KPU Sebagai Lembaga Penyelenggara Pemilu
1. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan Pemilu
di Indonesia mulai tahun 1955. Saat itu ada dua agenda pemilihan umum, yakni
memilih anggota DPR dan memilih anggota Konstituante. Puluhan partai politik
dan perseorangan terlibat dalam pemilu yang berlangsung demokratis tersebut.
Meskipun akhirnya keberadaan dewan hasil pemilu tersebut gagal, namun dari segi
penyelenggaraan dianggap berhasil, karena berlangsung secara demokratis. Pemilu
1955 merupakan satu-satunya pemilu pada masa pemerintahan Soekarno.
Pemilu selanjutnya baru
dilakukan pada awal-awal pemerintahan Soeharto, yakni tahun 1971. Pemilu 1971
ini diikuti 10 partai politik, termasuk Golkar. Kemudian pemilu kedua masa
Soeharto atau masa Orde Baru diselenggarakan lagi pada tahun 1977. Berlangsung
berturut-turut pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, dan pemilu 1997. Pemilu
1977 hingga 1997 ini hanya diikuti tiga peserta, yakni Golkar, PDI dan PPP. Ini
terkait dengan kebijakan pemerintah Soeharto, yang mewajibkan adanya fusi atau
penggabungan partai politik.
Setelah Soeharto
lengser pada 21 Mei 1998, digantikan oleh pemerintahan BJ Habibie. Habibie
menggelar Pemilu pada tahun 1999, yang diikuti oleh 48 partai politik. Pemilu
yang digelar pada 7 Juni 1999 itu merupakan pemilu pertama era reformasi, di
mana setiap individu dan kelompok diperbolehkan membentuk partai politik.
Pemilu 2004 ada yang
berbeda, selain memilih anggota DPR dan DPD juga ada pemilihan presiden dan
wakil presiden. Pemilu legislatif, yang memilih anggota DPR dan DPD digelar
pada 5 April 2004 dan pemilu presiden dan wakil presiden pada 5 Juli 2004.
Pemilu selanjutnya juga sama, yakni memilih DPRD dan DPD, serta pemilihan
presiden dan wakil presiden, yakni pemilu 2009 dan pemilu 2014. Sedangkan pada
pemilu 2019 yang akan datang, pemilu legislatif dan pemiu presiden dan wakil
presiden akan diserentakkan.
Dari 11 kali pemilu
yang diselenggarakan di Indonesia tersebut, selama ini yang disorot adalah pada
hasil pemilu itu sendiri. Sementara penyelenggara pemilu kurang mendapat
perhatian. Peran mereka sebagai penyelenggara jarang diekspose, padahal tanpa
mereka tidak mungkin pemilu itu bisa terselenggara dengan baik. Dengan
diterbitkan undang-undang tentang penyelenggara pemilu, yakni UU No 15 tahun
2011, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilihan umum
memiliki legalitas dan dasar hukum yang kuat.
Dalam perjalanan
sejarah penyelenggara pemilu memang
beragam, sebelum adanya undang-undang tentang penyelengga pemilu. Undang-undang
tersebut juga merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen
ketiga. Di mana dalam pasal 22E ayat (5) disebutkan Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.
2.
RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana disebutkan
dalam latar belakang masalah di atas, pemilu di Indonesia yang sudah
berlangsung 11 kali mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Mulai dari
hasilnya hingga penyelenggaranya. Karenanya, dalam tulisan ini ada beberapa
rumusan masalah terkait dengan posisi KPU sebagai penyelenggara pemilu.
1. Bagaimana
sejarah penyelenggara pemilu dan perkembangannya hingga saat ini?
2. Bagaimana
posisi penyelenggara pemilu dalam setiap penyelenggaraan pemilu tersebut?
3. Apa
saja tugas dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu?
3.
PEMBAHASAN
3.1.
