Sejarah Hukum Pers di Indonesia
1.
LATAR BELAKANG
Pers atau media massa menjadi salah
satu pilar demokrasi, dari tiga pilar demokrasi yang sudah ada, yakni
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers menjadi penyeimbang dan alat kontrol
bagi jalannya pemerintahan maupun sosial kemasyarakatan. Pers seolah-olah
menjadi pisau yang tajam untuk membedah suatu kasus yang muncul di
tengah-tengah masyarakat maupun di lingkup pemerintahan. Segala jenis informasi
mencuat melalui media massa, baik cetak, eletronik maupun online. Kemajuan
teknologi menjadikan informasi sampai ke tangan masyarakat dalam hitungan detik
saja.
Pengakuan
pers sebagai pilar keempat demokrasi ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 1608K/PID/2005 tertanggal 9 Februari 2006, dalam pertimbangan hukumnya
secara filosofis, berdasarkan pada pasal 3,4 dan 6 UU No 40 tahun 1999, posisi
pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar keemapat dalam Negara demokrasi
meskipun Undang-Undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap
kebebasan pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang
tersebut dan diberlakukannya ketentuan KUHP.[1]
Pers telah banyak melakukan peran
penting di Indonesia, terlebih setelah reformasi 1998. Dengan diterbitkannya
Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, menjadi awal dari kebebasan
pers di Indonesia hingga sekarang. Jumlah media massa yang muncul pun mencapai
ratusan bahkan mungkin ribuan. Mulai dari yang bersifat nasional, regional, lokal,
hingga komunitas tertentu. Bahkan dengan kemajuan zaman, saat ini media online
sudah tidak terhitung lagi. Media semakin berkembang, informasi dari segala
penjuru dengan cepat menyebar dalam hitungan detik dan tersebar cepat dengan
bantuan media sosial yang ada, seperti facebook, twitter, instagram, dan
lainnya. Seperti disampaikan Jakob Oetama, salah seorang tokoh pers Indonesia,
bahwa kebebasan pers sebagai prinsip kini telah diakui, bahkan dituangkan dalam
undang-undang. Menurutnya, hal itu barulah pangkal tolak dan kerangka
referensi, selanjutnya pergulatan akan berlanjut, baik dengan pemerintah maupun
masyarakat serta beragam kepentingan. Masyarakat pers dan publik di luar media,
mengingatkan dan mendesak agar pers dan media massa umumnya pandai-pandai
menggunakan kebebasannya.[2]
Dengan terbitnya undang-undang pers
ini, kebebasan pers di Indonesia pasca reformasi mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Bahkan ada yang bilang pers Indonesia sudah kebablasan, karena
siapa saja bisa membuat media, tanpa harus melalui prosedur yang berbelit dan
perijinan yang ketat. Materi dan isinya pun bermacam-macam, sesuai dengan
segmen pembaca yang ditujunya. Ada yang berisi khusus politik, bisnis, mistik,
hingga media yang menjurus ke pornografi. Tidak ada istilah sensor dan breidel
bagi media massa saat itu. Pemerintah tidak mempunyai akses untuk mengontrol
materi dan isi berita setiap media massa yang terbit. Bahkan media milik
pemerintah sendiri, seperti TVRI dan RRI hampir kehilangan pemirsa dan
pendengarnya. Kalah dengan media-media baru yang didirikan oleh swasta, bahkan
pemilik asing sekalipun karena kalah dalam isi pemberitaannya.
Peran
pers dengan fungsinya dan jenisnya tersebut telah melalui perjalanan panjang
yang berliku dan penuh dengan tantangan. Pers, baik yang berupa media cetak,
televisi, radio dan online, tidak langsung muncul begitu saja, ada proses dan
sejarah yang dilalui, hingga media massa atau pers ini menjadi salah satu pilar
demokrasi. Tentu dalam perkembangan sejarahnya, pers ini mengalami pasang
surut. Sangat tergantung siapa yang berkuasa saat itu dan ideologi apa yang
dianutnya. Sangat panjang sejarah pers itu sendiri, mulai dari sejarah awal
pers, hingga perkembangan pers masa kini dan masa depan dan
kemungkinan-kemungkinan apa yang bakal terjadi di tengah kemajuan teknologi.
