Penegakkan Hukum Pasca Reformasi



1. Pendahuluan
Penegakkan hukum di Indonesia menjadi salah satu isu yang tidak pernah mati. Setiap saat muncul kasus-kasus hukum, yang berujung pada pembicaraan penegakkan hukum. Menjadi isu yang ramai karena berbagai pihak pasti ikut nimbrung berkomentar dengan berbagai argumentasinya. Semuanya menyatakan demi penegakkan hukum. Ini tidak lepas dari proses reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998 lalu. Termasuk di bidang hukum pun tidak lepas mengalami reformasi.
Zaman Orde Baru, penegakkan hukum mendapat kritik sangat keras setelah reformasi. Karena pada saat itu, pengertian penegakkan hukum hanya berlaku jika yang mengatakan adalah pemerintah. Bahkan langkah-langkah sejumlah pihak, yang berupaya memprotes atau pun mempertanyakan penegakkan hukum itu sendiri, justru dianggap melanggar hukum. Karena siapa yang saja yang bertentangan dengan pemerintah, maka dianggap melanggar hukum. Hukum adalah pemerintah itu sendiri.
Para penegak hukum pun tidak mampu menjaga independensinya, karena harus tunduk pada keputusan pemerintah. Keputusan pemerintah adalah hukum yang harus dijalankan oleh siapa pun. Bisa dikatakan, proses penegakkan hukum hanya berlaku bagi rakyat biasa saja. Sementara pejabat pemerintah, hampir-hampir tidak ada yang berurusan dengan hukum. Kalau pun ada pejabat yang dijerat dengan hukum, karena yang bersangkutan dianggap mbalelo dari pejabat di atasnya.
Kondisi hukum di zaman Orde Baru inilah yang menjadi salah sau alas an munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998, di samping krisis ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap Soeharto. Reformasi menjadi gerakkan massa, yang memaksa Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada 20 Mei 1998. Setelah sebelumnya sejumlah aksi demonstrasi dan gerakan turun jalan di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan terjadi sejumlah kerusuhan dan pembunuhan, termasuk penculikan sejumlah aktivis pro demokrasi.
Kini, setelah reformasi berjalan hingga 18 tahun, isu penegakkan hukum masih saja menjadi isu yang menarik dan tak pernah tuntas pembahasannya. Penegakkan hukum masih menjadi perbincangan, bahkan antar penegak hukum sendiri masih saling beradu argumentasi, bahkan saling serang untuk membuktikan, siapa yang paling berkuasa. Penegakkan hukum masih sangat kental ditumpangi muatan politik.

2. Rumusan Masalah
Penegakkan hukum di Indonesia masih menjadi persoalan hingg kini. Bahkan ada apatisme hukum dari masyarakat. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab persoalan ini. Apa saja faktor-faktor tersebut, dan bagaimana upaya mengatasi masalah tersebut, hingga penegakkan hukum di Indonesia bisa maksimal.

3. Konseptualisasi
3.1. Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak. Hukum sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi. Filsuf Aristotelse menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik daripada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela. (https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum)
Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Ketiadaan definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai ketidaksepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah hukum didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu berkembang lagi menjadi perlukah kita mendefinisikan hukum?
Ketiadaan definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang baru saja ingin mempelajari ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu penting. Lebih penting penegakannya dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Namun, bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja perlu untuk mengetahui pengertian hukum. Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
  • Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
  • Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga  atau badan yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
  • Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma hukum yang bersifat fakultatif/melengkapi.
  • Hukum memliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga diatur dalam peraturan hukum.
Selain istilah hukum, mungkin juga perlu djelaskan istilah ilmu hukum. Ilmu hukum dalam tulisan ini, pengertiannya yang paling mudah adalah bahwa ilmu hukum adalah suatu pengetahuan yang objeknya adalah hukum dan khususnya mengajarkan perihal hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya, ilmu hukum sebagai kaidah, ilmu hukum sebagi ilmu pengertian dan ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan. Ilmu hukum itu sendiri adalah peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat, bersifat mengatur dan memaksa.
Curzon berpendapat bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum (Satjpto Raharjo, 1982:3). Ruang lingkup ilmu hukum itu sangat kompleks, tidak hanya membicarakan tentang peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga sifat, perkembangannya dari masa lalu sampai sekarang, serta fungsi-fungsi ilmu hukum pada tingkat peradaban umat manusia. Jadi ilmu hukum tidak hanya mempersoalkan tatanan suatu hukum tertentu di suatu negara

3.2. Penegakkan Hukum
Pengertian penegakkan hukum dalam arti seperti yang dipahami masyarakat umum adalah dilakasanakannya aturan-aturan hukum oleh semua lapisan masyarakat yang mengandung keadilan. Di sini masyarakat berharap agar hukum benar-benar diberlakukan dengan dasar keadilan, bukan kekuasaan. Apalagi hanya berdasarkan uang, di mana siapa punya uang, dia bisa membeli hukum. 
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakkan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakkan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. (www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum)
Menurut Eka Sasmita, dalam blognya https://sasmitasmansa.wordpress.com, dalam artikelnya tentang  pengertian penegakkan hukum, dia menulis bahwa penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, stabilitas politik dan keamanan hanya dapat tegak bila aturan hukum berjalan dengan semestinya. Keragu-raguan dan lemahnya penegakkan hukum akan membuat negara jatuh pada kondisi ketidakpastian dan instabilitas. (https://sasmitasmansa.wordpress.com /2011/12/07/ pengertian-penegakan-hukum)

3.3. Reformasi
Istilah reformasi di Indonesia mulai terkenal sejak tahun 1997-1998. Di mana saat itu kondisi ekonomi dan politik Indonesia sedang bergejolak, yang berakibat pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Saat itu istilah gerakan reformasi sangat ramai, khususnya di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Reformasi yang didengung-dengungkan oleh mahasiswa itu tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi juga pada bidang ekonomi, politik, dan hukum.
Secara istilah, reformasi artinya perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Di bidang ekonomi, reformasi ekonomi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan ekonomi dl suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan reformasi hokum adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam bidang hukum dalam suatu masyarakat atau negara. Kemudian reformasi politik artinya adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan di bidang politik dalam suatu masyarakat atau negara. Namun secara umum, istilah reformasi berarti perbaikan, gerakan pembaharuan (suatu sistem), memperbaiki diri, menjadi lebih baik. (http://kamus.sabda.org/kamus/Reformasi)
Reformasi merupakan suatu perubahan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan baru yang secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan prubahan terutama perbaikan dalam bldang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan. (http://www.katapengertian.com /2015/12/pengertian-dan-tujuan-gerakan-reformasi.html)
Dalam tulisan ini, reformasi yang dimaksud adalah gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Di mana tujuan gerakan reformasi secara umum adalah memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Secara khusus, tujuan gerakan reformasi, antara lain:
a.       Reformasi politik bertujuan tercapainya demokratisasi.
b.      Reformasi ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.
c.       Reformasi hukum bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
d.      Reformasi sosial bertujuan terwujudnya integrasi bangsa Indonesia.
Reformasi menjadi sebuah tuntutan zaman pasca Soeharto lengser. Hingga saat ini, 18 tahun setelah Soeharto lengser pun, gerakan reformasi masih tetap berdengung. Karena memang di berbagai bidang tersebut masih dibutuhkan reformasi. Hingga dicapai suatu sistem yang ideal bagi terbentuknya sebagai tatatan masyarakat dan negara yang lebih baik.

3.4. Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela. (https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru) 
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto juga bersifat otoriter. Mereka yang berbeda pendapat, apalagi bertentangan dengan pemerintah, khususnya Soeharto, bisa dianggap subversif. Akibatnya selama massa pemerintahan Soeharto banyak tokoh-tokoh aktivis demokrasi yang dipenjara. Mereka dipidana karena dianggap membahayakan negara dan pemerintahan. Bahkan tidak sedikit yang hilang misterius dan diasingkan serta pembungkaman media massa.
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi alat utama untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, yang terkenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Di mana selain sebagai alat pertahanan negara, ABRI juga berperan dalam kehidupan sosial politik di dalam negeri. Mereka masuk dalam semua lini kehidupan masyarakat, mulai dari DPR/MPR hingga kehidupan masyarakat di desa-desa, yakni dengan adanya Bhabinsa (Bhintara Pembina Desa). Bhabinsa inilah yang menjadi mata-mata pemerintah terhadap setiap gerak kehidupan masyarakat.  
Selama pemerintahan Orde Baru juga digelar Pemilu, yang sebenarnya jauh dari demokrasi. Ada enam Pemilu yang digelar selama Orde Baru berkuasa, dan semuanya dimenangkan oleh Golkar, yang merupakan kendaraan politik Soeharto selama berkuasa. Yakni Pemiu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997. Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir jaman Orde Baru, dengan kemenangan mutlak oleh Golkar. Namun justru menjadi ambang kehancuran Orde Baru.
Orde Baru tumbang setelah 32 tahun berkuasa secara otoriter. Yakni dengan mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 setelah mendapat mosi tidak percaya dari sebagian besar elemen bangsa. Termasuk dari para pendukung setianya, baik di kalangan sipil maupun militer. Itu terjadi setelah ribuan mahasiswa berhasil menduduki senayan. Dan banyak peristiwa yang mendahului, sebelumnya akhirnya Soeharto lengser dan akhirnya digantikan wakilnya BJ Habibie sebagai presiden. Selanjutnya Habibie menggelar Pemilu 1999, yang merupakan pemiu pertama era reformasi.