SEJARAH PENYELENGGARA PEMILU
Indonesia patut
berbangga bahwa pelaksanaan pemilu terakhir, yakni pemilu 2014 berlangsung
lancer dan sukses, tanpa ada kendala. Bahkan dunia pun mengakui pelaksanaan
pemilu yang demokratis tersebut, karena dapat berlangsung secara serentak dalam
satu hari dan hasilnya pun langsung bisa diketahui. Siapa yang menjadi pemenang
pemilu, siapa saja calon anggota legislatif yang jadi, baik di pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota. Semua berlangsung lancar, tanpa ada kendala yang
berarti. Upaya-upaya kecurangan yang dilakukan penyelenggara pemilu sudah
sangat minimal.
Sistem perhitungan dan
pemungutan suara yang transparan menjadi salah satu kunci keberhasilan
penyelenggaraan pemilu 2014. Tentu juga tidak lepas dari faktor integritas dan
independensi para penyelenggara itu sendiri, baik di pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan hingga tingkat kelompok kerja
pemungutan suara (KPPS). Siapa yang melakukan kecurangan, pasti akan
terdeteksi, dan hasilnya pun bisa diperbaiki jika ditemukan bukti-bukti yang
kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Mereka, penyelenggara pemilu yang terbukti
melakukan kecurangan ada sanksi hukumnya, mulai dari teguran hingga pemecatan
dari jabatannya.
Berbeda dengan
pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya pemilu zaman Orde Baru, yang dianggap belum
demokratis. Di mana undang-undang yang dibentuk tentang pemilu, lebih cenderung
menguntungkan penguasa. Selain itu, juga adanya intimidasi dan pemaksaan dalam
pemilu-pemilu Orde Baru. Belum lagi adanya dugaan-dugaan kecurangan dalam
setiap pemilu Orde Baru, karena tidak ada pengawasan dan kebebasan memilih untuk
seluruh rakyatnya. Adanya dwifungsi ABRI, loyalitas PNS dan sebagainya, menjadi
salah satu faktor disebutnya pemilu-pemilu orde baru itu belum demokratis.
Berdasarkan sejarah,
pemilu pertama digelar pada tahun 1955. Ada dua pemilu, yang pertama,
pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15
Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Sebenarnya,
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah
menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun
1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden
Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan
partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih
anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. [1]
Menurut Mahfud MD, UUD
1954, Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menganut paham demokrasi sebagai salah satu
asasnya yang fundamental. Kendati tidak menyebutnya secara eksplisit tentang
pemilu, tetapi dapat dikatakan bahwa UUD tersebut memuat secara implisit ketentuan
adanya pemilu, sebab aparatur demokrasi yang harus dilembagakan menurut UUD
tersebut (seperti adanya MPR dan DPR) memang menuntut adanya lembaga pemilu. [2]
Di dalam konstitusi RIS
dan UUDS 1950 memuat tentang pemilu secara eksplisit. Konstitusi RIS memuat hal
tersebut dalam pasal 34, sedangkan UUDS 1950 memuatnya dalam pasal 35, pasal 57
dan pasal 135 (2) yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34 Konstitusi
RIS:
“Kemauan rakyat adalah
dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang
jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum
dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut
cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Pasal 35 UUDS 1950:
“Kemauan rakyat adalah
dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang
jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkin bersifat umum dan
berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara
yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Pasal 57 UUDS 1950:
“Anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dipilih dalam suatu pemilihan umum oleh warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat-syarat dan memenuhi aturan-aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 135 ayat (2) UUDS
1950):
“Anggota-anggota
konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dengan cara
yang bebas dan rahasia menurut aturan-aturan yang ditetapkan undang-undang.”[3]
Dalam perjalanannya, rencana
pembentukan partai-partai politik dan penyelenggaraan pemilu mengalami
hambatan, hingga baru terlaksana pada tahun 1955. Namun upaya-upaya untuk
menyelenggarakan pemilu sudah dilakukan oleh pemerintah waktu itu, baik melalui
program perdana menteri yang saat itu sering jatuh bangun, maupun penyusunan
undang-undang tentang pemilu. pemerintah punya keinginan politik untuk
menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948
tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang
Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan
dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung).[4]
Pada tahun 1946, di
Karesidenan Kediri sudah diselenggarakan pemilihan anggota Badan Perwakilan
Rakyat berdasarkan UU Karesidenan Kediri No. 22 dan No. 23 yang menggunakan
system bertingkat. Mula-mula rakyat memilih anggota dewan desa dalam jumlah
tertentu, kemudian para anggota dewan desa yang terpilih itu memilih anggota
Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kediri. Begitu pula di Karesidenan Surakarta
pada tahun 1946 telah diselenggarakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat
berdasarkan UU Karesidenan Surakarta No. 4 tahun 1946.[5]
Setelah keluarnya UU
No. 27 tahun 1948, pemilihan lokal telah teah dilaksanakan di beberapa daerah.
