Perempuan dan Jurnalistik


Sebagai bagian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perempuan juga mempunyai hubungan yang erat dengan pers. Selain melibatkan perempuan secara langsung dalam pekerjaan pers, juga menyajikan berita-berita yang tentang perempuan. Perempuan harus menjadi subyek dalam proses terciptanya sebuah berita. Namun tidak hanya menjadi obyek berita saja, seperti gambar-gambar perempuan cantik. Apalagi sampai menjadikan perempuan sebagai pelampiasan pemberitaan dan kaum yang dianggap lemah.
Keterlibatan perempuan dalam dunia jurnalistik tidak hanya pada saat ini. Bahkan sudah ada sejak masa perjuangan kemerdekaan. Bukan hanya sekedar sebagai penulis saja, tetapi juga sebagai pendiri dan penerbit pers, di antaranya adalah Roehana Koeddoes, Rasuna Said, SK Trimurti, Herawati Diah, kemudian Ani Idrus, yang sempat menjadi Google Doodle pada laman pencarian Google saat peringatan Hari Pers. Saat ini pun banyak kaum perempuan yang aktif dalam dunia jurnalistik. Bahkan mungkin lebih banyak kaum perempuan yang tampil di layar televisi, baik sebagai reporter maupun pembaca berita hingga menjadi pemimpin redaksi.
Penempatan perempuan dalam dunia jurnalistik tidak melulu karena parasnya yang cantik, namun juga karena kemampuannya dalam bidang jurnalistik. Seperti Najwa Shihab yang mengasuh program Mata Najwa, Rosiana Silalahi dengan programnya Rosi. Dan masih banyak lagi perempuan yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik yang mempunyai program sendiri. Bahkan jurnalis perempuan juga mendirikan organisasi khusus untuk menampung kaum perempuan yang bekerja sebagai jurnalis yakni Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI).
Keberadaan jurnalis perempuan ini selain sebagai bagian dari emansipasi perempuan dalam pekerjaan, juga menjadi bagian dari pemberdayaan dan pembelaan hak-hak kaum perempuan secara umum. Mereka tidak dipekerjakan hanya karena kecantikannya, tetapi karena kemampuan dan keahliannya. Dengan demikian, hal-hal yang merendahkan kaum perempuan dalam pemberitaan pun bisa dicegah semaksimal mungkin. Meskipun kadang masih ada pemberitaan-pemberitaan yang bias gender, yang menjadikan kaum perempuan sebagai obyek saja.
Sensitivitas gender menjadi hal utama, bukan hanya oleh jurnalis perempuan, tetapi juga berlaku bagi jurnalis laki-laki. Karenanya pemahaman atas arus utama gender harus dilakukan kepada semua jurnalis, agar pemberitaan yang dimuat tidak bias gender dan tidak menjadikan perempuan sebagai obyek semata. Perempuan juga bisa menjadi subyek utama dalam pemuatan berita. Ini sudah bisa disaksikan saat ini, baik di televisi, media cetak, maupun media online. Media yang masih menjadikan perempuan sebagai subyek dan cenderung merendahkan kaum perempuan dipastikan akan ditinggalkan pembaca.
Karenanya, saat ini tidak ada keraguan lagi bagi perempuan untuk terjun dalam dunia jurnalistik. Berkaca dari sosok-sosok perempuan dulu, dengan perjuangan yang luar biasa, selain menyuarakan kaum perempuan, mereka juga turut berjuang dalam usaha-usaha kemerdekaan melalui tulisan-tulisannya. Dikutip dari Kumparan beberapa tokoh jurnalis perempuan itu luar biasa perjuangannya, bahkan rela keluar masuk penjara.
Sebut saja Roehana Koeddoes, yang lahir di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1884, Roehana Koeddoes adalah sosok pejuang intelektual yang disebut sebagai wartawati pertama Indonesia dan Perintis Pers Indonesia. Tak puas hanya mendirikan sekolah keterampilan bagi perempuan Indonesia, Roehana pun mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Di mana surat kabar ini tercatat sebagai surat kabar pertama di Indonesia yang dipimpin, dijalankan, dan diperuntukkan untuk kaum wanita. Dengan isu nasionalisme dan emansipasi wanita dalam soal pendidikan, Roehana berperan sebagai pemimpin redaksi yang turut dibantu oleh Zubaidah Ratna Djuwita.
Kemudian Rasuna Said, yang sangat dikenal menjadi nama di Ibukota, yakni Jalan Rasuna Said, namun masih banyak yang belum kenal siapa sebenarnya sosok sang empunya nama. Rasuna Said adalah salah satu pahlawan kemerdekaan dan aktivis emansipasi yang berjuang lewat buah pemikirannya. Sejak kecil, wanita kelahiran Maninjau, Sumatra Barat 14 September 1910 ini dikenal sebagai anak yang tak hanya cerdas tapi juga berani mengemukakan pendapatnya. Pernah menjadi satu-satunya santri perempuan di Pesantren Ar-Rasyidiyah, Rasuna sempat menjadi guru di sekolah putri sebelum terjun ke politik dan menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya yang menjadi media corong perjuangan di Sumatra Barat.
Keluar penjara, di tahun 1935 ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri yang berbicara soal perempuan dengan semangat antikolonialisme. Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis soal majalah tersebut, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian.
Selanjutnya, S.K. Trimurti, yang nama panjangnya adalah Surastri Karma Trimurti adalah wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 yang dikenal sebagai wartawati, penulis, serta guru di zaman gerakan kemerdekaan Indonesia. Mengawali kariernya sebagai guru di tahun 1930-an, ia sempat ditangkap pemerintah Belanda karena menyebarkan pamflet anti kolonialisme dan dipenjara selama 9 bulan di Semarang. Keluar dari penjara, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini beralih ke jurnalisme dan tetap dengan kritis menulis soal anti pemerintah Belanda lewat beberapa surat kabar seperti Pikiran Rakyat, Genderang, dan Bedung. Ia pun menerbitkan surat kabar sendiri bertajuk Pesat bersama suaminya, Sayuti Melik yang kemudian dikenal sebagai pengetik teks proklamasi.
Kemudian Herawati Diah. Herawati Diah adalah seorang jurnalis dan wanita Indonesia pertama yang lulus dari universitas di Amerika Serikat, tepatnya di Barnard College di mana ia mengambil Sosiologi dan lulus pada tahun 1941. Pulang ke Indonesia tak lama setelah lulus, ia bekerja sebagai wartawan lepas untuk United Press International serta penyiar di radio Hosokyoku sebelum kemudian menikah dengan rekan sesama jurnalis, B.M. Diah, yang kelak menjadi Menteri Penerangan saat Indonesia merdeka. Setelah sang suami mendirikan Harian Merdeka, pasangan ini juga mendirikan The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia yang diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955. (https://kumparan.com/alexander-kusuma-praja/jurnalis-perempuan-indonesia-dalam-catatan-sejarah)
Pada peringatan Hari Pers beberapa waktu lalu, Google menampilkan sosok perempuan dalam Google Doodle, yakni Ani Idrus. Ani Idrus merupakan wartawati kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918. Ani Idrus wafat di Medan, Sumatera Utara pada 9 Januari 1999 pada usia 80 tahun. Ani Idrus mulai menjalani karir sebagai wartawati sejak tahun 1930. Ani Idrus pernah menjadi jurnalis di sejumlah media seperti Sinar Deli hingga Politik Penyedar.

Pada 1938, Ani Idrus bersama suaminya, Mohammad Said menerbitkan majalah politik Seruan Kita. Ani Idrus dan Said menjadi penggagas media cetak bernama Waspada pada 1947 di Medan. Ani Idrus kemudian menerbitkan majalah Dunia Wanita pada 1949. Atas kontribusinya di dunia jurnalistik, Ani Idrus menerima sejumlah penghargaan. (
https://news.detik.com/berita/d-4797568/ani-idrus-wartawati-legendaris-yang-diapresiasi-google-hari-ini)
Berkaca dari tokoh-tokoh jurnalis perempuan tersebut, sudah tidak ada keraguan bagi kaum perempuan untuk terjun di dunia jurnalistik. Dengan kemampuan dan keahliannya dalam menggeluti dunia jurnalistik, kaum perempuan bisa semakin berdaya dan berkembang. Menjadi warga negara kelas 1 bersama kaum laki-laki. (*)

Komentar

Postingan Populer