Menjadi NU atau Tidak Itu Pilihan

Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 2022 ini genap berusia 96 tahun. Sebuah tema besar jelang satu abad NU selalu digaungkan oleh para aktivis NU. Entah apa yang istimewa dari satu abad NU itu. Tetapi bagi saya, yang hanya bagian terkecil dari NU, menjadi NU adalah pilihan. Meskipun saya lahir dari kultur NU, yang tahunya hanya ikut tahlilan dan kalau sholat subuh ada doa qunutnya.

Kini di usia saya yang sudah separuh baya, menjadi NU itu pilihan wajib. Ya wajib, bagi mereka yang telah tahu tentang jalur ilmu dan pentingnya berguru. Seringkali kita dengar ungkapan, bahwa tidak penting menjadi NU atau tidak, yang penting Islam. Atau muncul juga ungkapan tidak perlu NU-NUan, yang penting sholat. Ungkapan-ungkapan itu cukup ngawur bagi mereka yang mempunyai darah NU sejak lahir.

Mungkin menjelang usia satu abad NU ini, hal-hal seperti itu yang perlu ditegaskan. Bagaimana seorang yang sudah sejak lahir berkultur NU, menjadi semakin mantap ke-NU-annya. Menjadi NU tidak harus menjadi pengurus NU atau pun banom-banomnya. Namun mengikuti organisasi di bawah NU itu penting juga, agar tidak terjebak pada ungkapan-ungkapan ngawur tersebut. Di jajaran pelajar ada Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), di kalangan mahasiswa ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), di pemudanya ada Gerakan Pemuda Ansor, pemudinya ada Fatayat dan di ibu-ibunya ada Muslimat NU.

Memang ada aktivis organisasi di luar itu yang kemudian bergabung dengan NU. Namun tidak sedikit yang hanya mencari simpati warga NU demi kepentingan politik saja. Mereka tidak bersungguh-sungguh menjadi NU, hanya sekedar baju dan cangkang saja. Namun untuk berjuang demi NU, mereka akan menyelinap mundur dan akan tampil di depan jika memang menguntungkan pribadinya. Tidak perlu dibantah atau dicari siapa orangnya, namun bagi yang memiliki mata batin NU yang sesungguhnya, bisa melihat itu.

Tradisi-tradisi NU yang berlaku di masyarakat, yang merupakan akar budaya sejak Islam masuk ke Nusantara, banyak dianggap sebagai tradisi yang tidak Islami. Karena tidak ada dalilnya dan tidak diajarkan para ulama Salaf. Sehingga dianggap tradisi yang bidah dan syirik. Jargon-jargon para pembenci - untuk mengatakan yang tidak suka NU, itu terus digaungkan. Bahkan dilakukan di tengah-tengah jamiyah NU. Sehingga tidak sedikit dari warga NU, yang sejak lahir sudah berdarah NU, akhirnya ikut berteriak seperti NU. Akhirnya menjadi pembenci NU dan bahkan menyerang NU dengan tuduhan yang keji. Dan tidak sedikit yang akhirnya menjadi radikal dan terjerumus ke jaringan teroris, seperti Jamaah Islamiyah dan ISIS.

Apakah NU harus menyerang balik faham-faham seperti itu? Saya kira bukan karakter NU yang ketika diserang oleh “musuh-musuh”nya lantas menyerang balik. Yang harus dilakukan kader NU adalah semakin menguatkan jati diri ke-NU-annya. Sehingga mereka tidak berani menyerang NU secara langsung atau face to face. Karena serangan yang ditujukan ke NU itu hanya melalui media sosial dan pengajian-pengajian eksklusif mereka. Jika ada kader NU yang ikut mengaji, pasti akan dihindari. Karena mereka memang sedang melakukan indoktrinasi, salah satunya dengan tidak menjadi NU dengan alasan-alasan ngawur dan dalil-dalil yang tidak sesuai peruntukkannya.

Nah, inilah satu PR NU jelang satu abad. Bagaimana menjelaskan amaliah-amaliah NU yang dianggap khurafat, tahayul, bidah dan tidak ada dalilnya. Kalau saya tidak hapal dalil-dalilnya, hanya bisa membaca buku-buku atau kitab-kitab yang sudah diajarkan para guru dan kyai di pesantren. Hingga sekarang pun masih terus belajar dan mengikuti kyai yang memegang teguh NU, meski tidak menajdi pengurus NU. Langkah ini harus terus digaungkan, khususnya para aktivis dan pengurus NU. Atau paling tidak mampu menunjukkan akhlak yang mulia, seperti yang diajarkan Nabi kepada kita. Bukan dengan mencaci dan membalas cacian mereka.

Menjadi NU itu memang pilihan. Apalagi NU yang sudah menyatakan bahwa NKRI itu harga mati, harus tetap diperjuangkan di tengah gempuran Islam transnasionalis. Mereka memang sudah dibubarkan oleh pemerintah, namun gerakan masih hidup dengan kajian-kajian eksklusif, yang hanya berisi indoktrinasi. Padahal dalam Islam, belajar Islam itu ada tingkatannya. Tidak serta merta langsung kepada Al Quran dan hadist. Apakah para kyai dan ustadz NU tidak berpegang kepada Al Quran dan hadist? Tentu mereka lebih hapal dan menguasai dibading mereka yang teriaknya kencang kalau harus kembali ke Al Quran dan hadist.

Sekarang tinggal keputusan Anda sendiri, mau menjadi NU atau tidak. Tidak ada paksaan untuk menjadi NU. Namun menjadi NKRI itu wajib bagi mereka yang tinggal di Nusantara ini. Atau ikut organisasi lain, yang tidak menentang NKRI tidak masalah. Jika tidak mau NKRI, maka keluarlah seperti para pengikut ISIS, yang sekarang minta kembali lagi ke NKRI. (*)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer