Daftar Ulang atau Daftar Uang?

Dalam beberapa hari terakhir ini, sejumlah orang tua disibukkan dengan pendaftaran anak-anaknya ke sejumlah sekolah. Mulai dari yang masuk SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Sibuknya orang tua itu, bukan karena mengantar anak-anaknya datang ke sekolah saja, tetapi juga sibuk mencari uang. Ya, setelah mereka diterima, mereka harus daftar ulang untuk bisa diterima di sekolah tersebut.
Daftar ulang itu disertai dengan sejumlah persyaratan, khususnya terkait dengan uang pendaftaran. Memang, masalah uang saat daftar ulang menjadi persoalan yang selalu mencuat, baik di meida maupun di kalangan orang tua. Betapa tidak, kadang seorang calon siswa baru terpaksa tidak jadi sekolah, lantaran tidak sanggup membayar uang yang harus dibayarkan saat daftar ulang. Hingga ada ungkapan, bahwa sebelum seorang siswa masuk ke sekolah, pasti ada daftar uang, bukan daftar ulang. Karena memang untuk masuk menjadi siswa, khususnya siswa baru, selalu harus dengan menyetorkan uang terlebih dahulu kepada sekolah.
Dinas Pendidikan sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini, kadang hanya diam dan tak menggubris keluhan orang tua siswa. Mereka hanya menampung keluhan maupun laporan tersebut, akan menegur atau memberi sanksi kepada sekolah yang melakukan praktek-praktek yang memberatkan orang tua siswa. Namun kenyataannya, masih banyak sekolah yang mensyaratkan daftar ulang, dengan jumlah uang tertentu, yang kadang memberatkan orang tua.
Padahal semestinya, masalah sumbangan keuangan orang tua, dilakukan setelah siswa tersebut dinyatakan diterima di sekolah tersebut. Bukan menjadi syarat diterimanya seorang siswa, jika sudah mau menandatangani surat persetujuan membayar sejumlah uang kemudian baru diterima. Kalau sudah begini, bukan prestasi atau nilai yang dijadikan syarat penerimaan siswa baru, tetapi cenderung uang sebagai syarat utama. Hal-hal inilah yang sering dikeluhkan orang tua siswa, khususnya dari keluarga yang kurang mampu.
Kondisi semacam ini terjadi hampir setiap tahun. Meski sekolah memberikan alasan, bahwa bagi keluarga yang kurang mampu, bisa dibebaskan dari biaya. Namun orang tua, ketika mendaftar langsung disodorkan surat pernyataan membayar, pasti akan kebingungan. Hingga akhirnya terpaksa meminta anaknya mundur dari sekolah tersebut. Padahal mungkin saja, prestasi dan kemampuannya cukup membanggakan.
Entah apa yang ada di benak para kepala sekolah, yang mewajibkan uang daftar ulang sebagai persyaratan untuk masuk bagi siswa baru. Apakah ada ketakutan dari para kepala sekolah itu, bahwa nantinya siswa-siswinya tidak mau membayar iuran sekolah maupun uang pembangunan. Padahal setiap tahun, sekolah mempunyai sejumlah program pembangunan. Mulai dari pembangunan fisik sekolah, hingga kegiatan-kegiatan sekolah yang akan dilakukan setelah siswa baru masuk. Hingga sekolah pun berusaha untuk mendapatkan uang terlebih dahulu, sehingga tidak mengancam keuangan sekolah.
Namun sepertinya, alasan ini kurang bisa diterima. karena untuk tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pemerintah sudah menyediakan BOS. Apakah dana BOS itu tidak cukup atau karena pencairannya yang selalu terlambat, sehingga pihak sekolah lantas meminta terlebih dahulu kepada orang tua calon siswa. Atau ada motif lain, sehingga mau tidak mau, calon siswa baru harus membayar lebih awal. Komite sekolah selalu menjadi tameng keinginan pihak sekolah, padahal komite sekolah seharusnya menjadi tameng bagi para orang tua siswa. Ini logika yang terbalik atas keberadaan komite sekolah, yang kadang hanya menjadi stempel sekolah saja.
Dalam hal ini, sudah selayaknya pemerintah, melalui Dinas Pendidikan bersikap tegas dalam membuat juklak dan juknis penerimaan siswa baru. Antara lain menyangkut daftar ulang dan masalah seragam. Semuanya harus dilakukan setelah siswa tersebut diterima di sekolah tersebut, barus dibahas bersama antara komite sekolah dan orang tua siswa. Tidak ada lagi daftar ulang yang disertai dengan daftar uang saat siswa baru masuk ke sekolah. (*)

Komentar

Postingan Populer