Meningkatkan Peran Masyarakat dalam Pengawasan Penyiaran
Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) termasuk KPID, masih sangat penting di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan perkembangan penyiaran sangat pesat, serta semakin banyaknya lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi. Apalagi di era digital, yang semakin memperluas jaringan penyiaran. Selain maraknya penyiaran-penyiaran yang berada di luar frekuensi radio maupun televisi. Saat ini, media penyiaran tidak melulu melalui kedua frekuensi tersebut. Namun sudah merambah ke jalur internet, yang waktu tayangnya selama 24 jam. Maka dibutuhkan lembaga pengawasan yang mampu mengimbangi perubahan jaman serta perkembangan teknologi.
Jumlah lembaga
penyiaran radio dan televisi di Indonesia sendiri sangat banyak. Seperti keberadaan
penyiaran televisi, ada televisi nasional dan ada televisi lokal. Saat ini di setiap
wilayah provinsi, ada televisi lokalnya. Sebenarnya, dengan beralihnya siara
televisi dari analog ke digital, maka tidak ada lagi istilah televisi lokal dan
nasional. Karena jangkauan dari televisi digital sudah nasional, bahkan bisa
diakses dari seluruh dunia. Bahkan radio dan televisi saat ini menyiarkan
salurannya secara langsung melalui youtube.
Begitu pula dengan
radio, selain milik pemerintah pusat yakni RRI, setiap pemerintah daerah juga
dipastikan memiliki radio. Baik yang sudah berupa Lembaga Penyiaran Publik
Lokal (LPPL) maupun yang masih proses. Kemudian ditambah dengan keberadaan
radio milik swasta maupun radio komunitas, yang jumlah di setiap kabupaten
lebih dari satu buah. Meskipun saat ini keberadaan radio semakin berkurang,
karena ada yang bangkrut akibat tidak ada biaya operasional yang menopangnya.
Kondisi ini tentu harus
mendapatkan perhatian serius, khususnya KPI dan KPID sebagai lembaga yang
berfungsi sebagai pengawas. Namun demikian peran serta masyarakat sangat
penting untuk mengawasi isi dari penyiaran, karena pengawasan yang dilakukan
oleh KPI maupun KPID masih terbatas, baik oleh sumber daya manusianya maupun
perangkat teknologi yang dimilikinya. Peran serta pengawasan dari masyarakat
justru menjadi solusi atas minimnya SDM dan teknologi yang ada.
Siaran radio saat ini,
selain melalui frekuensi yang disediakan pemerintah, juga sudah banyak yang
menggunakan media internet, baik youtube maupun melalui media sosial lainnya,
seperti facebook. Begitu pula dengan televisi, yang saat ini frekuensi
analognya sudah digeser ke siaran digital. Di sini perkembangan tekonologi yang
ada sangat mendukung dan mempermudah bentuk-bentuk penyiaran tersebut.
Dengan adanya fakta
tersebut, maka dibutuhkan lembaga pengawasan yang lebih efektif dan maksimal.
Tidak hanya melulu oleh lembaga yang dibentuk pemerintah saja, tetapi juga
perlu pengawasan dari masyarakat. Namun pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat masih sangat minim, karena kurangnya pengetahuan terhadap lembaga pengawas
penyiaran, khususnya KPI dan KPID. Selain itu, mungkin kurang pedulinya
masyarakat terhadap isi atau konten dari lembaga penyiaran yang ada. Apakah
terjadi pelanggaran atau tidak, mereka tidak begitu peduli. Untuk meningkatkan
keterlibatan pengawasan dari masyarakat, ada beberapa catatan penting untuk KPI
dan KPID Jawa Tengah khusus di masa yang akan datang.
Catatan ini selain
sebagai bentuk masukan, juga sebagai bahan evaluasi diri ke depan, ketika
penulis dipercaya menjadi anggota KPID Jateng. Di antaranya, pertama perlu
sosialisasi lebih massif atas keberadaan KPID kepada masyarakat. Masih banyak
masyarakat yang asing dengan istilah KPID dan kepanjangannya. Bahkan penulis
sendiri ketika mengurus persyaratan pendaftaran KPID, seperti di kepolisian, PN
dan rumah sakit, banyak yang menanyakan apa itu KPID dan kepanjangannya.