Di antaranya di Minahasa (1951), Sangir Talaud (1951), Kotamadya Makassar
(1952)dan DI Yogyakarta (1951). Pemilihan di Yogyakarta berdasarkan UU No. 7
tahun 1950 dan PP No. 36 tahun 1050 yang menggunakan sistem pemilihan
bertingkat. Keberadaan UU No. 27 tahun 1948 merupakan undang-undang pemilu
nasional, tetapi UU tersebut tidak dapat dilaksanakan di seluruh wilayah
Republik Indonesia karena revolusi kemerdekaan sedang berlangsung.[6] UU
No. 27 tahun 1948 sendiri akhirnya diperbarui dengan UU No.12 tahun 1949. Undang-undang
tersebut pun tidak dapat diberlakukan, karena Indonesia masih berlangsung
revolusi, dan terjadi pergantian-pergantian kabinet yang dipimpin perdana
menteri.
Pada tahun 1953, di
bawah pemerintahan Kabinet Wilopo, pemerintah kembali menerbitkan UU No. 7
tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. Namun Pemilu baru dapat berlangsung pada tahun 1955 di bawah
pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Dalam undang-undang tentang pemilihan
umum tersebut, juga diatur tentang penyelenggaranya, yakni Panitia Pemilihan
Indonesia. Seperti dalam UU No. 7 tahun 1953, ada lima tingkat kepanitiaan,
yakni Panitia Pemilihan Indonesia Tingkat Nasional, Panitian Pemilihan Tingkat
Daerah, Panitia Pemilihan Tingkat Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara Tingkat
Kecamatan, dan Panitia Pendaftaran Pemilih untuk tingkat Desa.[7] PPI
tersebut dibentuk berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4
Und. Tanggal 23 April 1953 dan nomor 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953.
Selanjutnya dalam
Pemilu tahun 1955 yang diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia hingga
Panitia Pendaftaran Pemilih di tingkat desa ini, dilakukan untuk dua lembaga yang
berbeda. Tanggal 29 September 1955 untuk memilih 272 anggota DPR dan tanggal 15
Desember 1955 untuk memilih 542 anggota Dewan Konstituante. Adapun peserta
lebih 30-an partai politik (parpol) dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan
calon perorangan.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
dicanangkan oleh Presiden Soekarno, menjadi awal dari system demokrasi
terpimpin, setelah sebelumnya demokrasi parlementer. Selama kurun waktu
1959-1965 Presiden Soekarno dengan sistem demokrasi terpimpinnya menjelma
menjadi seorang pemimpin yang otoriter. [8]
Tidak ada pemilu selama demokrasi terpimpin tersebut, karena RUU Pemilu
tersebut tidak pernah tuntas untuk dibahas. Hingga akhirnya Soekarno jatuh dan
kekuasaan diambil alih oleh Soeharto, dan bergantilah Orde Lama menjadi Orde
Baru.
Ketika Soeharto berkuasa pun,
setelah resmi dilantik menjadi Presiden RI kedua, yakni pada 1967 oleh MPRS, Soeharto
tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan
transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu
bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967,
oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971. [9]
Sesuai dengan TAP MPRS tersebut, pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas dan
rahasia (harus) dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968. Selanjutnya
MPRS mengeluarkan ketetapan No. XLII/MPRS/1968 yang berisi penundaan pemilu
menjadi selambat-lambatnya 5 Juli 1971.[10]
Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan
pada tanggal 5 Juli 1971, empat tahun Soeharto memegang kekuasaan.