Termasuk
di Indonesia saat ini, dengan sejarah perkembangannya sejak jaman kolonial,
masa kemerdekaan dan hingga pasca kemerdekaan dan sekarang ini. Sejak
proklamasi kemerdekaan, tentu ada aturan-aturan hukum yang mengatur keberadaan
pers tersebut. Bagaimana perkembangan dan apa saja perbedaannya antara
awal-awal kemerdekaan di jaman Soekarno atau Orde Lama, hingga jaman Soeharto
yang dikenal dengan Orde Baru dan pasca reformasi tahun 1998. Pers Indonesia mengalami
pasang surut, sesuai dengan dasar hokum dan peraturan yang dibuat oleh
penguasanya.
2. RUMUSAN MASALAH
Dengan
latar belakang masalah tersebut, dapat diambil beberapa rumusan masalah untuk
menjelaskan sejarah hukum pers di Indonesia. Rumusan masalah itu adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana sejarah pers secara umum dan sejarah pers di Indonesia?
2.
Dasar hukum apa saja yang menjadi landasan berdirinya pers di Indonesia?
3.
Mungkinkah membuat hukum pers di Indonesia yang lebih ideal di masa depan?
3. PEMBAHASAN
3.1. SEJARAH PERS
Pers merupakan salah satu istilah
yang ada dalam dunia media massa. Selain pers, juga ada istilah jurnalistik.
Menurut Asep Saeful Muhtadi, istilah pers lahir dari bahasa Belanda. Dalam
bahasa bahasa Inggris, pers berarti press yang berarti mencetak. Dalam
pengertian yang lebih operasional, pers berarti publikasi atau pemberitahuan
secara tercetak. [3]
Namun dalam perkembangannya, istilah pers tidak hanya merujuk pada media massa
cetak saja, tetapi semua jenis media massa yang ada, baik cetak, elektronik dan
media online. Menurut Muhtadi, pada tataran praktis, istilah pers memiliki
pengertian yang lebih luas, mencakup seluruh jenis media massa.[4]
Selain
istilah pers, juga ada istilah jurnalistik. Istilah ini bersumber dari bahsa
Belanda, journalistiek. Dalam bahasa
Inggris juga ada istilah journalistic
atau journalism, yang artinya harian
atau setiap hari. Menurut Onong U. Effendi (1986.96), jurnalistik merupakan
ketrampilan atau kegiatan mengolah bahan berita, mulai dari peliputan sampai
kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.[5]
Istilah jurnalistik juga ada yang menyebutnya berasal dari bahasa Perancis
yakni kata du jour atau journal, yang artinya hari atau catatan harian. Secara
umum dapat dijelaskan bahwa pers merupakan sarana untuk menyebarkan hasil
olahan jurnalistik. Pers lebih bersifat teknis, sebagai saluran dari produk
jurnalistik.[6]
Dari
istilah-istilah pers dan jurnalistik tersebut, dapat disimpulkan bahwa
asal-usulnya berasal dari Eropa. Pada awalnya, pers pertama yang muncul di
Eropa tersebut berupa selebaran-selebaran yang dicetak banyak dan ditempelkan
di tempat-tempat umum. Fenomena itu muncul pada masa awal revolusi Perancis.
Sejumlah kelompok anti monarki menggalang dukungan masyarakat melalui selebaran
propaganda yang sudah dicetak oleh mesin cetak yang saat itu sudah ditemukan
sekitar abad 14. Berawal dari berita-berita yang ditulis dalam selebaran
itulah, muncul istilah pers di belahan Eropa dan menjadi cikal bakal pers di
dunia.
Namun
menurut Maskun Iskandar, mengutip Leslie G. Moeller dari Universitas Iowa,
Amerika Serikat, dalam tulisannya di ensiklopedi The New Book of Knowledge, bahwa cikal bakal jurnalistik berasal
dari jaman Kaisar Amenhotep III (1405-1367 SM). Di mana kaisar yang naik tahta
pada usia 15 tahun tersebut mengutus ratusan “wartawan” membawa “surat berita”
untuk seluruh pejabat ke semua provinsi. Meskipun dalam ensiklopedi itu tidak
dijelaskan alas an kenapa perbuatan Kaisar Amenhotep III itu dianggap sebagai
cikal-bakal jurnalistik. Akan tetapi mungkin karena ada berita tertulis yang
disampaikan oleh utusan raja kepada para pejabat di seluruh negeri. Jadi ada
kesamaan profesi dengan wartawan sekarang ini.[7]
Munculnya
surat kabar-surat kabar di Eropa itu tidak lepas dari penemuan mesin cetak
pertama, yakni tahun 1456, yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg, yang
digunakan untuk mencetak Bible dan buku-buku etakan lainnya. Sedangkan surat
kabar pertama yang muncul adalah Mercurius
Gallobelgicus dalam bahasa Latin tahun 1594 di Cologne (sekarang Jerman).
Di Inggris, surat kabar yang pertama terbit adalah The Oxford Gazette tahun 1665 dan di Amerika adalah Benjamin Harris’s Publick tahun 1690.[8]
Sementara
sejarah pers di Indonesia juga tidak luput dari pers di belahan Eropa, yakni
dibawa kaum kolonial Belanda. Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen
(1587-1629) memprakarsai penerbitan newsletter
yang dinamakan Memorie der Nouvelles
pada tahun 1615. Ini adalah surat yang ditulis tangan berisi berita-berita dari
Netherland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat VOC sampai yang
tinggal jauh di Ambon.[9]
Surat kabar di Indonesia untuk pertama kalinya berdiri
pada tahun 1744 di Jakarta, yakni Bataviashce
Nouvelles en Politique (Berita dan Penalaran Politik Batavia).[10] Pada
tahun 1776 terbit surat kabar Vendu Niews,
dikelola orang-orang Belanda dan
ditujukan untuk pembaca orang Belanda dan pribumi yang mengerti bahasa Belanda.
Isi dari surat kabar tersebut tentu saja bernafaskan suara pemerintahan
kolonial Belanda. Pada tahun 1854 terbit majalah Bianglala, disusul tahun 1856
terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di
Surabaya dan surat kabar tersebut ditujukan untuk pembaca pribumi. Pada abad
ke-20, terbitan surat kabar pertama di Bandung milik bangsa Indonesia yang
bernama Medan Prijaji, yang dikelola Tirto Hadisurjo atau Raden Mas Djokomono.
Untuk selanjutnya, Tirto Hadisurjo dianggap sebagai pelopor dasar-dasar jurnalistik modern
Indonesia.[11]
Berdasarkan data yang dihimpun Warief Djajanto
Basorie, beberapa koran yang terbit di awal-awal sejarah pers di
Indonesia adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen, yang terbit 7
Agustus 1744 dan ditutup pada tahun 1746 oleh VOC. Pada tahun 1851 ada De Locomotief di Semarang. 1852 Java Bode di Jakarta, 1855 Bromartani di Surakarta yang berbahasa
Jawa. Kemudian Soerat Kabar Bahasa
Melaijoe pada 1856 di Surabaya, 1902 Bintang
Hindia di Amsterdam, pada 1907 Medan
Prijaji di Bandung, 1937 LKBN Antara didirikan, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta pada tahun 1945, dan Merdeka di Jakarta pada tahun 1945.[12]
Dalam
kajian Islam, juga sebenarnya sudah ada ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW, baik yang ada di dalam Al Quran maupun Al Hadits, sudah ada
kaidah-kaidah jurnalistik kepada umatnya. Seperti dikutip Faris Khoirul Anam
dalam bukunya Fikih Jurnalistik, Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam, dia
mengutip Surat Al Hujurat ayat 6 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[13]
Dalam
bahasa Indonesia sendiri, istilah pers diartikan sebagai surat kabar. Sedangkan
istilah surat kabar sendiri merupakan serapan dari bahwa Arab, akhbar atau
khobar. Sementara peran Nabi Muhammad saat itu juga membawa misi menyampaikan
kabar dari Tuhannya, yakni melalui Al Quran dan Al Hadits. Kalau mau dikaitkan
istilah surat kabar atau pers dengan masa kenabian, maka sebenarnya pers ini
sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad, bahkan nabi-nabi sebelumnya yang mendapat
wahyu Tuhan melalui kitab-kitanya. Seperti Nabi Musa dengan kitab Tauratnya, Nabi
Daud dengan kitab Zaburnya, Nabi Isa dengan kitab Injilnya dan Nabi Muhammad
dengan Al Qurannya.
3.2. HUKUM PERS DI INDONESIA
Dasar hukum penerbitan pers di
Indonesia saat ini adalah Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Undang-undang yang ditandatangani presiden BJ Habibie pada 23 September 1999
ini berisi 10 bab dan 21 pasal. UU No 40 tahun 1999 ini merupakan pengganti
dari UU No 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun
1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1967. UU No 21 tahun 1982 ini ditandatangani oleh
Presiden Soeharto pada 20 September 1982. Sedangkan UU No 11 tahun 1966, yang
berisi 21 pasal ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12
Desember 1966.
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar
1945, pada pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang” ini menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan kemerdekaan pers.
Seperti tercatat dalam dictum menimbang UU No 40 tahun 1999, bahwa kemerdekaan
pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat
penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Dalam persfektif sejarah, pengakuan
dan perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah
dimulai sejak deklarasi Magna Charta (1215). Terkait bidang pers, secara
eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia
Bill of Right, 15 Mei 1776 tentang Kemerdekaan Persuratkabaran, yang
kemudian dimasukkan ke dalam konstitusi Amereka Serikat (1787). Pada tahun
1789, Piagam Virginia itu diadopsi pula oleh Perancis menjadi Declaration de droits de l’homme et du
citoyen.[14]
Perjalanan pers di Indonesia sendiri
tidak hanya terpaku pada undang-undang yang mengatur tentang pers saja. Artinya
tidak tergantung pada keberadaan undang-undang yang menjadi dasar penerbitan
pers. Tetapi keberadaan pers telah berjalan seiring perjalanan sejarah itu
sendiri. Awal-awal kemunculan media massa atau surat kabar di Eropa pun mungkin
belum diatur secara khusus oleh undang-undang tentang pers. Namun dalam
perjalanannya sampai sekarang, masing-masing negara telah memiliki udang-undang
atau peraturan yang mengatur tentang pers, termasuk di Indonesia.
Pada awal-awal perjalanan pers di
Indonesia, yakni pada massa penjajahan Belanda, maka hukum yang dipakai adalah Wetboek van Straftrecht atau Buku Hukum Siksa Hindia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya hukuman bagi para pejuang pers saat itu. Seperti yang
dialami Mas Arga pemimpin redaksi, Hoofdredacteur
Pertja Selatan di Palembang pada tahun 1927. Mas Arga terjerat dua delik
pers karena mengkritik keras pemerintah colonial Belanda. Ia menurunkan
artikel-artikel tentang pemberontakan komunis tahun 1926-1927. [15]
Selain itu, koresponden daerah Uluan
untuk Pertja Selatan, M. Noer juga dijerat pasal 153 bis dan ter dalam Buku Hukum Siksa Hindia atau Wetboek van Straftrecht. Sebuah artikel
yang berjudul “B.B. Matjan” yang terbit pada tanggal 20 Juli 1932 dianggap
telah menyinggung tindakan sewenang-wenang anggota Binnelandsch Bestuur (BB) daerah Muara Dua Palembang. Ia diajukan
ke muka siding Landraad dan dihukum
dua bulan penjara.[16]
Selain itu, salah seorang redaktur
Pertja Selatan, Paman Lengser, nama samaran Nungtjik, juga berkali-kali
diperiksa Dinas Intelijen Belanda (PID). Dia dianggap membangkitkan perlawanan
rakyat karena membuat resensi buku tentang perang, yang dianggap bacaan liar,
terlarang. Pada tahun 1938, Nungtjik juga diperiksa polisi kolonial Belanda,
karena dianggap mencemarkan nama baik Tan Sio Sak, seorang reserse staatpolitie Palembang. Dia dihadapkan
ke Landraad dan diajtuhi hukuman
denda sebesar Rp 25.[17]
Selain kasus-kasus tersebut, juga
banyak terjadi pada surat kabar-surat kabar lainnya. Banyak di antara para
pejuang pers itu yang masuk penjara dan akhirnya surat kabarnya tutup dan tidak
terbit lagi. Di mana sebagian besar surat kabar yang diterbitkan pribumi itu
adalah surat kabar perjuangan untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Pada tahun
