hoaks tersebut di media sosialnya. Sejumlah elite politik pun bahkan ada yang terpapar berita hoaks dengan meneruskannya di media sosial miliknya.
Berdasarkan kejadian-kejadian itu, maka jurnalisme warga ini perlu diatur lebih lanjut. Apakah informasi yang ditampilkan di media sosial miliknya itu termasuk kategori jurnalisme warga atau bukan. Apakah perlu ada ruang khusus bagi warga yang ingin berkontribusi secara aktif di media massa sebagai wujud dari aksi jurnalisme warga tersebut. Kiranya dalam wacana revisi undang-undang tentas pers perlu dimasukkan klausul yang mengatur jurnalisme warga.
Apalagi dengan adanya media sosial, yang juga menjadi sarana untuk menyampaikan kritik, saran hingga keluhan warga terhadap pelayanan suatu instansi, warga dengan mudah menuliskannya. Bahkan keluhan tersebut kadang menjadi bahan justifikasi terhadap suatu layanan suatu instansi, bahwa instansi tersebut tidak bekerja dengan baik dan benar. Padahal jika dikonfirmasi dengan instansi yang bersangkutan ternyata yang disampaikan warga melalui media sosial itu ternyata tidak benar. Atau ada persyaratan atau pun dokumen yang tidak lengkap, atau salah masuk ke instansi yang dituju.
Maka bagi warga yang menyampaikan informasi itu harus tahu prosedur di suatu instansi yang dihadapinya. Tidak serta merta menulis pengalamannya itu di media sosial atau mengirimkannya ke media massa, sebagai bagian dari jurnalisme warga. Jika ini yang terjadi, maka keberadaan jurnalisme warga akan kacau dan cenderung hanya sebagai alat untuk menyalahkan atau menghakimi instansi tertentu. Akan berbahaya lagi jika niatan menulis itu karena adanya faktor kebencian atau ketidaksukaan terhadap pejabat di instansi tersebut.
Warga yang aktif menuliskan informasi di media sosial atau pun melalui ruang yang disediakan media massa, harus berhati-hati. Apalagi jika yang ditulis itu menyangkut pelayanan dan prosedur di sebuah instansi, termasuk terhadap pribadi seseorang atau pejabat. Jika tidak, maka undang-undang tentang ITE akan menjeratnya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa menjerat siapa saja yang dianggap melanggar undang-undang ini, yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi. Apalagi banyak pasal yang bisa menjerat dengan alasan penghinaan, SARA dan lainnya melalui media elektronik ini. (*) 

Diterbitkan Radar Tegal, edisi Kamis, 20 Februari 2020

Komentar

Postingan Populer