Menguji Profesionalisme KPU
Gugatan
Perselisihan Hasil Pemilu (PHP) Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 di
Mahkamah Konstitusi satu persatu gugur. Di Jawa Tengah, dari lima gugatan PHP
yang diajukan ke MK semuanya ditolak pada sidang putusan yang digelar pada
Senin (25/1). Kelima gugatan itu ada di Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Sragen. Dengan demikian, KPU di
masing-masing daerah tersebut berkewajiban untuk menetapkan pasangan calon terpilih
dan selanjutnya menyampaikan ke DPRD setempat untuk diusulkan sebagai bupati
dan wakil bupati.
MK menolak
gugatan itu berdasarkan pasal 158 Undang-undang No 8 tahun 2015 tentang
Pilkada. Dalam pasal itu disebutkan persyaratan pengajuan gugatan pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur dan pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Di mana untuk untuk provinsi dengan jumlah penduduk hingga 2 juta jiwa,
maksimal perbedaan perolehan suara yang ditetapkan KPU sebesar 2 persen.
Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maksimal 1,5 persen,
jumlah penduduk 6 juta-12 juta maksimal 1 persen dan jumlah penduduk di atas 6
juta maksimal 0,5 persen.
Sedangkan
persyaratan pengajuan gugatan pasangan calon bupati dan wakil bupati serta
calon walikota dan wakil walikota, kabupaten/kota dengan jumlah pendduk
mencapai 250 ribu, perbedaan perolehan suara maksimal 2 persen, penduduk 250
ribu-500 ribu maksimal perbedaan suara 1,5 persen, 500 ribu-satu juta maksimal
1 persen dan satu juta keatas maksimal 0,5 persen.
Berdasarkan
persyaratan tersebut, sebagian besar gugatan yang diajukan ke MK ternyata
ditolak, termasuk lima gugatan di KPU di Jawa Tengah. Namun ada pula yang
ditolak karena gugatan tersebut masuk ke MK melebihi batas waktu 3 X 24 jam,
seperti yang disyaratkan dalam pasal 157. Kini, pasca putusan gugatan itu,
semua pihak yang terkait di dalamnya hendaknya menghormati keputusan itu secara
arif dan bijak.
Bahwa di setiap
ajang penyelenggaraan Pemilu ada yang merasa kecewa dan tidak puas, itu adalah
hal yang wajar. Makanya undang-undang pun mengatur rasa ketidakpuasan tersebut
melalui jalur hukum, mulai dari PTUN, Pengadilan Negeri hingga ke Mahkamah
Konstitusi. Sehingga diharapkan tidak muncul rasa ketidakpuasan dengan tindakan
yang anarkis dan merusak.
Dengan
ditolaknya gugatan tersebut menunjukkan bahwa KPU sebagai penyelenggara Pemilu
telah melakukan pekerjaannya secara profesional. Profesionalisme KPU selama ini
menjadi pertaruhan dalam setiap penyelenggaran Pemilu, baik pemilu legislatif,
pemilu presiden dan wakil presiden, dan Pilkada. Bukan hanya di tingkat
pengadilan, profesionalisme KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga diawasi
secara kontinyu melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP
mempunyai tugas menentukan penyelenggara Pemilu itu melanggar kode etik atau
tidak berdasarkan laporan lembaga atau masyarakat.
Profesionalisme
KPU ini diuji sejak awal proses rekrutmen, di mana setiap calon anggota KPU
sebelum ditetapkan telah melalui uji publik. Di situ masyarakat dapat menilai track
record masing-masing calon anggota KPU sebelum ditetapkan dan dilantik. Kemudian
pasca pelantikan anggota KPU dilakukan penandatanganan pakta integritas. Dalam
bekerja pun KPU telah diatur oleh undang-undang dan Peraturan KPU yang mengatur
tata kerja dan etika anggota KPU. Bahkan pengaturan tata kerja KPU diatur dalam
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, mulai dari tahapan persiapan hingga
pelaksanaan.
Dalam setiap
tahapan Pemilu, KPU wajib menjalankan semua tahapan tersebut sesuai dengan
jadwal dan teknisnya. Tidak boleh ada yang terlewat maupun menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan oleh KPU. Apa yang dilakukan dan dikerjakan
oleh KPU daerah harus mengacu pada peraturan yang dibuat oleh KPU RI. KPU
bekerja berdasarkan hirarki, sehingga setiap kebijakan yang dibuat KPU daerah
harus mengacu kepada peraturan yang dibuat KPU RI. Hal-hal semacam inilah yang
menjadi benteng dari profesionalisme KPU.
Apalagi dalam
Undang-undang tentang Penyelengara Pemilihan Umum tahun 2011 pasal 2 disebutkan
bahwa asas penyelenggara Pemilu adalah mandiri, jujur, adil, kepastian hukum,
tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Asas ini menjadi pedoman para
penyelenggara Pemilu, termasuk KPU dalam bekerja.
Terkait dengan
gratifikasi, KPU juga telah membuat Peraturan KPU yang harus dijalankan semua
KPU di daerah. Dalam PKPU itu telah diatur, mana yang termasuk gratifikasi dan
mana yang tidak. Semua jenis pemberian yang berkaitan dengan pekerjaan KPU,
wajib dilaporkan sesuai dengan PKPU tersebut. Apalagi terkait dengan suap dan
korupsi, tidak ada toleransi sama sekali dalam pelaksanaan profesionalisme KPU
sebagai penyelenggara Pemilu. DKPP sendiri secara tegas akan menindak, siapa
saja penyelenggara Pemilu yang melakukan atau menerima praktek suap. Tidak
hanya itu, yang melakukan pelanggaran etika juga tidak lepas dari tindakan
tegas DKPP.
Karenanya,
terkait dengan gugatan yang dilakukan pasangan calon dalam Perselisihan Hasil
Pemilu (PHP), KPU yang telah bekerja profesional tidak akan takut
menghadapinya. Terbukti sebagian besar gugatan PHP di Mahkamah Konstitusi,
gugatan tersebut ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa KPU telah bekerja secara profesional.
Tentu saja, profesionalisme KPU ini juga harus didukung oleh penyelenggara
Pemilu ad hoc di bawahnya, seperti PPK, PPS dan KPPS. Termasuk pula dari
jajaran pengawasan, mulai dari Bawaslu, Panwaslu, Panwascam, PPL dan Pengawas
TPS.
Yang juga harus
menjadi catatan bersama adalah sinergi dan kesepahaman antarpenyelenggara
Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu dalam melaksanakan Pemilu maupun Pilkada. Dimana
dengan sinergi dan kesepahaman bersama itu, maka pelaksanaan dan
penyelenggaraan Pemilu yang profesional akan terwujud. Begitu juga dukungan
dari peserta Pemilu, baik partai politik maupun perseorangan, serta pemerintah
daerah untuk mendukung terlaksananya Pemilu yang demokratis, luber , jujur dan
adil.
Dan yang tidak
boleh dilupakan pula adalah peran serta masyarakat dalam mendukung Pemilu
maupun Pilkada ini dengan berpartisipasi secara aktif. Mulai dari proses
pendaftaran pemilih, penggunaan hak pilih dan pengawasan bersama proses Pemilu
tersebut. Sekali lagi, dengan dukungan semua pihak maka profesionalisme
penyelenggara Pemilu, khususnya KPU akan terjaga demi terwujudnya demokrasi
yang berkualitas. (*)
Penulis adalah
Ketua KPU Kabupaten Brebes
Diterbitkan di Radar Tegal Februari 2016
Komentar
Posting Komentar