Apalagi di kalangan masyarakat umum, tentu lebih tidak mengenal lagi. Mungkin
KPID hanya dikenala di lingkungan radio dan televisi saja, itu pun jika yang
bersangkutan mendapat teguran atas konten atau isis dari siarannya.
Minimnya pengetahuan
atas keberadaan KPID ini tentu menjadi persoalan tersendiri. Karena masyarakat
yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran atas penyiaran yang ada, menjadi
terhenti. Karena tidak tahu harus lapor kemana, mengadukan ke siapa. Bisa
jadi,pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada lembaga penyiaran mungkin
banyak, namun tidak terdeteksi oleh KPID. Meskipun di KPID itu sendiri sudah
ada perangkat untuk melacak adanya pelanggaran tersebut.
Pemberitaan seputar
KPID juga masih sangat minim, bahkan di laman KPI Jawa Tengah sendiri,
pemberitaan terkait kegiatan KPID Jawa Tengah paling up date dilakukan pada 16
Februari 2024. Padahal sosialisasi kepada masyarakat itu sangat penting, paling
tidak mengenalkan apa itu KPID dan apa saja tugas dan fungsi KPID sendiri. Sehingga
ketika ada pelanggaran atas isi atau siaran lembaga penyiaran sudah tahu kemana
harus melaporkannya. Muai dari alamat, nomor telepon, hingga email yang harus
dihubungi untuk melaporkan dugaan pelanggaran tersebut.
Keberadaan akun-akun
media sosial seperti facebook, X, instagram, youtube, tik tok dan lainnya,
perlu dimaksimalkan. Karena sebagian besar generasi Z dan milenial menggunakan
media sosial untuk berinteraksi dan mencari informasi. Jumlah mereka yang
mencapai lebih dari 50 persen itu harus menjadi sasaran dalam pengenalan KPID
kepada masyarakat. Sosialisasi kepada mereka penting, selain jumlahnya yang
mayoritas, juga mereka adalah pengguna media sosial tertinggi. Sehingga ketika
ada pelanggaran, mereka yang lebih dulu tahu. Dan ketika mereka sudah tahu
keberadaan KPID, mereka bisa melaporkan dugaan-dugaan pelanggaran atas isi dan
konten lembaga penyiaran yang ada.
Padahal sesuai dengan
amanat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI dibentuk untuk mewujudkan
sistem penyiaran nasional yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan kepentingan masyarakat serta industri penyiaran di Indonesia.
Maka di sini, masyarakat sebenarnya yang paling banyak kepentingannya. Sehingga
peran serta mereka dalam pengawasan ini bukan hanya sekedar membantu KPI maupun
KPID, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
Tupoksi KPI dan KPID
yang menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, kritik, dan
apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran ini butuh dukungan dari
masyarakat secara langsung dan luas. Sehingga sosialisasi atas keberadaan KPI
dan KPID beserta tupoksinya ini perlu diperkuat secara luas, khususnya dari
para pengambil kebijakan di internal KPI dan KPID. Tentunya selain dalam proses
perijinan dan persyaratan pendirian lembaga penyiaran yang dibentuk masyarakat,
juga menjadi tugas yang tidak bisa dianggap remeh.
Kedua, KPID sebagai
lembaga publik, juga harus mendapat suport maksimal dari pemerintah, khususnya
pemerintah daerah. Di mana sesuai UU Penyiaran, pembiayaan KPID dibebankan
kepada Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi. Namun demikian,
anggaran dari pemerintah ini tentu sangat terbatas. Perlu dukungan dari
pemerintah kabupaten/kota di wilayah provinsinya masing-masing. Sehingga
sosialisasi atas keberadaan KPID bisa lebih maksimal, dengan kegiatan seminar
maupun ajakan untuk melakukan pengawasan lembaga penyiaran di daerahnya
masing-masing. Dengan dukungan anggaran yang ada, tentu program kerja, tugas
pokok dan fungsi KPID akan semakin maksimal.
Dukungan pemerintah
daerah ini sangat penting,selain secara anggara juga dalam menyosialisasikan
keberadaan KPID kepada masyarakat. Lembaga penyiaran sendiri, seperti masih
menjadikan KPID sebagai wasit yang galak. Sehingga keberadaanya, cenderung
dihindari. Jangan sampai lembaga penyiarannya, justru berurusan dengan KPID
karena adanya dugaan pelanggaran yang diaporkan kepada masyarakat. Sehingga
lembaga penyiaran akan cenderung menghindari atau tidak menyosialisasikan atas
keberadaan KPI dan KPID. Karena pikir mereka, jangan sampai menjadi senjata
makan tuan. Untuk mendapat pemirsa saja sulit, apalagi sampai berurusan dengan
KPI maupun KPID.
Ha ini tentu menjadi
keprihatinan tersendiri. Peran Pemda tentu harus menjadi jembatan atas
kecenderungan ini, paling tidak menjadi penghubung yang mengayomi semua lembaga
penyiaran di daerahnya. Karena memang keberadaan lembaga penyiaran masih kurang
mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Paling tidak, pemerintah daerah
mengagendakan, melalui dinas terkait, khususnya Dinas Komunikasi dan Informasi
mengadakan program pengenalan dan sosialisasi atas keberadaan KPI dan KPID
beserta tupoksi dan peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiarannya.
Ketiga, meski secara
SDM dan teknologi yang terbatas, namun tupoksi dari KPID ini perlu ada
pengembangan sesuai dengan perkembangan jaman sekarang ini. Saat ini, penyiaran
tidak hanya dari radio dan televisi saja, tetapi sudah merambah jaringan
internet. Masyarakat yang sekarang lebih banyak menggunakan media internet
sebagai bagian kehidupan sehari-harinya, sudah mulai meninggalkan radio dan
televisi.
Berdasarkan data yang
dirilis oleh wearesocial.com, sebuah situs global yang melakukan riset perilaku
pengguna internet dari seluruh dunia. Dari data terbaru yang mereka rilis pada
Januari 2024 tersebut,didapatkan data dan fakta menarik. Dari total populasi
Indonesia berjumlah 278,7 juta orang, terdapat 185,3 juta di antaranya
merupakan pengguna internet dan ada 139 juta orang adalah pengguna sosial media
aktif. Sedangkan masih ada 51,1% orang yang masih mendengarkan radio. (https://www.rri.co.id/iptek/569854/jumlah-pendengar-radio-semakin-tergerus)
Fakta tersebut
menunjukkan bahwa pendengar radio dan pemirsa televisi terus berkurang. Bahkan
beberapa radio ada yang bangkrut dan beralih kepemilikan, karena tidak sanggup
untuk membiayai karyawan dan operasionalnya. Sehingga saat ini, kebanyakan
kepemilikan radio berasaldari jaringan radio secara nasional. Atau bahkan
bergabung dengan kepemilikan media massa.
Karenanya dengan fakta
tersebut, kiranya menjadi perhatian khusus dari pengambil kebijakan apakah
pengawasan lembaga penyiaran hanya terbatas pada lembaga penyiaran yang
menggunakan frekuensi radio saja? Saat ini saja, banyak lembaga penyiaran yang
belum atau tidak berijin, sudah menayangkan konten-konten berita maupun hiburan
melalui youtube. Di mana pembuatan akun youtube sendiri sangat mudah. Mereka
yang mempunyai google email atau Gmail, pasti otomatis bisa mengaktifkan akun
youtubenya. Fenomena ini, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi KPI dan KPID
saat ini dan ke depan.
Di mana sesuai dengan
istilah yang digunakan oleh UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang
dimaksud penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
pemancaran dan/atau sarana transmisi didarat,di laut atau di antariksa dengan
menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media
lainnya untuk diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan
perangkat penerima siaran. Perangkat media lainnya, bisa jadi dengan sarana
internet yang ada, yang saat ini tidak bisa dihindari lagi. Penggunaan sarana
lainnya ini perlu dibahas dan dipertegas lagi dalam regulasi yang terkait
dengan penyiaran ini.
Koordinasi
Media Massa dan Penyiaran
Keberadaan lembaga
penyiaran dan media massa, baik cetak maupun elektronik, termasuk media online,
saat ini tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam beberapa hal saling berkaitan dan
beririsan. Di sisi lain, keberadaan lembaga penyiaran dan media massa,juga
berada dalam satu grup bisnis yang sama. Bahkan saling bersinergi dan saling
melengkapi di antara kedua fungsi tersebut. Karena dalam konten lembaga
penyiaran yang bersifat umum, juga ada konten yang berupa hasil karya
jurnalistik. Yakni pemberitaan, yang mau tak mau harus mengacu kepada UU
tentang Pers. Khususnya televisi yang fokus pada pemberitaan dan radio
pemberitaan juga. Bahan di antara ketiganya, merupakan bisnis jaringan dari
pusat hingga ke daerah.
Fenomena ini juga harus
menjadi fokus perhatian dari KPI dan KPID. Di mana keduanya, konten lembaga
penyiaran dan pemberitaan merupakan satu kesatuan bisnis yang dimiliki oleh
jaringan tersebut. Bahkan dari data yang ada, beberapa media massa tertentu,
menjadi milik perusahaan yang sama atau anak perusahaannya. Ada pemanfaatan
jaringan yang dimilikinya, selain kerja sama, ada pula yang memang bisnisnya
dari hulu hingga ke hilir dikuasai. Perlu aturan tersendiri untuk mengatur
kepemilikan maupun hubungan kerjasama yang jelas, antara lembaga penyiaran dan
lembaga pemberitaan.
Selain kepemilikan yang
sama dalam lembaga penyiaran maupun pemberitaan, ada juga lembaga penyiaran
yang hanya sekedar membacakan berita-berita yang dimuat oleh media massa. Namun
akdang kala,ada yang tidak jujur dalam pembacaan berita, karena tidak disebutkan
sumber beritanya tersebut. Yang jelas, di situ terdapat pelanggaran atas hak
cipta atau hasil karya jurnalistik, yang menjadi milik media pemberitaan,
tetapi diakui oleh lembaga penyiaran yang tidak ada kerja sama maupun berada
dalam satu jaringan. Di sisi lain, kadang terdapat pula oknum jurnalis, yang
hanya copy paste atas pemberitaan yang disampaikan ke medianya. Sehingga
materi, gambar dan isinya kadang sama persis hingga mendekati 100 persen.
Fenomena ini menjadi
tantangan dalam hubungannya antara lembaga penyiaran dengan lembaga
pemberitaan. Di sini perlunya etika penyiaran dan etika jurnalistik digunakan,
baik oleh para pelaku lembaga penyiaran maupun lembaga pemberitaan.
Masing-masing sudah mempunyai kode etik, yang harus dijalani bersama-sama. Dan
di sini pula, salah satu dari fungsi KPI dan KPID yang ke depan untuk lebih
dikoordinasikan. Perlu duduk bersama antara Dewan Pers dan KPI untuk membuat
peraturan bersama, seperti hal lembaga lain yang membuat peraturan bersama.
Karena di situ memang terjadi irisan yang penting untuk dijaga dan dilaksanakan
bersama, agar tidak terjadi gesekan di lapangan.
Kemunculan UU tentang
Pers ini memang lebih duu daripada UU tentang Penyiaran. Namun kedua UU ini
tentu semakin melangkapi dan saling menutupi atas kekurangan dari masing-masing
yang ada. Kedua lembaga ini, secara fungsi juga memiliki tujuan yang hampir
sama juga. Melalui lembaga penyiaran, masyarakat dapat memperoleh berbagai
informasi hiburan yang dibutuhkan. Selain itu, media penyiaran juga dapat menjadi
sumber edukasi serta mampu menjalankan kontrol sosial. Begitu pula dengan
keberadaan lembaga pemberitaan atau pers, juga mempunyai fungsi yang serupa
dalam beberapa hal.
Karenanya dalam hal
pengawasan penyiaran maupun pemberitaan, dibutuhkan kesinambungan dan kerja
sama antara lembaga tersebut. Sehingga masyarakat akan semakin sadar akan
posisinya sebagai bagian dari masyarakat penyiaran dan pemberitaan. Masyarakat
butuh informasi dan hiburan yang mendidik, jauh dari informasi yang menyesatkan
dan melanggar aturan yang ada. Masyarakat akan mendapat edukasi yang maksimal
dari lembaga pengawasa, seperti KPI dan Dewan Pers. Masyarakat tidak harus
bersinggungan langsung dengan para pembaut konten berita dan penyiaran melalui
lembaga yang resmi. Meskipun demikian, masyarakat juga dapat mengingatkan
secara langsung, jika menemukan berita dan konten-konten yang melanggar.
Saat ini, sejumlah
sejumlah flatform media sosial, juga menggencarkan program-program yang
mengajak pengikutnya untuk membuat konten yang banyak dan menarik. Seperti
facebook pro, tik tok, youtube dan lainnya, yang jika memenuhi standar tertentu
mampu menghasilkan uang dari konten yang diuploadnya. Sayangnya, belum ada
pengawasan yang bisa menjadi standar bagi isi konten tersebut. Hanya ada
standar yang dibuat oleh pemilik flatform tersebut, namun tidak sampai
menyentuh etika di masing-masing negara. Seperti misalnya dilarang mengupload
video yang memperlihatkan aksi kekerasan, terorisme dan standar yang mereka
buat sendiri.
Padahal ketika konten
yang dianggap kontroversial, unik, dan menarik yang diupload di media sosial
tersebut, seringkali mendapat pemutaran hingga puluhan ribu.Artinya ketika ada
tayangan yang tidak sesuai dengan etikadan peraturan, sudah puluhan ribu orang
yang melihat dan mendengarkannya. Tentu ada dampak negatif dan akan berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.Apaagi sekarang ini, banyak anak-anak
yang diberi kebebasan oleh orang tuanya untuk memegang dan menggunakan media
sosial melalui handphone miliknya.
Akibatnya, kadang konten
yang mereka buat berisi hal-hal yang melanggar etika, bahasa yang kasar,
asusila hingga menyinggung SARA. Tidak ada yang bisa mencegah konten tersebut
tayang, kecuali netizen lainnya melakukan protes dan menjadi viral. Barulah
konten tersebut dihapus, namun kadang sudah ada yang mengunduhnya dan
disebarkan lagi. Bahkan juga konten-konten yang disponsori oleh
aplikasi-aplikasi judi online. Yang jika tidak waspada, terkadang terunduh
secara otomatis ketika melihat tayangan konten tersebut. Fenomena ini harus
mendapat perhatian serius dari para pengambil kebijakan, termasuk dari
Kementerian Kominfo, dan juga dari KPI dan KPID sebagai pengawas penyiaran.
Karenanya, untuk lebih
memasyarakatkan pengawasan dari masyarakat, kerjasama dan koordinasi antara
lembaga penyiaran dan lembaga pemberitaan sangat penting. KPI dan Dewan Pers,
dapat menjadi penghubung dari masyarakat dengan kedua lembaga tersebut.
Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, mengajak masyarakat untuk
menjadi pengawas juga. Dengan demikian, pencegahan dan pengawasan atas konten
yang malanggar aturan dan tidak sesuai dengan etika di tengah masyarakat dapat
dicegah semaksimal mungkin.
Masih banyak pekerjaan
rumah yang harus dilakukan oleh KPI dan KPID yang membutuhkan peran serta
masyarakat. Tanpa peran serta masyarakat, saya yakin persoalan yang muncul
tidak dapat diselesaikan semua. Sehingga dalam upaya untuk memaksimalkan peran
dari KPID, khususnya KPID Jawa Tengah, maka harus ada upaya untuk mengajak
peran serta masyarakat secara maksimal. Selain tugas-tugas pengawasan yang
dilakukan KPID terbantu, masyarakat juga semakin sadar akan hak-haknya untuk
mendapatkan informasi sehat dan benar, serta mendidik. (*)
Komentar
Posting Komentar