Belajar Menerima Kekalahan
Dalam setiap
pertandingan selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Namun tidak ada satu
pun orang atau tim yang menginginkan kekalahan dalam pertandingan tersebut.
Semua berusaha sekuat tenaga dengan strategi-strategi tertentu untuk memenangi
pertandingan. Begitu pula dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), ada calon
yang menang dan ada pula calon yang kalah.
Ketika mengalami
kekalahan jelas kekecewaan muncul. Namun dari kekecewaan tersebut harus ada
rasa menerima kekalahan tersebut. Legawa menerima kekalahan. Sikap dan sifat
ini memang sulit untuk dimunculkan dalam setiap ajang pertandingan. Karena
memang mereka yang ikut dalam pertandingan semuanya menginginkan kemenangan.
Dalam dalam suatu pertandingan, tidak mungkin semuanya menjadi pemenang. Hanya
ada satu pemanang saja.
Dalam pertandingan
olah raga, sikap fair play sudah lama didengungkan dan sudah pula dijalankan.
Beberapa orang yang melanggar sikap fair play terkena hukuman dan sanksi, bisa
skorsing atau larangan bermain dan tim atau orang yang menang dalam
pertandingan tersebut didiskualifikasi dan selanjutnya ditentukan pemenang
lainnya. Hal itu bisa terjadi jika pelanggaran tersebut bisa dibuktikan dan
valid.
Menerima kekalahan
dan mengakui kemenangan tim atau orang lain adalah sikap yang gentle dan mulia.
Mengakui bahwa dirinya kalah dalam pertandingan tersebut dan kemudian
mengucapkan selamat kepada lawannya yang memenangkan pertandingan tersebut.
Sikap gentle dan mulia ini akan indah jika kemudian diikuti oleh tim dan juga
para pendukungnya. Tidak perlu ada ribut dan memusuhi tim yang menang dan para
pendukungnya.
Dalam Pilkada pun
sudah seharusnya demikian, yakni menerima kekalahan dan mengakui kemenangan
lawannya. Namun ternyata belum banyak yang bersikap seperti itu. Masih banyak
yang mencari kesalahan lawannya yang menang, dengan dalih kecurangan-kecurangan
dan sebagainya. Belum legawa atas kekalahannya. Meskipun secara hukum calon
yang kalah diberi hak untuk mengadukan dugaan-dugaan kecurangan itu ke lembaga
yang berwenang.
Namun tidak semua
calon yang kalah bersikap demikian. Ada beberapa yang secara legawa menerima
kekalahan dan mengaku kemenangan calon lain. Seperti yang dilakuka calon
Walikota Depok, Jawa Barat Dimas Oky Nugroho, yang mengakui kekalahannya dan
mengucapkan selamat kepada lawannya yang memenangkan Pilkada Depok.
Begitu pula Helmi
Yahya, juga mengakui kekalahannya di Pilkada Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dia
mendatangi pesaingnya tersebut untuk mengucapkan selamat atas perolehan suara
terbanyak yang diperoleh lawannya tersebut. Helmi sudah tiga kali maju dalam
Pilkada, dan tiga kali kalah itu pun ternyata legawa menghadapi proses politik
tersebut. Dan masih banyak calon lain yang bersikap gentle dan mulia tersebut.
Ketika kalah, bukan
berarti segala-galanya telah gagal. Namun hal itu bisa menjadi ajang evaluasi
bagi semuanya. Kenapa bisa kalah dan gagal, serta tidak mampu meraih simpati
rakyat dalam Pilkada. Adakah strategi
yang tidak tepat atau justru timnya yang tidak mampu menjalankan strategi
politik yang dijalankan tersebut. Atau ada faktor lain yang tidak diantisipasi
oleh yang bersangkutan. Hal-hal seperti inilah yang seharunya menjadi catatan
bagi semua calon yang kalah dalam Pilkada. Sehingga nantinya, ketika masih ada
minat dan hasrat untuk kembali dalam bertarung di ajang politik itu, sudah
dilakukan antisipasi dan startegi-strategi baru untuk mememangkan Pilkada
tersebut.
Tidak mudah memang
untuk menerima kekalahan, apalagi jika perolehan suara yang didapatnya sangat
tipis. Ibarat kata, kalau saja di sini menang, di sana menang, maka total akan
menang. Namun dalam ajang politik lima tahunan ini, terpaut satu suara saja,
tetap saja harus ada pemenang dan ada yang kalah.
Dalam ajang Pilkada
serentak yang baru usai beberapa waktu lalu, ada 147 perkara gugatan PHP
Pilkada 2015 yang masuk register di Mahkamah Konstitusi
(MK). Namun tidak semua gugatan itu layak dilanjutkan sesuai dengan Peraturan
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan
pencermatan yang dilakukan KPU RI (http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2016/4670/Pencermatan-KPU-Atas-147-Permohonan-PHP-Pilkada-2015),
ada 37 permohonan yang melampaui tenggang waktu 3X24 jam. Permohonan yang tidak
memenuhi syarat formil sesuai dengan Peraturan MK ada 101 permohonan. Sedangkan
gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil hanya ada 9 daerah saja. Namun
demikian, semua keputusan ada di tangan MK, yang akan segera memutuskan,
perkara mana saja yang nanti layak dilanjutkan dalam persidangan berikutnya.
Dari 264 daerah
yang menyelenggarakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015, 147 yang melakukan
gugatan berarti ada 55 persen lebih yang mengajukan gugatan. Itu artinya
menunjukkan bahwa masih banyak calon kepala daerah yang belum legawa atas
kekalahannya. Meskipun gugatan PHP itu menjadi hak setiap calon atau pihak
terkait dalam pelaksanaan Pilkada tersebut.
Namun kalau
berdasarkan pencermatan yang dilakukan KPU RI, dari 147 gugatan itu, yang
dianggap memenuhi syarat formil hanya ada 9 gugatan saja. Sementara lainnya,
lebih banyak karena faktor kekecewaan dan tidak legawa atas kekalahannya. KPU
sebagai penyelenggara Pilkada, tentu meyakini bahwa proses yang dilakukan sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ada saja
pihak-pihak tertentu yang yang menilai kinerja KPU tidak profesional, bahkan
ada tuduhan bahwa KPU berpihak kepada salah satu calon.
Sebagai contoh
Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat yang diikuti calon tunggal, juga
tidak lepas dari gugatan PHP ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang mengajukan
gugatan itu tidak memeiliki legal standing dalam kasus tersebut. Namun KPU
sebegai penyelenggara, tentu harus bersiap secara profesional untuk menghadapi
gugatan-gugatan tersebut.
Yang patut menjadi
catatan dalam setiap ajang Pilkada maupun Pemilu lainnya, bahwa hal ini adalah
bagian dari demokrasi. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia ini, tentu
semua proses dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan tentu saja dalam demokrasi ini, ada yang menang dan ada yang kalah. Mereka
yang kalah dapat mengajukan gugatan hukum ke lembaga yang berwenang tanpa
melakukan aksi-aksi anarki dan kekerasan, yang justru berakibat buruk pada
semuanya. (*)
Penulis adalah
Ketua KPU Kabupaten Brebes
Diterbitkan di Radar Tegal pada Januari 2015
Komentar
Posting Komentar