1945 misalnya, terbit Koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di
Jakarta. Koran-koran tersebut menyampaikan berita seputar perjuangan merebut
kemerdekaan hingga berita proklamasi kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda sangat
mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Karena itu
mereka memandang perlu membuat undang-undang untuk membendung pengaruh pers
Indonesia, karena merupakan momok yang harus diperangi. Menurut Suruhum,
pemerintah kolonial Belanda selain mengeluarkan Wetboek van Straftrecht (KUHP), juga mengeluarkan aturan yang
bernama Persbreidel Ordonantie, yang
memberikan hak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghentikan penerbitan
surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Pemerintah
kolonial Belanda juga mengeluarkan peraturan yang bernama Haatzai Artekelen, yaitu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman
terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan
terhadap pemerintah Netherland dan Hindia Belanda, serta terhadap sejumlah
kelompok penduduk Hindia Belanda.[18]
Pada masa-masa awal kemerdekaan,
selain Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Merdeka di Jakarta, juga muncul
media lainnya seperti Waspada di medan pada 1947, Pedoman di Jakarta pada 1948,
Indonesia Raya di Jakarta pada 1949, Suara Merdeka di Semarang pada 1950. Pada
tahun antara 1950-1959 banyak muncul media partisan, yang didirikan
partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1958 Indonesia Raya diberedel dan
Pemimpin Redaksinya masuk-keluar tahanan sejak 1956. Pada tahun 1965, Harian
Rakyat dan 46 koran yang berhaluan kiri diberedel Angkatan Darat.[19]
Pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto, yang sudah bebas dari koran yang berideologi kiri, masih saja, bahkan
semakin banyak koran yang diberedel, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4
tahun 1967, yang kemudian diubah lagi menjadi Undang-Undang Nomor 21 tahun
1982. Pada tahun 1974 Soeharto mencabut Surat Izin Terbit (SIT) 11 penerbitan
Koran, di antaranya Indonesia Raya,
Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami, The Jakarta Times. Kemudian pada 1978
Presiden Soeharto juga menutup sementara 7 koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, Pelita. Pada 1994 Soeharto mencabut
SIUPP majalah Tempo.
Pasca
lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, kebebasan pers kembali
diberikan. Yakni dengan diterbitkannya UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Adanya
sensor oleh pemerintah dihabpus, dan perizinan ditiadakan bagi pers cetak.
Pada
era hukum pers yang mengacu pada UU no 40 tahun 1999 ini, sejumlah kasus hokum
terjadi di Indonesia. Beberapa kasus hokum itu dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu, termasuk mantan Presiden Soeharto yang menggugat majalah Time dari Amerika Serikat. Pun
kasus-kasus lain yang menimpa sejumlah media massa, baik nasional, regional
maupun lokal. Hingga saat ini, hampir semua keputusan hakim mengacu pada UU No
40 tahun 1999 terkait gugatan yang diajukan kepada media massa. Di mana
sebagian besar media massa yang telah menjalankan kode etik jurnalistik dan
mematuhi UU No 40 tahun 1999 ini memenangkan gugatan.
Sebelum
gugatan di pengadilan dilakukan pihak-pihak tertentu, gugatan atau pun
pengaduan dapat disampaikan kepada Dewan Pers, seperti yang tertuang dalam
pasal 15 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Di mana Dewan Pers dalam pasal
tersebut memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah melindungi kemerdekaan
pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan
kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode etik Jurnalistik,
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Kemudian mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi wartawan dan mendata perusahaan pers.