4. Pembahasan
            Dari pendahuluan di atas, bahwa penegakkan hukum di Indonesia menjadi saah satu permasalahan yang muncul setiap waktu, kapan saja dan di mana saja di wilayah Indonesia. Padahal seperti sudah disebutkan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang ketiga, yakni pasal 1 ayat 3, yang berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan adanya ketentuan dalam UUD ini, sebenarnya tidak ada lagi persoalan terkait dengan penegakkan hukum. Namun dalam prakteknya masih saja ada persoalan, bahkan semakin banyak persoalan pasca dimasukkannya ketentuan ini dalam UUD.
Masuknya pasal bahwa negara Indonesia adalah negara hukum itu sendiri merupakan salah satu dari dampak reformasi yang bergulir sejak 1998. Bahwa banyak persoalan di awal-awal reformasi, bahkan adanya ancaman konflik, termasuk konflik politik di tataran para elite dan disintegrasi bangsa, menjadi salah satu alasan munculnya pasal ini. Di mana semangat dari pasal ini adalah agar para elite politik hingga masyarakat awam menjadikan hukum sebagai pijakan dalam setiap mengatasi masalah. Jangan sampai terjadi konflik berdasar, yang berakibat pada disintegrasi bangsa. 
             Istilah negara hukum secara terminologis berasal dari istilah rechtsstaat atau rule of law. Ahli hukum di daratan eropa Barat lazim menggunakan istilah rechtsstaat, sementara tradisi di Negara-negara penganut Anglo Saxon menggunakan istilah rule of law. Di Indonesia, istilah rechtsstaat dan rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah negara hukum (Winarno, 2007 dalam Triharso 2013). Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan oleh para pendiri negara Republik Indonesia (Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan) sejak hamper satu abad yang lalu. Cita-cita Negara hokum yang demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya gagasan itu diperjuangkan para perintis kemerdekaan pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. (http://www.academia.edu/8838989/Indonesia_Sebagai_Negara_Hukum)
            Dengan sejarah dan semangat penegakkan hukum seperti itulah akhirnya pasal bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Namun kenyataannya hingga 18 tahun reformasi, masih banyak masalah hukum. Bahkan di salah satu televisi nasional, ada program live yakni Indonesia Lawyer Club (ILC) yang membahas persoalan-persoalan hukum yang sedang terjadi saat itu. Sejumlah pakar hukum, praktisi, termasuk para penegak hokum, serta mereka yang terkait dengan masalah hukum tersebut diundang dalam siaran langsung tersebut.
Ketika terjadi perbedaan pendapat terkait dengan suatu persoalan hukum, semua memiliki argumentasi yang berbeda-beda pula. Semuanya mengaku berdasarkan hukum dan atas nama supremasi hukum semua. Sehingga kadang masyarakat awam jadi bingung dan akhirnya apatis terhadap hukum. Hal itu bisa dilihat dari komentar-komentar masyarakat atas suatu persoalan hokum. Bahkan ada yang bersikap lebih ekstrim, tidak percaya hukum dan ada pula yang berpendapat bahwa hokum hanya berlaku bagi mereka yang tidak punya uang. Sementara mereka yang memiliki uang, hampir-hampir tidak bisa disentuh oleh hukum itu sendiri.
Bahkan di Aceh, kelompok Din Minimi pada akhir tahun 2015 lalu, yang merupakan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mengangkat sejata lagi disebabkan karena adanya ketidakadilan. Mereka mengancam akan mengangkat senjata lagi jika pemerintah setempat tidak melakukan apa yang menjadi tuntutan Din Minimi. Salah satunya adalah masalah hukum, yang masih tebang pilih. Namun untuk kasus Din Minimi sendiri, juga harus diproses hokum, meskipun nanti ada amnesty atau pengampunan dari pemerintah. Yang jelas, dalam kasus ini, sebagian pengamat hukum meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum terlebih dahulu, kemudian baru ada amnesty atau pengampunan.
Di sisi lalin, persoalan-persoalan hukum yang terjadi di tingkat elite politik, seperti dalam kasus cicak dan buaya, antara KPK dan Polri, termasuk juga antara hakim, MA dengan KY, serta lainnya, juga menjadi sorotan dan catatan masyarakat. Ternyata bukan hanya persoalan hukum saja yang terjadi, tetapi ada unsur politik dan kekuasaan di dalamnya. Mereka saling mencari kesalahan masing-masing, dan semuanya berbicara demi hukum dan akhirnya saling tangkap.  
Masyarakat pun menjadi semakin menjadi bingung dan tak tahu apa yang sedang terjadi, serta kepentingan apa yang masuk dalam kasus hukum tersebut. Karena dalam peristiwa itu, kedua lembaga penegak hukum merasa paling benar semua. Masyarakat menjadi semakin apatis dan tidak percaya terhadap hukum. Jika ternyata di tingkat elite politik saja seperti itu, bagaimana jika itu terjadi dan menimpa masyarakat umum yang tidak memiliki kekuasaan maupun jabatan politik yang tinggi. Masyarakat tentu akan menjadi korban daripada kepentingan politik dan kekuasaan saja jika pengaruh politik dalam hukum itu lebih menonjol.
Kondisi ditambah lagi pengalaman selama kurang lebih 32 tahun di bawah kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di mana penegakkan hukum tidak berlaku bagi mereka yang masuk dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa, dan khususnya bagi mereka yang dianggap sebagai penentang Orde Baru. Bahkan bagi mereka yang dianggap sebagai musuh Orde Baru, justru mendapat perlakuan hukum yang tidak wajar, tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Aktivis-aktivis pro demokrasi, bahkan kebanyakan mendapat hukuman tanpa proses peradilan. Mereka ditangkap dan ditahan, bahkan mengalami penyiksaan saat interogasi berlangsung, baik oleh aparat kepolisian maupun tentara. Bahkan yang lebih sadis lagi, mereka diculik dan dibunuh, tanpa pernah tahu, siapa pembunuhnya dan di mana jasadnya. Korban-korban politik jaman Orde Baru cukup banyak di beberapa daerah, dan mereka tidak terekspose oleh media massa. Karena memang mereka tidak diperbolehkan mengekspose berita-berita seperti itu. Jika bandel, maka ancamannya adalah dilakukannya bredel terhadap media massa tersebut. Beberapa media massa yang dianggap cukup kritis pada Orde Baru pun pernah mengalaminya, seperti Tempo, Pedoman, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Detik, The Jakarta Times dan lainnya.
Langkah-langkah untuk mengamankan pemerintahan Orde baru itu, jelas sangat jauh dari proses penegakkan hukum itu sendiri. Hukum hanya dianggap ketika berhadapan dengan musuh-musuhnya. Sementara jika mereka itu bagian dari lingkaran kekuasaan, maka hukum tidak berlaku. Atau dalam arti kata yang lain, hukum tidak bakalan menyentuh mereka, yang masuk bagian dalam system pemerintahan Orde Baru. Bahkan pada jaman Orde Baru sendiri, penegak hukum yang baik, justru mendapat perlakukan yang tidak baik. Mereka justru dipindahkan ke tempat yang jauh dari pusat ibukota dan ditempatkan di daerah terpencil.
Itulah Orde Baru, di mana hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa. Dan memasuki masa reformasi, penegakkan hukum pun mengalami reformasi pula. Seperti disebutkan di atas, banyak kasus yang muncul, dan masyarakat pun bebas menyampaikan pendapatnya tentang hokum, meskipun itu bertentangan dengan pendapat pemerintah maupun para elite politik di pusat. Ada kebebasan berpendapat ini juga berpengarush terhadap proses penegakkan hukum itu sendiri. Ketika ketidakadilan muncul, maka masyarakat bisa langsung berekasi, baik melalui media massa maupun media sosial, yang saat ini begitu gencar.
Namun harus diakui, bahwa kasus-kasus atau persoalan yang sempat muncul di media massa, baik cetak maupun elektronik itu, hanya merupakan riak-riak kecil saja dalam proses penegakkan hukum di Indonesia, khususnya pasca reformasi. Masih banyak proses penegakkan hukum yang berlangsung secara fair dan bagus. Artinya penengakan hukum sudah sesuai dengan prinsip-prinsip penegakkan hukum itu sendiri.
Dari sekian kasus hukum yang muncul dan ramai di media massa maupun media sosial beberapa waktu lalu, bisa saja menjadi indikasi pelaksanaan penegakkan hukum di seluruh wilayah negeri yang sudah merdeka 71 tahun ini. Namun upaya penegakkan hukum itu jangan sampai kendur dan justru malah merusak hukum itu sendiri. Beberapa langkah yang sudah dilakukan pemerintah, dalam rangka menegakkan hukum sudah maksimal. Seperti pembentukan sejumlah lembaga, yang bertugas mengawasi dan memaksimalkan fungsi-fungsi penegakkan hukum. 
Beberapa lembaga yang sudah dibentuk untuk memperkuat penegakkan hukum di Indonesia, selain yang sudah ada selama ini di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan dan lainnya. Tugas-tugas lembaga itu telah diatur dalam undang-undang tersendiri, yang secara umum berfungsi untuk memperkuat proses penegakkan hukum di Indonesia pasca reformasi. Termasuk juga adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hingga saat ini masih mendapat kepercayaan masyarakat untuk mengungkap kasus-kasus korupsi, yang belum ditangani secara maksimal oleh kepolisian maupun kejaksaan.
Keberadaan undang-undang sebagai dasar terbentukan lembaga-lembaga tersebut antara lain adalah UU No 4 tahun 2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang. Kemudian tentang Komisi Yudisial dimuat dalam UU Nomor 18 tahun 2011, undang-undang tentang Komisi Kepolisian Nasional dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2011. Sedangkan Komisi Kejaksaan dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2011.
Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen, disebutkan dalam pasal 24 ayat 1 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian pada ayat 2 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.  
Dengan berpedoman pada UUD 1945 dan undang-undang yang mendasari pembentukan lembaga-lembaga tersebut, maka upaya untuk penegakkan hukum pasca reformasi sudah maksimal. Tinggal bagaimana sikap dan komitmen para pimpinan dan pejabat tinggi negara dalam mengimplementasikan penegakkan hukum. Sehingga pejabat di bawahnya dan juga masyarakat dapat mencontoh dan melakukan penegakkan hukum yang lebih baik lagi, dengan tujuan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. 

5. Simpulan
Semangat untuk menegakkan hukum saat ini masih saja terus dilakukan. Tentunya dengan kontrol dan peran serta masyarakat dalam mengawasi setiap proses penegakkan hukum di semua tingkatan. Masyarakat juga harus mampu menolak setiap upaya untuk elemahkan proses penegakkan hukum, baik oleh oknum maupun oleh siapa pun yang mengatasnamakan hukum. Masyarakat mempunyai peran yang cukup signifikan dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Para penegak hukum yang ada di negeri ini berjumlah ribuan, dan yang melakukan praktek-praktek kotor, yang merongrong proses penengakkan hukum itu sendiri hanya sebagian kecil saja. Sehingga penegakkan hukum di Indonesia saat ini pasti akan lebih baik lagi. Di mana kunci utama dari semua proses menuju arah kebaikan ini, tentu dimulai dari para pucuk pimpinan di negeri ini. Mulai dari presiden, para pimpinan lembaga tinggi negara, para menteri dan anggota DPR dan MPR, tunduk dan taat pada hukum yang berlaku. Kemudian diikuti para pimpinan dan pejabat di daerah, juga mampu serta mempunyai komitmen yang baik terhadap penegakkan hukum. Jangan sampai mereka berkomentar dan berteriak di media massa mengatasnamakan hukum, namun mereka sendiri justru yang melanggar hukum.
Kondisi ini tentu harus segera dihentikan, seperti kasus-kasus beberapa waktu lalu yang melibatkan para petinggi hukum di negeri ini. Jangan sampai, kepentingan politik dan kekuasaan masuk dalam proses penegakkan hukum. Masyarakat tentu tidak ingin melihat pertunjukkan dan akrobat para penegak hukum di negeri ini memainkan peran-peran komedi yang tidak lucu dan memalukan tersebut.  Kini saatnya para pemimpin di negeri ini, untuk menjadikan hokum sebagai dasar dalam setiap tindakan dan pengambilan keputusan, yang bermuara kepada kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya. Seperti diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. (*) 

Komentar

Postingan Populer