Undang-undang yang dijadikan dasar penyelenggaran Pemilu 1971 adalah UU No. 15
tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR
dan DPRD. Ada 10 partai politik sebagai peserta Pemilu 1971, termasuk Golongan
Karya (Golkar) yang dijadikan alat kekuasaan dan kendaraan Presiden Soeharto.
Adapun sebagai penyelenggara Pemilu 1971 adalah Lembaga Pemilihan Umum (LPU)
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 1970. LPU diketuai
oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaanya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan
Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Ada pun struktur organisasi LPU di
tingkat pusat disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di tingkat provinsi
disebut Panitia Pemilihan Daerah tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya
disebut Panitia Pemilihan Daerah tingkat II (PPD II), di kecamatan disebut
Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia
Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan
suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk
melaksanakan pemungutan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN) dan Kelompok Penyenggara
Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Lembaga penyelenggara pemilu ini
bertahan sejak Pemilu 1971 hingga pemilu 1997.
Ketua panitia untuk semua tingkatan
adalah pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk PPI, Gubernur ketua PPD I,
Bupati untuk PPD II, Camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk
PPP/Pantarlih. Kenggota LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan
peraturan pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya.[11]
Adapun dasar dari pelaksanaan Pemilu
selama Orde Baru berkuasa, ada beberapa perubahan. Pemilu 1971, UU yang
dijadikan dasar adalah UU No. 15 tahun 1969, Pemilu 1977 adalah UU No. 14 tahun
1975, Pemilu 1982 adalah UU No. 2 tahun 1980, Pemilu 1987 menggunakan dasar UU
No. 1 tahun 1985. Dari tiga perubahan undang-undang tersebut, tidak ada satu
perubahan prinsip yang menyangkut system pemilu, sehingga secara umum tidak ada
perubahan karakter terhadap hokum mengenai pemilu. Artinya, pada umumnya
perubahan-perubahannya hanya bersifat redaksional atau semantik.[12]
Ketika Presiden Soeharto
lengser pada 21 Mei 1998, dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie, langsung
diputuskan digelar Pemilu pada tahun 1999. Yakni dengan dikeluarkannya UU No. 3
tahun 1999 tentang Penyelanggara Pemilu. Dalam undang-undang itu disebutkan
bahwa penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada pasal 8
ayat 2 dikatakan penyelenggaran Pemilihan Umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsure partai-partai politik
peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU pertama
(1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang
anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik
Presiden BJ Habibie.[13]
Sedangkan peserta Pemilu 1999 adalah
48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang
ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Sebagai
pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan
perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen
sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997.
PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan
11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31
kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen,
mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni
PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau
kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.[14]
3.2.
KPU SEBAGAI PENYELENGGARA PEMILU
Keberadaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu sudah jelas, sesuai dengan UUD
1945, seperti disebutkan dalam Bab VIIB pasal 22E, yang merupakan UUD hasil
amandemen ketiga, yang dilakukan tahun 2001. Di mana pasal tersebut menyebutkan
tentang pemilihan umum. Ada enam ayat yang khusus membahas masalah pemilihan
umum, yakni sebagai berikut:
1)
Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
2)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3)
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik.
4)
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
5)
Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan
umum diatur dengan undang-undang.
Dari pasal tersebut, selanjutnya dibentuklah
undang-undang yang khusus mengatur tentang pemilu dan penyelanggara pemilu. Namun
sebelum amandemen ketiga UUD 1945, sudah ada UU No. 3 tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum. Undang-undang itu menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 1999. Di
mana dalam pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas
unsur partai-partai politik peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang
bertanggung jawab kepada Presiden.
Anggota KPU pertama (1999-2001) ini dibentuk
dengan Keppres No 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur
pemerintah dan Partai Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie, dengan
Menteri Dalam Negeri sebagai Ketua KPU. Dan selanjutnya menyelenggarakan pemilu
pada 7 Juni 1999. Sebagai penyelenggara dari Pemilu 1999, dibentuklah Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI) di tingkat nasional, PPD I di tingkat provinsi dan
PPD II di tingkat kabupaten/kotamadya.
Pemilu 2004 berdasarkan UU No. 4 tahun 2000 tentang Perubahan UU No 3 tahun
1999 tentang Pemilihan Umum yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid pada
7 Juni tahun 2000. Di mana dalam undang-undang itu, keberadaan KPU sebagai
penyelenggara pemilu semkin dipertegas. Seperti disebutkan pada pasal 8 ayat (2) Penyelenggaraan Pemilihan
Umum dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen dan non-partisan.
Kemudian pada pasal 9 juga dijelaskan tentang keanggotaan KPU dan
persyaratannya. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10
Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM. KPU kedua
dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Sebagai anggota KPU periode 2001-2007 adalah Dr Nazaruddin Sjamsuddin MA,
yang juga sebagai ketua KPU, kemudian Prof. Ramlan Surbakti, Mulyana W Kusumah,
Daan Dimara, Rusadi Kantaprawira, Imam B. Prasodjo, Anas Urbaningrum, Chusnul
Mar’iyah, FX Mudji Sutrisno, Hamid Awaludin, Boncu Sallahudin dan Valina Singka
Subekti. Merekalah yang menyelenggarakan Pemilu 2004, yang diikuti 24 partai
politik, yang dilaksanakan pada 5 April 2004.
Pemilu 2004 juga menjadi pemilu pertama bagi pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang digelar pada
5 Juli 2004 ini diikuti 5 pasang calon presiden dan wakil presiden, yakni
pasangan SBY-JK, Mega-Hasyim, Wiranto-Sholahudin, Amien Rais-Siswono, dan
Hamzah-Agum. Kemudian digelar putaran kedua, yang diikuti pasangan SBY-JK dan
Mega Hasyim, yang akhirnya dimenangkan pasangan SBY-JK.
Selanjutnya dalam pelaksanaan Pemilu 2009 yang menjadi dasar
penyelenggaraan adalah UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyenggara Pemilihan Umum.
Undang-undang ini menjadi dasar dari keberadaan KPU sebagai penyelenggara
pemilu. Selain itu juga disebutkan keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dan Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc. Anggota KPU ketiga (2007-2012)
dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan tujuh orang anggota
yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat
dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik
Presiden karena masalah hukum. Ketujuh anggota KPU tersebut adalah Abdul Hafiz Anshari, Sri Nuryanti, Endang Sulastri,
I Gusti Putu Artha, Syamsul Bahri, Andi Nur Pati, dan Abdul Aziz. Sedangkan
yang didaulat sebagai ketua adalah Abdul Hafiz Anshari.
Pemilu 2009 sendiri
diikuti 44 partai politik, termasuk enam partai politik lokal Aceh.
Diselenggarakan pada 9 April 2009. Sedangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
diselenggarakan pada 9 Juli 2009. Ada tiga pasangan calon yang maju saat itu,
yakni Mega-Prabowo, SBY-Budhiono, dan JK-Win. SBY-Budhiono memenangi Pilpres
tersebut hanya dengan satu putaran saja.
Selanjutnya, undang-undang
tentang penyelenggara Pemilu diperbarui lagi dengan diterbitkannya UU No. 15
tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam undang-undang ini
disebukan bahwa penyelenggara Pemilihan Umum adalah Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa jumlah
anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang, KPU Provinsi
sebanyak 5 (lima) orang, dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Masa
kerja anggota KPU selama lima tahun sejak pengucapan sumpah janji.
Adapun anggota KPU RI periode 2012-2017
adalah Husni Kamil Manik, sebagai ketua dan anggotanya Hadar Nafis Gumay, Ida
Budhiati, Arief Budiman, Fery Kurnia Rizkiansyah, Sigit Pamungkas dan Juri
Ardiantoro. KPU periode ini menyelenggarakan Pemilu 2014, yakni pemilu legislatif
yang digelar pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang digelar pada 9 Juli 2014. Ada
12 partai politik yang ikut dalam pemilu tersebut dan empat partai politik
lokal Aceh. Sementara peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dan
akhirnya dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
3.2. TUGAS DAN WEWENANG KPU
KPU
sebagai penyelenggara Pemilu, mempunyai beberapa tugas dan wewenang yang sudah
diatur dalam undang-undang No. 15 tahun 2011. Dan sebagai lembaga penyelenggara
Negara, seperti dikutip dari laman KPU RI, KPU juga memiliki visi dan misi. Ada
pun visinya adalah terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan
akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan misinya adalah membangun
lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan
kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;
1.
Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan
beradab;
2.
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang bersih, efisien dan efektif;
3.
Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan
Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara
konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk
berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat
Indonesia yang demokratis.
Adapun tugas dan wewenang KPU
dijelas pada bagian ketiga, pasal 8 UU No. 15 tahun 2011. Di mana dalam pasal
tersebut dijelaskan secara tegas, tugas, wewenang dan kewajiban KPU. Kemudian
untuk KPU Provinsi dijelaskan pada pasal 9 dan KPU Kabupaten/Kota pasal 10.
Secara tugas dan kewenangan KPU dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota tidak
berbeda jauh, hanya membedakan adalah tingkatnya saja. KPU juga bersifat
hirarkis, sesuai dengan tingkatnnya. Apa yang menjadi keputusan KPU RI, wajib
dilaksanakan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Ada tiga utama KPU, yakni
menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden,
serta pemilihan kepala daerah. Masing-masing penyelenggaraan pemilu itu diatur dalam undang-undang tersendiri. Ada pun tugas, wewenang dan kewajiban KPU tertera dengan jelas pasal 8, yakni
sebagai penyelenggara pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden
serta pilkada.
Tugas
dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah meliputi:
a.
merencanakan program dan
anggaran serta menetapkan jadwal;
b.
menyusun dan menetapkan tata
kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;
c.
menyusun dan menetapkan
pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu
berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
d.
mengoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan Pemilu;
e.
menerima daftar pemilih dari
KPU Provinsi;
f.
memutakhirkan data pemilih
berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah
dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
g.
menetapkan peserta Pemilu;
h.
menetapkan dan mengumumkan
hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU
Provinsi untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan membuat berita
acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
i.
membuat berita acara
penghitungan suara dan sertifikat penghitungan suara serta wajib menyerahkannya
kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
j.
menerbitkan keputusan KPU
untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya;
k.
menetapkan dan mengumumkan
perolehan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota untuk setiap
partai politik peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
l.
mengumumkan calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah terpilih dan membuat berita
acaranya;
m. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan;
n.
menindaklanjuti dengan
segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran
Pemilu;
o.
mengenakan sanksi administratif
dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota PPLN, anggota
KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU yang
terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Bawaslu
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
p.
melaksanakan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU
kepada masyarakat;
q.
menetapkan kantor akuntan
publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana
kampanye;
r.
melakukan evaluasi dan
membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan
s.
melaksanakan tugas dan
wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan tugas dan wewenang KPU dalam
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden meliputi:
a.
merencanakan program dan
anggaran serta menetapkan jadwal;
b.
menyusun dan menetapkan tata
kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;
c.
menyusun dan menetapkan
pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilu setelah terlebih dahulu
berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
d.
mengoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan;
e.
menerima daftar pemilih dari
KPU Provinsi;
f.
memutakhirkan data pemilih
berdasarkan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah
dengan memperhatikan data Pemilu dan/atau pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota terakhir dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
g.
menetapkan pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden yang telah memenuhi persyaratan;
h.
menetapkan dan mengumumkan
hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan hasil rekapitulasi
penghitungan suara di KPU Provinsi dengan membuat berita acara penghitungan
suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
i.