Selain
itu Dewan Pers juga membuat Peraturan-Peraturan Dewan Pers, yang berkaitan
dengan sejumlah standar pengelolaan pers. Di antaranya adalah Peraturan Dewan
Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers, Standar Perusahaan Pers,
Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Standar Organisasi Wartawan, Standar
Kompetensi Wartawan.
Dewan
Pers juga membuat Peraturan Dewan Pers terkait dengan sejumlah pedoman yang
harus menjadi pegangan setiap insane pers dan masyarakat. Di antaranya Pedoman
Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa, Pedoman Hak Jawab, Keterangan Ahli Dewan
Pers, Pedoman tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum dalam
Perkara Jurnalistik, Pedoman Pemberitaan Media Siber dan Pedoman Penanganan
Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Dewan Pers dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap kemerdekaan pers juga membuat nota kesepahaman dengan
sejumlah lembaga tinggi Negara, yakni Polri dan Kejaksaan Agung.[20]
Persoalan-persoalan
hokum hingga saat ini masih terjadi dalam dunia jurnalistik, baik masalah
pidana maupun perdata. Beberapa pihak yang merasa dirugikan atau dicemarkan
oleh media massa masih banyak yang melakukan aduan delik pers maupun gugatan
perdata di pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam UU No 40 tahun 1999 tidak
diatur masalah sanksi pidananya. Namun terkait dengan pidana, masih tetap
merujuk pada KUHP. Jika pers dianggap mencemarkan nama baik seseorang selain
melanggar KEJ dapat dituntut sebagai tindak pidana pencemaran nama baik secara
tertulis (press libel/smaadschrift)
yang diatur dalam pasal 310 ayat (2) KUHP yang berbunyi: “Jikalau hal ini
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau
ditempelkan di muka umum maka yang bersalah karena pencemaran tertulis, diancam
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah.”[21]
Dalam
kasus-kasus hokum seperti ini, Dewan Pers sudah berusaha melindungi para pelaku
dunia pers. Sebelum ke pengadilan, masyarakat bisa mengadukan kasus itu ke
Dewan Pers dan jika tidak puas bisa melanjutkan ke pengadilan. Namun
diharapkan, dengan media Dewan Pers, antara penggungat dan pers bisa ditemukan
solusi yang terbaik, tanpa harus melalui pengadilan. Namun dalam prakteknya,
masih banyak insan pers yang dipidanakan karena beritanya. Hal-hal seperti
inilah yang dianggap menjadi salah satu ancaman dari kebebasan atau kemerdekaan
pers di era demokrasi.
Dan
perlu diketahui pula, bahwa ketentuan tentang delik pers sebagaimana dimaksud
dalam pasal 154 dan 155 KUHP dibuat sangat ketat dan karenanya banyak dikaitkan
dengan ketentuan Hatzaai Artikelen
(HA) atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP, kini sudah dicabut
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007. Sementara itu,
sesuai pasal 1372 KUH Perdata yang berbunyi: “Tuntutan perdata tentang hal
penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan
dan nama baik”, dapat digugat dengan tetap mengacu pasal 310 ayat (2) KUHP. Dengan
adanya kasus ini, sehingga dalam penerapan standar jurnalisme yang baik, pers
harus memberitakan secara berimbang (cover
both sides), obyektif, dan akurat.[22]
3.3. MASA DEPAN HUKUM PERS DI
INDONESIA
Kemerdekaan dan kebebasan pers yang
telah diberikan pemerintah melalui UU No 40 tahun 1999 tentang pers, ternyata
masih menimbulkan tanda tanya bagi masa depan pers di Indonesia. Selain belum
secara tegas dalam pengaturan informasi yang beredar di masyarakat, khususnya
media online, juga masih adanya kasus pidana yang menggunakan dasar KUHP. Belum
lagi media massa partisan dan kecenderungan kepemilikan media massa oleh para
pemodal besar. Kondisi seperti sudah mulai terlihat secara langsung di tengah
kondisi masyarakat yang semakin kritis terhadap media massa. Persaingan yang
tidak tidak sehat di antara media massa yang kepemilikannya berbeda dalam
ideology, sangat mempengaruhi isi dan materi berita yang ditayangkan.
Kondisi
ini dirasakan betul oleh mereka yang terlibat langsung dalam proses penerbitan
berita, khususnya para wartawan. Mereka berada pada posisi yang dilematis,
antara kepentingan pemilik modal dari perusahaan persnya dengan kepentingan
masyarakat. Posisi dilematis ini dirasakan di hampir semua media massa, baik
cetak, elektronik maupun online. Seperti diketahui, kepentingan pemilik modal
adalah bagaimana media massa yang didirikan itu mampu menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya, sehingga paling tidak mampu membayar gaji para wartawannya
dengan layak. Tanpa keuntungan itu, maka media massa tersebut terancam bangkrut dan para karyawan dan
wartawan akan kehilangan pekerjaannya. Sementara para wartawan yang memiliki
visi idealis sebagai penyambung lidah rakyat, harus terkendalan dengan
kepentingan pemilik modalnya.
Dalam
hal ini, posisi Dewan Pers, sebagai lembaga yang berfungsi melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain menjadi tidak efektif. Karena
justru pemilik modallah yang menjadi batu sandungan dari kemerdekaan per situ
sendiri. Apalagi banyak pemilik modal perusahaan pers yang bergabung dengan
kekuasaan atau sebaliknya, menjadi oposisi bagi kekuasaan itu sendiri. Sehingga
seringkali terlihat, antara satu media dengan media yang lain berbeda pendapat
dalam suatu pemberitaan. Masyarakat menjadi antipasti terhadap media, jika
kondisi ini terus terjadi. Belum lagi media abal-abal, yang tidak jelas sumber
dan datanya, yang sering banyak di-share
di media sosial. Banyak di antara masyarakat yang terjebak pada kondisi ini.
Bahkan perang opini antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sangat
luar biasa, akibat mendapat informasi yang berbeda dari media yang berbeda
pula.
Undang-Undang
Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers beberapa kali muncul wacana untuk direvisi.
Ada pro dan kontra terkait revisi itu, karena ada kekuatiran dari berbagai
pihak yang pro dan kontra tersebut. Mereka yang pro revisi, berharap agar
undang-undang tentang pers ini lebih tegas dan mendukung penuh kebebasan pers.
Namun mereka yang kontra, justru kuatir revisi undang-udang ini akan mengekang
dan mengurangi kebebasan pers yang sudah dianggap cukup baik ini.
Pro
dan kontra itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika masing-masing pihak, baik
dari eksektuf, legilatif, pemilik modal media massa dan wartawan selaku
praktisi di lapangan, memiliki komitmen yang sama untuk tetap menjunjung tinggi
kemerdekaan pers. Namun di sisi lain, juga ada komitmen untuk menjadi media
massa yang bertanggung jawab. Masing-masing harus duduk bersama, membahas
bersama apa kelemahan dari undang-undang yang sudah ada ini, dana apa kelebihan
yang harus dipertahankan dari undang-undang tentang pers ini.
Selain
itu, sebenarnya ada langkah-langkah alternatif, selain melakukan revisi undang-undangan
tentang pers. Yakni menguatkan lembaga Dewan Pers yang ada, dengan memberikan
kewenangan yang lebih luas atas peran dan fungsi lembaga tersebut. Selama ini,
peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan yang dibuat dan dikeluarkan
Dewan Pers, masih belum efektif dalam menyelesaikan suatu persoalan yang
muncul. Peraturan-peraturan yang dibuat Dewan Pers, belum mampu mengikat semua
pihak yang berhubungan dengan dunia pers. Termasuk di kalangan Polri, Kejaksaan
dan Pengadilan. Masing-masing masih mempunyai sikap yang berbeda dalam
menangani kasus pers.
Penguatan
lembaga Dewan Pers perlu dilakukan, agar peraturan-peraturan yang dibuatnya
mampu menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan. Baik di lingkungan pers itu sendiri, masyarakat pers dan
pemerintah. Seperti halnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh kementerian
maupun lembaga non-kementerian, yang mampu mengikat dan menjadi dasar
pelaksanaan lembaga di bawahnya. Dalam hal ini, Peraturan Dewan Pers belum
diposisikan seperti itu.
Satu hal yang penting juga, sebenarnya persoalan hukum
atau pun kasus tidak akan muncul ketika para wartawan telah bekerja sesuai
dengan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan Dewan Pers bersama dengan
organisasi-organisasi wartawan. Kalaupun masih muncul gugatan dan ancaman
pidana, jika para wartawan sudah menggunakan kode etik itu, pasti akan aman dan
tidak tersandung kasus hukum. (*)
DAFTAR PUSTAKA
-
Dr Amansyah, SH, MH, Pengantar Hukum Pers, (Bekasi, Gramata
Publishing, 2015)
-
Drs Djafar H Assegaff, Perlawanan dalam Kungkungan, Menegakkan Mutu
dan Profesionalime Pers, (Jakarta: Spora Pustaka, 2002)
-
Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik; Pendekatan Teori dan Praktik,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
-
Maskun Iskandar, Atmakusumah (Penyunting),
Panduan Jurnalistik
Praktis, Mendalami Penulisan Berita dan Feature, memahami Etika dan Hukum Pers,
(Jakarta: Lembaga Pers Dr Soetomo, 2009)
-
Dr Idri Shaffat, MAg, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers,
(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008)
-
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik; Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam,
(Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2008)
-
Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan,
Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan, (Yogyakarta: LKiS, 2009)
-
Buku Saku Wartawan, (Jakarta: Dewan
Pers, 2003)
[1] Dr
Amansyah, SH, MH, Pengantar Hukum Pers,
(Bekasi, Gramata Publishing, 2015), hlm 16-17.
[2]
Jakob Oetama, dalam Kata Pengantar, Drs Djafar H Assegaff, Perlawanan dalam Kungkungan, Menegakkan Mutu dan Profesionalime Pers,
(Jakarta: Spora Pustaka, 2002).
[3]
Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik; Pendekatan
Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cetakan II, hlm 25.
[4] Ibid, hlm 26.
[5] Ibid, hlm 26.
[6] Ibid, hlm 26.
[7]
Maskun Iskandar, Sekilas Sejarah Pers,
dalam Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita dan Feature,
memahami Etika dan Hukum Pers, (Jakarta: Lembaga Pers Dr Soetomo, 2009),
hlm 4-5.
[8] Dr
Idri Shaffat, MAg, Kebebasan, Tanggung
Jawab dan Penyimpangan Pers, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hlm 3.
[9]
Maskun Iskandar, Ibid.
[10]
Maskun Iskandar, Ibid.
[11]
Dwiky Agil Ramadhan, http://goresanpenahukum.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-dan-perkembangan-hukum-pers.html
[12]
Warief Djajanto Basorie, Sejarah Pers
Indonesia, dalam dalam Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita
dan Feature, memahami Etika dan Hukum Pers, (Jakarta: Lembaga Pers Dr
Soetomo, 2009), hlm 9.
[13]
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik;
Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam, (Jakarta, Pustaka Al Kautsar,
2008), hlm vii.
[14] Dr
Amansyah, SH, MH, Pengantar Hukum Pers,
(Bekasi, Gramata Publishing, 2015), hlm 11.
[15]
Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan, Politik Wacana Antikolonialisme Pertja
Selatan, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm xvii.
[16] Ibid.
[17] Ibid..
[18]
M. Kholil, https://halil4.wordpress.com/2010/01/11/bab-3-peranan-pers/
[19] Warief
Djajanto Basorie, Ibid, hlm 10
[20]
Buku Saku Wartawan, (Jakarta: Dewan Pers, 2003).
[21]
Dr Amansyah, SH, MH, ibid, hlm 20.
[22] Ibid, hlm 20-21.
Komentar
Posting Komentar