KPU Sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu


1. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia mulai tahun 1955. Saat itu ada dua agenda pemilihan umum, yakni memilih anggota DPR dan memilih anggota Konstituante. Puluhan partai politik dan perseorangan terlibat dalam pemilu yang berlangsung demokratis tersebut. Meskipun akhirnya keberadaan dewan hasil pemilu tersebut gagal, namun dari segi penyelenggaraan dianggap berhasil, karena berlangsung secara demokratis. Pemilu 1955 merupakan satu-satunya pemilu pada masa pemerintahan Soekarno.
Pemilu selanjutnya baru dilakukan pada awal-awal pemerintahan Soeharto, yakni tahun 1971. Pemilu 1971 ini diikuti 10 partai politik, termasuk Golkar. Kemudian pemilu kedua masa Soeharto atau masa Orde Baru diselenggarakan lagi pada tahun 1977. Berlangsung berturut-turut pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, dan pemilu 1997. Pemilu 1977 hingga 1997 ini hanya diikuti tiga peserta, yakni Golkar, PDI dan PPP. Ini terkait dengan kebijakan pemerintah Soeharto, yang mewajibkan adanya fusi atau penggabungan partai politik.
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, digantikan oleh pemerintahan BJ Habibie. Habibie menggelar Pemilu pada tahun 1999, yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu yang digelar pada 7 Juni 1999 itu merupakan pemilu pertama era reformasi, di mana setiap individu dan kelompok diperbolehkan membentuk partai politik.
Pemilu 2004 ada yang berbeda, selain memilih anggota DPR dan DPD juga ada pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilu legislatif, yang memilih anggota DPR dan DPD digelar pada 5 April 2004 dan pemilu presiden dan wakil presiden pada 5 Juli 2004. Pemilu selanjutnya juga sama, yakni memilih DPRD dan DPD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden, yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Sedangkan pada pemilu 2019 yang akan datang, pemilu legislatif dan pemiu presiden dan wakil presiden akan diserentakkan.
Dari 11 kali pemilu yang diselenggarakan di Indonesia tersebut, selama ini yang disorot adalah pada hasil pemilu itu sendiri. Sementara penyelenggara pemilu kurang mendapat perhatian. Peran mereka sebagai penyelenggara jarang diekspose, padahal tanpa mereka tidak mungkin pemilu itu bisa terselenggara dengan baik. Dengan diterbitkan undang-undang tentang penyelenggara pemilu, yakni UU No 15 tahun 2011, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilihan umum memiliki legalitas dan dasar hukum yang kuat.
Dalam perjalanan sejarah  penyelenggara pemilu memang beragam, sebelum adanya undang-undang tentang penyelengga pemilu. Undang-undang tersebut juga merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen ketiga. Di mana dalam pasal 22E ayat (5) disebutkan Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

2. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang masalah di atas, pemilu di Indonesia yang sudah berlangsung 11 kali mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Mulai dari hasilnya hingga penyelenggaranya. Karenanya, dalam tulisan ini ada beberapa rumusan masalah terkait dengan posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu.
1.      Bagaimana sejarah penyelenggara pemilu dan perkembangannya hingga saat ini?
2.      Bagaimana posisi penyelenggara pemilu dalam setiap penyelenggaraan pemilu tersebut?
3.      Apa saja tugas dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu?

3. PEMBAHASAN
3.1. SEJARAH PENYELENGGARA PEMILU
Indonesia patut berbangga bahwa pelaksanaan pemilu terakhir, yakni pemilu 2014 berlangsung lancer dan sukses, tanpa ada kendala. Bahkan dunia pun mengakui pelaksanaan pemilu yang demokratis tersebut, karena dapat berlangsung secara serentak dalam satu hari dan hasilnya pun langsung bisa diketahui. Siapa yang menjadi pemenang pemilu, siapa saja calon anggota legislatif yang jadi, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Semua berlangsung lancar, tanpa ada kendala yang berarti. Upaya-upaya kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilu sudah sangat minimal.
Sistem perhitungan dan pemungutan suara yang transparan menjadi salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemilu 2014. Tentu juga tidak lepas dari faktor integritas dan independensi para penyelenggara itu sendiri, baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan hingga tingkat kelompok kerja pemungutan suara (KPPS). Siapa yang melakukan kecurangan, pasti akan terdeteksi, dan hasilnya pun bisa diperbaiki jika ditemukan bukti-bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Mereka, penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan kecurangan ada sanksi hukumnya, mulai dari teguran hingga pemecatan dari jabatannya.
Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pemilu zaman Orde Baru, yang dianggap belum demokratis. Di mana undang-undang yang dibentuk tentang pemilu, lebih cenderung menguntungkan penguasa. Selain itu, juga adanya intimidasi dan pemaksaan dalam pemilu-pemilu Orde Baru. Belum lagi adanya dugaan-dugaan kecurangan dalam setiap pemilu Orde Baru, karena tidak ada pengawasan dan kebebasan memilih untuk seluruh rakyatnya. Adanya dwifungsi ABRI, loyalitas PNS dan sebagainya, menjadi salah satu faktor disebutnya pemilu-pemilu orde baru itu belum demokratis.
Berdasarkan sejarah, pemilu pertama digelar pada tahun 1955. Ada dua pemilu, yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Sebenarnya, setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. [1]
Menurut Mahfud MD, UUD 1954, Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menganut paham demokrasi sebagai salah satu asasnya yang fundamental. Kendati tidak menyebutnya secara eksplisit tentang pemilu, tetapi dapat dikatakan bahwa UUD tersebut memuat secara implisit ketentuan adanya pemilu, sebab aparatur demokrasi yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut (seperti adanya MPR dan DPR) memang menuntut adanya lembaga pemilu. [2]
Di dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 memuat tentang pemilu secara eksplisit. Konstitusi RIS memuat hal tersebut dalam pasal 34, sedangkan UUDS 1950 memuatnya dalam pasal 35, pasal 57 dan pasal 135 (2) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34 Konstitusi RIS:
“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Pasal 35 UUDS 1950:
“Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Pasal 57 UUDS 1950:
“Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat dan memenuhi aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 135 ayat (2) UUDS 1950):
“Anggota-anggota konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dengan cara yang bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan undang-undang.”[3]
Dalam perjalanannya, rencana pembentukan partai-partai politik dan penyelenggaraan pemilu mengalami hambatan, hingga baru terlaksana pada tahun 1955. Namun upaya-upaya untuk menyelenggarakan pemilu sudah dilakukan oleh pemerintah waktu itu, baik melalui program perdana menteri yang saat itu sering jatuh bangun, maupun penyusunan undang-undang tentang pemilu. pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung).[4]
Pada tahun 1946, di Karesidenan Kediri sudah diselenggarakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat berdasarkan UU Karesidenan Kediri No. 22 dan No. 23 yang menggunakan system bertingkat. Mula-mula rakyat memilih anggota dewan desa dalam jumlah tertentu, kemudian para anggota dewan desa yang terpilih itu memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kediri. Begitu pula di Karesidenan Surakarta pada tahun 1946 telah diselenggarakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat berdasarkan UU Karesidenan Surakarta No. 4 tahun 1946.[5]
Setelah keluarnya UU No. 27 tahun 1948, pemilihan lokal telah teah dilaksanakan di beberapa daerah. Di antaranya di Minahasa (1951), Sangir Talaud (1951), Kotamadya Makassar (1952)dan DI Yogyakarta (1951). Pemilihan di Yogyakarta berdasarkan UU No. 7 tahun 1950 dan PP No. 36 tahun 1050 yang menggunakan sistem pemilihan bertingkat. Keberadaan UU No. 27 tahun 1948 merupakan undang-undang pemilu nasional, tetapi UU tersebut tidak dapat dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia karena revolusi kemerdekaan sedang berlangsung.[6] UU No. 27 tahun 1948 sendiri akhirnya diperbarui dengan UU No.12 tahun 1949. Undang-undang tersebut pun tidak dapat diberlakukan, karena Indonesia masih berlangsung revolusi, dan terjadi pergantian-pergantian kabinet yang dipimpin perdana menteri.
Pada tahun 1953, di bawah pemerintahan Kabinet Wilopo, pemerintah kembali menerbitkan UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun Pemilu baru dapat berlangsung pada tahun 1955 di bawah pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Dalam undang-undang tentang pemilihan umum tersebut, juga diatur tentang penyelenggaranya, yakni Panitia Pemilihan Indonesia. Seperti dalam UU No. 7 tahun 1953, ada lima tingkat kepanitiaan, yakni Panitia Pemilihan Indonesia Tingkat Nasional, Panitian Pemilihan Tingkat Daerah, Panitia Pemilihan Tingkat Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara Tingkat Kecamatan, dan Panitia Pendaftaran Pemilih untuk tingkat Desa.[7] PPI tersebut dibentuk berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und. Tanggal 23 April 1953 dan nomor 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953.
Selanjutnya dalam Pemilu tahun 1955 yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia hingga Panitia Pendaftaran Pemilih di tingkat desa ini, dilakukan untuk dua lembaga yang berbeda. Tanggal 29 September 1955 untuk memilih 272 anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih 542 anggota Dewan Konstituante. Adapun peserta lebih 30-an partai politik (parpol) dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno, menjadi awal dari system demokrasi terpimpin, setelah sebelumnya demokrasi parlementer. Selama kurun waktu 1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya menjelma menjadi seorang pemimpin yang otoriter. [8] Tidak ada pemilu selama demokrasi terpimpin tersebut, karena RUU Pemilu tersebut tidak pernah tuntas untuk dibahas. Hingga akhirnya Soekarno jatuh dan kekuasaan diambil alih oleh Soeharto, dan bergantilah Orde Lama menjadi Orde Baru.
Ketika Soeharto berkuasa pun, setelah resmi dilantik menjadi Presiden RI kedua, yakni pada 1967 oleh MPRS, Soeharto tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. [9] Sesuai dengan TAP MPRS tersebut, pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia (harus) dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968. Selanjutnya MPRS mengeluarkan ketetapan No. XLII/MPRS/1968 yang berisi penundaan pemilu menjadi selambat-lambatnya 5 Juli 1971.[10]
Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1971, empat tahun Soeharto memegang kekuasaan. Undang-undang yang dijadikan dasar penyelenggaran Pemilu 1971 adalah UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ada 10 partai politik sebagai peserta Pemilu 1971, termasuk Golongan Karya (Golkar) yang dijadikan alat kekuasaan dan kendaraan Presiden Soeharto. Adapun sebagai penyelenggara Pemilu 1971 adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaanya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Ada pun struktur organisasi LPU di tingkat pusat disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di tingkat provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah tingkat II (PPD II), di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk melaksanakan pemungutan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN) dan Kelompok Penyenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Lembaga penyelenggara pemilu ini bertahan sejak Pemilu 1971 hingga pemilu 1997.
Ketua panitia untuk semua tingkatan adalah pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk PPI, Gubernur ketua PPD I, Bupati untuk PPD II, Camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP/Pantarlih. Kenggota LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan peraturan pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya.[11]
Adapun dasar dari pelaksanaan Pemilu selama Orde Baru berkuasa, ada beberapa perubahan. Pemilu 1971, UU yang dijadikan dasar adalah UU No. 15 tahun 1969, Pemilu 1977 adalah UU No. 14 tahun 1975, Pemilu 1982 adalah UU No. 2 tahun 1980, Pemilu 1987 menggunakan dasar UU No. 1 tahun 1985. Dari tiga perubahan undang-undang tersebut, tidak ada satu perubahan prinsip yang menyangkut system pemilu, sehingga secara umum tidak ada perubahan karakter terhadap hokum mengenai pemilu. Artinya, pada umumnya perubahan-perubahannya hanya bersifat redaksional atau semantik.[12]  
Ketika Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie, langsung diputuskan digelar Pemilu pada tahun 1999. Yakni dengan dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1999 tentang Penyelanggara Pemilu. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada pasal 8 ayat 2 dikatakan penyelenggaran Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsure partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie.[13]
Sedangkan peserta Pemilu 1999 adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.[14]

3.2.  KPU SEBAGAI PENYELENGGARA PEMILU
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu sudah jelas, sesuai dengan UUD 1945, seperti disebutkan dalam Bab VIIB pasal 22E, yang merupakan UUD hasil amandemen ketiga, yang dilakukan tahun 2001. Di mana pasal tersebut menyebutkan tentang pemilihan umum. Ada enam ayat yang khusus membahas masalah pemilihan umum, yakni sebagai berikut:
1)      Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
2)      Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3)      Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4)      Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
5)      Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6)      Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Dari pasal tersebut, selanjutnya dibentuklah undang-undang yang khusus mengatur tentang pemilu dan penyelanggara pemilu. Namun sebelum amandemen ketiga UUD 1945, sudah ada UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang itu menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 1999. Di mana dalam pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden.  
Anggota KPU pertama (1999-2001) ini dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie, dengan Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua KPU. Dan selanjutnya menyelenggarakan pemilu pada 7 Juni 1999. Sebagai penyelenggara dari Pemilu 1999, dibentuklah Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat nasional, PPD I di tingkat provinsi dan PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya.
Pemilu 2004 berdasarkan UU No. 4 tahun 2000 tentang Perubahan UU No 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid pada 7 Juni tahun 2000. Di mana dalam undang-undang itu, keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu semkin dipertegas. Seperti disebutkan pada pasal 8 ayat (2) Penyelenggaraan Pemilihan Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non-partisan. Kemudian pada pasal 9 juga dijelaskan tentang keanggotaan KPU dan persyaratannya. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM. KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Sebagai anggota KPU periode 2001-2007 adalah Dr Nazaruddin Sjamsuddin MA, yang juga sebagai ketua KPU, kemudian Prof. Ramlan Surbakti, Mulyana W Kusumah, Daan Dimara, Rusadi Kantaprawira, Imam B. Prasodjo, Anas Urbaningrum, Chusnul Mar’iyah, FX Mudji Sutrisno, Hamid Awaludin, Boncu Sallahudin dan Valina Singka Subekti. Merekalah yang menyelenggarakan Pemilu 2004, yang diikuti 24 partai politik, yang dilaksanakan pada 5 April 2004.
Pemilu 2004 juga menjadi pemilu pertama bagi pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang digelar pada 5 Juli 2004 ini diikuti 5 pasang calon presiden dan wakil presiden, yakni pasangan SBY-JK, Mega-Hasyim, Wiranto-Sholahudin, Amien Rais-Siswono, dan Hamzah-Agum. Kemudian digelar putaran kedua, yang diikuti pasangan SBY-JK dan Mega Hasyim, yang akhirnya dimenangkan pasangan SBY-JK.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Pemilu 2009 yang menjadi dasar penyelenggaraan adalah UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyenggara Pemilihan Umum. Undang-undang ini menjadi dasar dari keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Selain itu juga disebutkan keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc. Anggota KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum. Ketujuh anggota KPU tersebut adalah Abdul Hafiz Anshari, Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I Gusti Putu Artha, Syamsul Bahri, Andi Nur Pati, dan Abdul Aziz. Sedangkan yang didaulat sebagai ketua adalah Abdul Hafiz Anshari.
Pemilu 2009 sendiri diikuti 44 partai politik, termasuk enam partai politik lokal Aceh. Diselenggarakan pada 9 April 2009. Sedangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan pada 9 Juli 2009. Ada tiga pasangan calon yang maju saat itu, yakni Mega-Prabowo, SBY-Budhiono, dan JK-Win. SBY-Budhiono memenangi Pilpres tersebut hanya dengan satu putaran saja.
Selanjutnya, undang-undang tentang penyelenggara Pemilu diperbarui lagi dengan diterbitkannya UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam undang-undang ini disebukan bahwa penyelenggara Pemilihan Umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang, KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang, dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Masa kerja anggota KPU selama lima tahun sejak pengucapan sumpah janji.
Adapun anggota KPU RI periode 2012-2017 adalah Husni Kamil Manik, sebagai ketua dan anggotanya Hadar Nafis Gumay, Ida Budhiati, Arief Budiman, Fery Kurnia Rizkiansyah, Sigit Pamungkas dan Juri Ardiantoro. KPU periode ini menyelenggarakan Pemilu 2014, yakni pemilu legislatif yang digelar pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden dan  Wakil Presiden yang digelar pada 9 Juli 2014. Ada 12 partai politik yang ikut dalam pemilu tersebut dan empat partai politik lokal Aceh. Sementara peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dan akhirnya dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

3.2.  TUGAS DAN WEWENANG KPU
KPU sebagai penyelenggara Pemilu, mempunyai beberapa tugas dan wewenang yang sudah diatur dalam undang-undang No. 15 tahun 2011. Dan sebagai lembaga penyelenggara Negara, seperti dikutip dari laman KPU RI, KPU juga memiliki visi dan misi. Ada pun visinya adalah terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan misinya adalah membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;
1.      Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;
2.      Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif;
3.      Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.      Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.
Adapun tugas dan wewenang KPU dijelas pada bagian ketiga, pasal 8 UU No. 15 tahun 2011. Di mana dalam pasal tersebut dijelaskan secara tegas, tugas, wewenang dan kewajiban KPU. Kemudian untuk KPU Provinsi dijelaskan pada pasal 9 dan KPU Kabupaten/Kota pasal 10. Secara tugas dan kewenangan KPU dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota tidak berbeda jauh, hanya membedakan adalah tingkatnya saja. KPU juga bersifat hirarkis, sesuai dengan tingkatnnya. Apa yang menjadi keputusan KPU RI, wajib dilaksanakan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ada tiga utama KPU, yakni menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah. Masing-masing penyelenggaraan pemilu itu diatur dalam undang-undang tersendiri. Ada pun tugas, wewenang dan kewajiban KPU tertera dengan jelas pasal 8, yakni sebagai penyelenggara pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden serta pilkada.
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meliputi:
a.       merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;
b.      menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;
c.       menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
d.      mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu;
e.       menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi;
f.       memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
g.      menetapkan peserta Pemilu;
h.      menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
i.        membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
j.        menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya;
k.      menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota untuk setiap partai politik peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
l.        mengumumkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah terpilih dan membuat berita acaranya;
m.    menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;
n.      menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu;
o.      mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
p.      melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;
q.      menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
r.        melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan
s.       melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi:
a.       merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;
b.      menyusun dan menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;
c.       menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
d.      mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan;
e.       menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi;
f.       memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
g.      menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi persyaratan;
h.      menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
i.        membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
j.        menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya;
k.      mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita acaranya;

l.        menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;
m.    menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu;
n.      mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
o.      melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;
p.      menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
q.      melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan
r.        melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota meliputi:
a.       menyusun dan menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
b.      mengoordinasikan dan memantau tahapan pemilihan;
c.       melakukan evaluasi tahunan penyelenggaraan pemilihan;
d.      menerima laporan hasil pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e.       mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f.       melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KPU dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota berkewajiban:
a.       melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu;
b.      memperlakukan peserta Pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan gubernur dan bupati/walikota secara adil dan setara;
c.       menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat;
d.      melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.       mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh KPU dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
f.       mengelola barang inventaris KPU berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g.      menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Bawaslu;
h.      membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU yang ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU;
i.        menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Bawaslu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengucapan sumpah/janji pejabat;
j.        menyediakan data hasil Pemilu secara nasional;
k.      melaksanakan keputusan DKPP; dan
l.        melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas dan wewenang KPU Provinsi tidak berbeda jauh dengan tugas yang ada di KPU RI. Di pasal 9 dijelaskan secara terperinci apa saja yang menjadi tugas-tugas dan wewenang KPU Provinsi. Sedangkan di pasal 10 dijelaskan tentang tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota. Di pasal-pasal berikutnya, juga dijelaskan penyelenggara Pemilu di bawah KPU, yakni PPK, PPS dan KPPS, termasuk PPLN dan KPPSLN.
Selain KPU, dalam UU No. 15 tahun 2011 ini juga dijelaskan tugas dan wewenang Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota hingga Panwascam dan Panitia Pengawas Lapangan (PPL). Keberadaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga dijelaskan dalam UU ini secara rinci.

4. PENUTUP
KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu mempunyai posisi hukum yang jelas, bahkan disebutkan secara langsung dalam UUD 1945 yang telah diamandamen, yakni pasal 22E ayat 5. Dalam pasal itu Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kemudian keberadaan KPU sebagai penyelenggara Pemilu dipertegas lagi dengan UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.


DAFTAR PUSTAKA
-          Moh Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2014.
-          www.kpu.go.id
-          www.kpu-lomboktimurkab.go.id
-          UUD 1945
-          UU nomor 15 tahun 2011


[1] http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/8/PEMILU-1955/MzQz
[2] Moh Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 61-62.
[3] Moh Mahfud, Ibid, hlm 63.
[4] http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/8/PEMILU-1955/MzQz
[5] Moh Mahfud, Ibid, hlm 64.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hlm 137.
[9] http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1971/MzQz
[10] Moh Mahfud MD, Ibid, hlm 240.
[11] Ibid, hlm 249-250.
[12] Ibid, hlm 258-259.
[13] http://www.kpu-lomboktimurkab.go.id/index.php/profil/sejarah-kpu-di-indonesia
[14] http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1999

Komentar

Postingan Populer