membuat berita acara
penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib
menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu dan Bawaslu;
j.
menerbitkan keputusan KPU
untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya;
k.
mengumumkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden terpilih dan membuat berita acaranya;
l.
menetapkan standar serta
kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;
m. menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan
laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu;
n.
mengenakan sanksi
administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota
PPLN, anggota KPPSLN, Sekretaris Jenderal KPU, dan pegawai Sekretariat Jenderal
KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan;
o.
melaksanakan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU
kepada masyarakat;
p.
menetapkan kantor akuntan
publik untuk mengaudit dana kampanye dan mengumumkan laporan sumbangan dana
kampanye;
q.
melakukan evaluasi dan
membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu; dan
r.
melaksanakan tugas dan
wewenang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota meliputi:
a.
menyusun dan menetapkan
pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah terlebih dahulu
berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah;
b.
mengoordinasikan dan
memantau tahapan pemilihan;
c.
melakukan evaluasi tahunan
penyelenggaraan pemilihan;
d.
menerima laporan hasil
pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e.
mengenakan sanksi
administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi yang
terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan pemilihan berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
f.
melaksanakan tugas dan
wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KPU dalam Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota berkewajiban:
a.
melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilu secara tepat waktu;
b.
memperlakukan peserta
Pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan gubernur dan
bupati/walikota secara adil dan setara;
c.
menyampaikan semua informasi
penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat;
d.
melaporkan
pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e.
mengelola, memelihara, dan
merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal
retensi arsip yang disusun oleh KPU dan Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI);
f.
mengelola barang inventaris
KPU berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g.
menyampaikan laporan
periodik mengenai tahapan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat dengan tembusan kepada Bawaslu;
h.
membuat berita acara pada
setiap rapat pleno KPU yang ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU;
i.
menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
tembusan kepada Bawaslu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengucapan
sumpah/janji pejabat;
j.
menyediakan data hasil
Pemilu secara nasional;
k.
melaksanakan keputusan DKPP;
dan
l.
melaksanakan kewajiban lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas dan wewenang KPU Provinsi tidak
berbeda jauh dengan tugas yang ada di KPU RI. Di pasal 9 dijelaskan secara
terperinci apa saja yang menjadi tugas-tugas dan wewenang KPU Provinsi.
Sedangkan di pasal 10 dijelaskan tentang tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota.
Di pasal-pasal berikutnya, juga dijelaskan penyelenggara Pemilu di bawah KPU,
yakni PPK, PPS dan KPPS, termasuk PPLN dan KPPSLN.
Selain KPU, dalam UU No. 15 tahun 2011
ini juga dijelaskan tugas dan wewenang Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota hingga Panwascam dan Panitia Pengawas Lapangan (PPL). Keberadaan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga dijelaskan dalam UU ini
secara rinci.
4. PENUTUP
KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu
mempunyai posisi hukum yang jelas, bahkan disebutkan secara langsung dalam UUD
1945 yang telah diamandamen, yakni pasal 22E ayat 5. Dalam pasal itu Pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap, dan mandiri. Kemudian keberadaan KPU sebagai penyelenggara Pemilu
dipertegas lagi dengan UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum.
DAFTAR PUSTAKA
-
Moh Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Rajawali Pers, 2014.
-
UUD
1945
-
UU
nomor 15 tahun 2011
[2] Moh Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm
61-62.
[3]
Moh Mahfud, Ibid, hlm 63.
[4]
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/8/PEMILU-1955/MzQz
[5] Moh
Mahfud, Ibid, hlm 64.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid, hlm 137.
[9]
http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1971/MzQz
[10]
Moh Mahfud MD, Ibid, hlm 240.
[11] Ibid, hlm 249-250.
[12] Ibid, hlm 258-259.
[13] http://www.kpu-lomboktimurkab.go.id/index.php/profil/sejarah-kpu-di-indonesia
[14] http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2016/9/PEMILU-1999
Komentar
Posting Komentar