Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat di Kabupaten Brebes


Pendahuluan
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi yang wajib dilaksanakan. Di mana Pemilu menjadi ajang pemenuhan kedaulatan rakyat. Rakyat menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakilnya di DPR dan DPRD. Begitu juga di lembaga eksekutif, rakyat memilih para pemimpinnya melalui Pemilu, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tanpa Pemilu, tidak mungkin demokrasi bisa terwujud.
Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik)
Dalam sistem Pemilu, partisipasi masyarakat sangat penting. Keberadaan partai politik sebagai peserta Pemilu menjadi salah salah satu penggerak partisipasi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam Pemilu tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud partisipasi masyarakat adalah partisipasi politik. Di mana yang yang dimaksud sebagai partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya dan sebagainya. (Miriam Budiardjo, edisi revisi, 2008).

Partisipasi Politik Masyarakat
Di Indonesia, partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu, seperti disebutkan di awal mengalami banyak fluktuasi dan dinamika. Mulai dari Pemilu pertama di Indonesia pada 1955, Pemilu-pemilu Orde Baru, dari 1971 hingga 1997, serta Pemilu-pemilu pada era reformasi hingga Pemilu terakhir tahun 2014. Pemilu 1955, tingkat partisipasinya mencapai 91 persen. Pemilu Orde Baru tingkat partisipasi masyarakat rata-rata di atas 80 persen. Namun pada Pemilu era reformasi mengalami penurunan. Tingkat partisipasi tertinggi di Indonesia terjadi pada Pemilu 1992, yang mencapai 95 persen, atau 102,3 juta pemilih menggunakan hak pilihnya. (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, 2008).
Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbaik di dunia pasca reformasi 1998. Hal itu diakui dunia karena pelaksanaan Pemilu di Indonesia berlangsung dengan aman dan demokratis, tanpa ada kendala berarti. Bahkan menurut informasi, Pemilu 2014 lalu merupakan pemiu terbesar di dunia yang berlangsung sukses dalam waktu satu hari. Di beberapa negara demokrasi dengan penduduk terbesar di dunia, seperti India dan Amerika serikat, pemilu di negara-negara tersebut berlangsung selama beberapa hari. Tetapi di Indonesia dilakukan secara serentak dalam waktu satu hari saja.
Pada Pemilu legislatif tahun 2014 lalu, di tingkat nasional tingkat partisipasi politiknya hanya mencapai sekitar 75 persen, sedangkan pada Pilpres menurun menjadi hanya 69 persen. Namun diakui, kualitas Pemilu pada tahun 2014 ini mengalami peningkatan di bandingkan Pemilu-pemilu sebelumnya. Di Kabupaten Brebes, dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa Tengah yakni 1.487.556, menjadi tantangan tersendiri. Rata-rata tingkat kehadiran pada Pemilu legislative tahun 2014 di Kabupaten Brebes hanya 64,49 persen. Tingkat kehadiran pada Pilpres 2014 menurun lagi, dari jumlah 1.506.645 pemilih (DPT Pilpres 1.493.097), rata-rata kehadiran hanya 61,59 persen. Dengan demikian, persentase kehadiran pemilih di Kabupaten Brebes ini dibawah rata-rata nasional dan provinsi.
Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara Pemilu, khususnya KPU Kabupaten Brebes. Hal ini menjadi kewajiban semua elemen masyarakat, bukan hanya KPU saja, namun mulai dari pemerintah, DPRD, ormas, LSM dan semua pemangku kebijakan untuk mengajak dan meningkatkan partisipasi pemilih ini. Bukan bermaksud membela diri sendiri, KPU dengan tenaga dan prasarana yang ada jelas terbatas kemampuannya untuk mengajak semua masyarakat hadir dalam setiap Pemilu.
Dalam sistem demokrasi, tingkat kehadiran pemilih tidaklah menentukan kualitas demokrasi itu sendiri. Namun tingkat kehadiran pemilih berpengaruh terhadap legitimasi atas hasil Pemilu tersebut. Semakin tinggi tingkat kehadiran pemilih, maka semakin tinggi pula legitimasinya. Berbeda dengan Pemilu-pemilu Orde Baru, yang tingkat partisipasinya selalu tinggi. Namun kualitas dari pemilu tersebut dipertanyakan. Karena diketahui Pemilu-pemilu Orde Baru tidaklah demokratis, adanya dugaan paksaan untuk memilih partai dan golongan tertentu, serta adanya dugaan kecurangan yang bersangsung secara terstruktur, sistematis dan massif.
Ada beberapa alasan masyarakat untuk datang dan memilih partai politik beserta calon anggota legislatifnya. Ada pula banyak alasan bagi sebagian masyarakat yang tidak mau datang untuk menggunakan hak pilihnya. Adalah hak setiap warga negara untuk datang atau tidak datang dalam Pemilu, selagi tidak ada keputusan undang-undang yang mewajibkan masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Berdasarkan data di KPU Kabupaten Brebes, rata-rata kehadiran pemilih tertinggi kecamatan ada di Kecamatan Salem yang mencapai 76,31 persen. Sedangkan untuk tingkat desa, kehadiran tertinggi ada di Desa Kadumanis, Kecamatan Salem yang mencapai 88,56 persen. Untuk rata-rata kehadiran terendah di Kecamatan Songgom yang hanya 58,46 persen.  Dan desa dengan tingkat kehadiran paling rendah ada di Desa Lembarawa, Kecamatan Brebes yang hanya 37,12 persen.

Riset Partisipasi Masyarakat
Terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat ini, KPU Kabupaten Brebes melakukan riset pada tahun 2015 lalu. Hasil riset sederhana itu didapat beberapa data dari hasil pembagian kuisioner di empat desa/kelurahan di tiga kecamatan, yakni Kelurahan Brebes dan Desa Lembarawa Kecamatan Brebes, Desa Jatimakmur Kecamatan Songgom dan Desa Kadumanis Kecamatan Salem.
Dari riset tersebut, sebanyak 13 persen responden yang menyatakan tidak menggunakan hak pilih dalam Pemilu Legislatif 2014. Alasan mereka adalah sibuk bekerja sebanyak 15,38 persen, dan merantau ke luar kota/luar negeri sebanyak 53,84 persen, dan lainnya karena tidak terdaftar. Sebagian besar responden yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut juga merasa menyesal. Itu terlihat dari jawaban responden sebanyak 69,23 persen mengaku menyesal. Sedangkan yang merasa tidak menyesal hanya 30,77 persen saja.
Dengan jawaban responden tersebut, data jumlah penduduk dari Disdukcapil yang dijadikan dasar penetapan daftar pemilih, yang jumlahnya lebih besar dari data jumlah penduduk dari BPS, ada indikasi atau diasumsikan bahwa selisih data tersebut adalah mereka yang merantau ke luar kota atau luar negeri. Mereka yang merantau, sebagian besar tidak menggunakan hak pilihnya.
Hal ini diperkuat dengan data rekomendasi dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Brebes, untuk mereka yang akan berangkat menjadi Tenaga Kerja (TKI) ke luar negeri. Selama tahun 2013 tercatat 6.591 orang dan tahun 2014 tercatat 2.867 orang. Keberadaan para TKI di luar negeri itu, rata-rata terikat kontrak selama dua tahun. Sehingga hampir dipastikan, mereka yang berangka menjadi TKI pada tahun 2013 dan 2014 tidak berada di Indonesia atau di daerah asal mereka. Namun mereka tetap tercatat sebagai pemilih di daerah asalnya. Meskipun di negara tujuan di luar negeri, mereka kemungkinan juga tercatat sebagai pemilih di luar negeri.
Belum lagi mereka yang sudah berangkat tahun-tahun sebelumnya dan kontraknya diperpanjang untuk beberapa tahun lagi. Termasuk warga Brebes yang berangkat menjadi TKI dari daerah lain di luar Brebes juga ada, meski tidak tercatat seberapa banyak. Namun itu fakta di sebagian masyarakat di Kabupaten Brebes yang mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri. Berdasarkan data rekomendasi pembuatan paspor  di Disnakertrans Kabupaten Brebes tahun 2013 ada 6.591 dan 2014 sebanyak 2.867. Belum lagi keberadaan mahaiswa asal Brebes yang kuliah di kota-kota besar, juga mempengaruhi partisipasi pemilih di Kabupaten Brebes.
Dari temuan dan analisis data yang diperoleh dalam riset KPU tersebut, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil terkait dengan partisipasi politik masyarakat, yakni sebagai berikut:
1.      Adanya perbedaan data penduduk dari instansi yang berbeda, dalam hal ini Disdukcapil dan BPS, menunjukkan kondisi riil penduduk saat Pemilu berlangsung. Ditambah lagi dengan adanya data pendukung dari instansi lain, yakni Dinsosnakertrans terkait fenomena banyaknya penduduk perantauan, khususnya ke luar negeri, menjadi TKI. Sementara basic pendataan pemilih oleh KPU berdasarkan data kependudukan dari Disdukcapil/Kemendagri, yang sudah menggunakan KTP elektronik. Dalam hal ini, Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) berasal dari Disdukcapil/Kemendagri yang kemudian diaolah menjadi DPS/DPT.
2.      Dari riset tersebut, kesadaran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya yang paling tinggi adalah ibu rumah tangga. Mereka yang berada di rumah setiap harinya, ternyata 100 persen menggunakan hak pilihnya, baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pilpres. Begitu pula dari masyarakat petani, 100 persen menggunakan hak pilihnya pada saat Pilpres. Terlihat di Desa Kadumanis Kecamatan Salem, yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Kecuali petani buruh, yang hanya bekerja sewaktu masa tanam dan panen saja, hingga sebagian dari mereka ada yang merantau ketika tidak ada pekerjaan di desa. Sehingga saat ada Pemil, kebetulan di perantauan mereka tidak menggunakan hak pilihnya. 
3.      Ada pun terkait dengan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagian besar mudah dijangkau. Artinya keberadaan TPS yang dibangun oleh para petugas KPPS berada pada posisi yang mudah dijangkau oleh pemilih.
4.      Para pemilih juga semakin melek politik, hal itu ditunjukkan dari bagaimana pemilih menggunakan hak pilihnya. Sebagian besar mereka menggunakan hak pilih karena kesadaran sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang menyatakan memilih karena diberi uang atau barang. Artinya money politics yang saat Pemilu diberitakan cukup menghantui, ternyata sebagian besar para pemilih tidak terpengaruh adanya isu tersebut. Keberadaan golongan putih (Golput) dalam Pemilu, baik Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sangat kecil. Dari 100 responden yang ada, hanya satu responden saja yang menyatakan dirinya golput, tidak memilih satu partai dan caleg mana pun. Dari 13 persen yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014 lalu, sebagian besar karena merantau ke luar kota/luar negeri, yakni 53,38 persen. Sibuk bekerja sebanyak 15,38 persen, dan sisanya karena tidak terdaftar, serta 2 orang lainnya memberikan jawaban lainnya. Sebagian besar responden yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut juga merasa menyesal. Itu terlihat dari jawaban responden yang berjumlah 69,23 persen yang mengaku menyesal dan akan menggunakan hak pilihnya jika ada Pemilu lagi. Sedangkan yang merasa tidak menyesal hanya 30,77 persen saja.
5.      Para Pemilih juga berharap agar pemerintah lebih banyak melakukan sosialisasi, begitu juga penyelenggara Pemilu yakni KPU. Fakta bahwa partai politik masih minim dalam sosialisasi politik, juga berdasarkn jawab responden yang hanya sebagian kecil menjawab informasi Pemilu dari partai politik. Dan harus diakui, peran serta media massa dalam menginformasikan berita-berita seputar Pemilu juga sangat besar. Sebagian besar responden justru mendapat pengetahuan Pemilu dari media massa.
6.      Selain itu, para pemilih juga berharap pemerintah banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Total ada 32 persen yang mengharapkan itu. Kemudian juga harapan 27 persen pemilih kepada KPU untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. 8 persen lainnya meminta agar partai politik melakukan sosialisasi kepada konstituennya.
7.      Selama ini masyarakat mengetahui Pemilu paling banyak diperoleh dari media massa (TV, Koran, majalah, tabloid dan lain-lain) sebanyak 43 persen. Kemudian mengetahui Pemilu dari penyelenggara Pemilu (KPU, PPP, PPS, maupun KPPS) sebanyak 33 persen. Sedangkan responden yang mendapat pengetahuan Pemilu dari partai politik hanya 5 persen saja. Kemudian dari pemerintah sebanyak 14 persen dan tokoh masyarakat 20 persen. Sementara dari internet 2 persen.

Kesimpulan   
Dari tingkat partisipasi masyarakat ini, ada beberapa saran atau rekomendasi kepada para pengambil kebijakan dalam bidang Pemilu, antara lain sebagai berikut.
1.      Terkait dengan pendaftaran pemilih, yang hingga saat ini masih terus disempurnakan, perlu dilakukan kajian kembali. Hal ini terkait dengan mobilitas warga yang cukup tinggi. Di mana mereka yang merantau, ternyata banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya. Mereka seperti tidak mau ribet dengan proses politik, yakni Pemilu. Seperti mengurus surat pindah memilih (A-5), yang berdasarkan pengalaman Pemilu 2014, mereka baru bertanya pada saat hari H. Padahal aturan sudah ada, agar mereka yang terdaftar di daerah asal, dan tidak bisa memilih di TPS yang terdaftar namanya, bisa mengurus surat pindah memilih.
2.      Perbedaan data antara Disdukcapil dan BPS, hendaknya dijadikan pertimbangan dalam menentukan daftar pemilih dalam Pemilu. Hal itu merujuk pada poin nomor 1. Di mana fakta-fakta yang ada, banyak warga yang merantau, baik menuntut ilmu maupun bekerja. Fenomenda lebaran, juta pemudik keluar dari ibukota Jakarta ke kampung-kampung halaman. Hal itu menunjukkan bahwa banyak dari penduduk suatu daerah yang merantau di luar kota, khususnya Jakarta.
3.      Dengan fenomena dan data hasil penelitian ini, kiranya dalam pendaftaran pemilih dalam Pemilu diperlukan pendekatan yang baru, yakni pendataan factual. Toh, bagi mereka yang belum terdaftar, karena saat pendaftaran factual, mereka masih bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan identitas dirinya yang masih berlaku. Apalagi sekarang ini dengan berlakunya KTP eletronik, semakin mengecilkan kemungkinan seseorang memiliki identitas ganda.
4.      Terkait dengan pendidikan politik, pemerintah, penyelenggara pemilu dan partai politik agar lebih mengintensifkan sosialisasi atau pendidikan politik. Munculnya isu money politics membuat masyarakat resah dan gelisah, bahkan menyebabkan salah satu apatisme masyarakat terhadap politik. Partai politik dituntut untuk lebih aktif lagi dalam pendidikan politik ini. Sehingga ada keterikatan antara partai politik dengan konstituennya. Bukan hanya pada saat Pemilu saja, tetapi sepanjang tahun, di mana partai politik sebagai kepanjangan tangan masyarakat/rakyat di pemerintahan.
Pendidikan politik inilah yang nantinya akan menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Jika pendidikan politik gagal, maka kemungkinan negara ke depan akan gagal menjadi negara yang demokratis. Ketika negara demokrasi gagal, maka gagal pula untuk menuju negara yang sejahtera.
Pendidikan politik ini, mengajarkan bagaimana seorang warga negara memahami hak-hak politik dan juga kewajiban-kewajiban politiknya. Hak-hak politik itu antara lain hak pilih dan hak untuk dipilih, hak menyampaikan pendapat, hak untuk berbeda dengan pilihan orang lain. Begitu pula dengan hak-hak untuk tidak mau diintervensi secara politik serta hak menolak intervensi politik. Sementara terkait kewajiban politik, seperti yang tertuang dalam undang-undang politik. Antara lain kewajiban untuk menjunjung asa demokrasi dan menghargai perbedaan politik antara satu warga negara dengan yang lainnya.
Pendidikan politik akan berjalan efektif ketika para penyelenggara negara dan pemerintaha menunjukkan contoh dan perilaku politik yang sesuai dengan etika politik. Bukan hanya melalui kampanye dan ceramah yang disampaikan dalam kegiatan politik, tetapi juga perilaku politik sehari-harinya. Khususnya dalam pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil BUpati Brebes tahun 2017 ini. Pendidikan politik, juga efektif diajarkan melalui pendidikan di sekolah-sekolah, seperti hal paling kecil, pemilihan ketua kelas hingga pemilihan ketua Osis. Hal ini sebagai pembelajaran awal di tingkat pelajar. (*)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer