Kencangkan Ikat Pinggang

Dalam setiap pembahasan ABPD, masalah belanja publik dan belanja pegawai selalu menjadi perdebatan. Perdebatan itu terjadi karena masing-masing pihak, yakni eksekutif dan legislatif mempunyai pandangan yang berbeda dalam pembahasan APBD. Masing-masing punya argumen dan alasan kenapa mengajukan suatu program tertentu. Akibatnya dalam beberapa kali pembahasan, sering terjadi deadlock atau bahkan pengajuan anggaran oleh eksekutif ditolak oleh legislatif. Perdebatan itu bisa dihindari, jika masing-masing pihak berapa pada posisi yang sama, yakni demi kesejahteraan masyarakat. Di mana anggaran yang berasal dari uang rakyat itu, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau itu terjadi tentu tidak akan terjadi perdebatan yang alot bahkan sampai deadlock. Namun sepertinya hal itu belum terwujud atau bahkan mungkin sulit diwujudkan. Sebenarnya, pemerintah sendiri sudah punya rambu-rambu terkait dengan penyusunan anggaran tersebut, yakni keberimbangan antara belanja publik dan belanja pegawai. Kalau anggaran itu berjumlah 100, maka anggaran belanja untuk publik dan pegawai seharusnya 50:50, atau kalau meleset maksimal perbandingan 60:40. Mungkin itu masih bisa ditoleransi. Namun kalau sudah melebihi itu, misal 70:30 untuk belanja pegawai dan belanja publik, memang sangat tidak adil. Kenapa bisa begitu? Sebagai orang awam di bidang anggaran, ketika terjadi perbedaan perbandingan antara belanja pegawai dan belanja publik yang tidak berimbang, maka perlu ada yang dikoreksi. Meskipun harus diakui, bahwa belanja pegawai yang kadang memakai anggaran yang palig besar, ujung-ujungnya juga demi kemakmuran rakyat. Bukankah begitu? Karena mereka digaji dan dibiayai untuk melayani masyarakat. Tetapi bagi bagi masyarakat yang kritis, tidak serta merta setuju begitu saja dengan argumen itu. Bahwa berimbang itu harus adil. Adil sesuai dengan unsur keadilan yang berlaku di masyarakat, bukan adil bagi dirinya sendiri. Bahwa pegawai dalam bekerja membutuhkan anggaran itu harus ditampung, dan bahwa masyarakat itu harus mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang memadai, itu harus dilakukan. Belanja pegawai yang seringkali lebih besar dari belanja publik, memang harus diwaspadai. Apakah besarnya itu wajar atau hanya karena aji mumpung saja. Sehingga melupakan belanja publik. Salah satu cara dan upaya agar belanja pegawai dan belanja publik itu bisa berimbang, adalah mengencangkan ikat pinggang. Tentu di sini yang wajib melakukan adalah belanja pegawainya. Di luar hal-hal wajib, sebagai gaji, honor dan kebutuhan serta peralatan kantor yang vital, harus mulai dihitung ulang. Artinya, hal-hal yang tidak penting dan diperkirakan hanya memboroskan anggaran, maka jangan dimasukkan ke dalam anggaran. Alihkan ke belanja lain, khususnya belanja publik yang dibutuhkan masyarakat. Namun bukan ebrati di bidang belanja publik juga tidak bisa dilakukan pengetatan ikat pinggang. Bahwa dalam belanja publik, kadang terjadi pemborosan, itu bisa dilihat dari anggaran yang sudah berlangsung. Dalam pelaksanaannya, sering kali belanja publik itu tidak memperhatiakn asas manfaat, yang ada hanya asas yang penting ada proyek untuk belanja publik. Tentu ini sangat ironis. Di mana banyak hal lain, yang membutuhkan anggaran yang cukup besar dan mendesak. Kedua belah pihak, eksekuti dan legislatif, jangan hanya mementingkan egonya masing-masing. Berdalih untuk kepentingan belanja publik, yang memang harus ditingkatkan, malah justru anggaran itu dibelanjakan untuk proyek yang tidak perlu. Atau bahkan proyek untuk kepentingan pribadinya. Sekali lagi, ini sungguh ironis. Rakyat yang tidak tahu-menahu dengan pembahasan masalah anggaran ini, hanya bisa melongo dan kemudian berteriak. Melongo karena tidak tahu apa yang sedang dibahas legislatif dan eksekuti. Sedangkan berteriak ketika sekian waktu apa yang dibutuhkan mereka tak pernah diperhatikan pemerintah. Seperti pembangunan saran infrastruktur jalan, di sisi lain banyak jalan yang rusak, di sisi lain pemerintah mengadakan mobil dinas yang baru. Di sisi lain banyak warga yang dijerat kemiskinan, di sisi lain banyak pejabat yang kegiatannya hanya jalan-jalan ke luar daerah. Ironi-ironi seperti inilah yang seharusnya diperhatikan, baik oleh eksekutif maupun legislatif. (*)

Komentar

Postingan Populer